Manusia adalah makhluk yang hidupnya selalu berada pada titik antara chaos dan cosmos. Dua kutub yang saling berkejaran mendefinisikan kemanusiaan kita. Chaos adalah ketidakteraturan dan cosmos adalah keteraturan. Di titik antara itu, tersebutlah mindfulness dan cinta, yang kelak membuat kita selalu ada, selalu mengada, dan selalu memperbaharui ‘keadaan’ kita. Teater adalah sebuah jembatan untuk menyampaikan titik ‘chaosmos’ yang hanya sementara, sebab itulah yang membuat kita terus mengalir.
Karena cinta adalah alasan kita hidup di dunia. Tanpa cinta tak ada yang abadi. Tapi cinta untuk selamanya.
Itulah salah satu benang merah dalam naskah yang saya tulis berjudul Raya-Raya Cinta. Naskah ini lahir merespon suasana chaos akibat pandemi berkepanjangan yang tetap memelihara rasa waras kita sebagai manusia. Ternyata penyembuh dari berbagai chaos itu adalah mindfulness dan cinta.
Berlama-lama di dalam chaos yang berpotensi menjebak kita dan menarik kemanusiaan kita pada energi yang melemahkan, membuat kita harus senantiasa sadar bahwa hidup harus bergulir lebih baik. Keadaan memang tak lebih baik, namun kuasa kitalah menentukan bagaimana kita bekerja.
Saya ingin mengatakan bahwa tanpa mindfulness dan cinta, barangkali kita sudah lupa diri bahwa hidup itu indah dan bahwa semua keindahan itu tercipta dengan pemahaman soal perspektif baru pada hidup. Mindfulness mengajarkan kepada saya soal kesadaran yang lebih tinggi dari sekedar kesadaran artifisial, namun kesadaran yang mengendap jauh hingga ke sel-sel penciptaan yang produktif.
Harus saya akui bahwa menemukan kembali mindfulness dan cinta di balik semua kegelisahan selama pandemi menjadi sebuah titik balik saya yang lebih baru. Semua yang terjadi terutama di tahun kedua pandemi sungguh sempat menggoyahkan kesadaran diri, bahwa semua tidak sedang baik-baik saja. Saya kehilangan orang yang saya cinta, Bapak saya, pada bulan Juli lalu. Tak habis habisnya saya bertanya mengapa. Mengapa mengapa. Dan seterusnya.
Di balik semua yang saya lakukan untuk menyembuhkan diri saya, ternyata yang benar-benar menyembuhkan adalah mindfulness dan cinta. Saya menyadari bahwa motivasi saya bangkit adalah orang-orang yang saya cintai, yang selalu terus menerus membangkitkan saya. Saya pun mulai menerima chaos itu dengan mindfulness yang memiliki paling tidak empat konsep dasar menurut Ellen J Langer (1989, 2000, 2016).
Pertama ia membuat kita menyadari sesuatu yang baru. Kedua, menemukan perbedaan pada hal yang baru itu. Ketiga, memandang dengan perspektif yang lebih beragam. Keempat, membuat kita lebih fleksibel. Seseorang dengan mindfulness yang tinggi akan mampu mengontrol diri dan menerima keadaan dengan kondisi non-judgmental. Sementara kodrat manusia yang sangat hakiki adalah egoisme yang selalu mendorong kita cepat menghakimi. Apa yang tak menguntungkan, kita anggap buruk. Apa yang membuat kita sedih, kita pangkas.
Apa yang membuat kita marah, kita musnahkan. Padahal dalam semesta yang chaos ini, adalah tak mungkin menghindari dari peristiwa-peristiwa chaotic yang menjebak. Jika kita mengikuti dengan kesadaran rendah segala chaos itu, kita akan menjadi pemarah, pendendam, pemaki, dan segenap chaos lainnya. Namun dengan mindfulness kita akan menjadi lebih tenang, mencerna dengan baik, tanpa menghakimi diri atau orang lain atau keadaan dengan membabi buta.
Lalu cinta. Bagaimana cinta menyelamatkan hidup kita. Bagaimana ia tetap membuat kita hidup dan memberi pada hidup. Beberapa buku yang menggetarkan yang saya baca tentang cara-cara seseorang memandang dan memaknai hidup sekaligus bertahan hidup, misalnya pada buku The Diary of a Young Girl oleh Anne Frank, atau Letters of a Javanese Princess karya RA Kartini, cinta adalah sebuah alasan mereka berbagi pada hidup. Cinta pada kemanusiaan, cinta pada kehidupan, cinta pada semangat dan motivasi hidup.
Anne Frank menulis diary saat dia dalam kondisi tertekan di persembunyian, sebagai anak perempuan Yahudi yang keluarganya diburu untuk dimusnahkan. Cita-citanya sebagai penulis terkenal tercapai ketika tulisannya menjadi sejarah dengan diterbitkan dalam 70 bahasa. Jika bukan karena cinta dan semangatnya pada kemanusiaan sulit membayangkan lahir tulisan yang bernas itu. Tulisan saya soal Anne Frank dapat dibaca disini: “Het Achterhuis” | Catatan Anne Frank 12 Mei yang Menggetarkan Hati Dunia
Soal cinta, Kartinipun menulis untuk menebarkan semangat cinta pada hidup yang ia pelihara melalui perspektifnya sebagai perempuan. Kartini adalah sosok yang tak terpisahkan dengan ideologi feminism, yang memperjuangkan suara perempuan dan kesetaraan. Kartini dengan cintanya pada perjuangan kaum perempuan menggetarkan dunia dengan kumpulan suratnya yang menggugah. Jika ia tak pernah menulis soal ini, maka dipastikan dunia tak pernah tahu isi kepalanya soal perempuan.
Selintas refleksi saya soal Kartini, Anne Frank dan termasuk Eleanor Roosevelt saya sempat tulis disini. Baca: SURAT-SURAT YANG MENGHIDUPKAN: ANNE FRANK, KARTINI, AND ELEANOR ROOSEVELT
Sesungguhnya benang merah manusia dan kemanusiaannya adalah cinta. Bagaimana ia hidup, berproses, bertumbuh, gagal lalu bangkit lagi semua berada pada jalur cinta. Juga cara-cara memaknainya dengan mindfulness.
Mengenai pentas teater Raya Raya Cinta yang saya tulis, adalah mindfulness dan cinta pula yang mengantarkan saya pada proses ini. Proses chaos menuju cosmos. Saya masih ingat diundang rapat untuk festival Bali Jani pada akhir September, sementara pentasnya telah terjadwal di akhir Oktober. Sangat ketat jadwalnya. Tak bisa ditawar. Seminggu setelah itu, saya masih berpikir, apa yang akan saya tulis, mengapa saya menulis, dan apa penawaran saya.
Akhirnya saya mengambil sikap. Mulailah pencarian saya soal suara yang hidup di sekeliling saya. Soal suara minor yang kerap saya temui. Tentang menjadi perempuan, tentang adat, tentang kesulitan pandemi, tentang hubungan manusia dengan alam, manusia, dan Tuhannya. Dan tentang menjadi titik seimbang di antara chaos dan cosmos.
Pada 1 Oktober 2021, saya menulis bagian pertama naskah dari tiga bagian yang direncanakan. Bagian pertama berjumlah 16 halaman. Segera saya siarkan ke anggota pentas saat itu. Saya ingin mereka membaca dengan mindful. Naskah ini dibaca semua kru produksi, bukan hanya pemain. Tapi juga pemusik, penata cahaya, stage manager, dan semua yang terlibat.
Lalu kami mulai latihan bersama sejak 4 Oktober, dan selanjutnya naskah saya rampungkan menjadi tiga bagian pada 7 Oktober. Setelah itu saya menentukan deadline. Satu minggu mereka harus sudah menghafal naskah, satu minggu belajar setting dan bloking, satu minggu gladi kotor dengan pakaian pentas, make up dan tata cahaya lalu sehari break. Dan minggu terakhir gladi bersih 3 kali sebelum pentas.
Dan saat ini saya merasa, jika bukan karena mindfulness dan cinta, pentas ini terasa tak mungkin. Sebab sekuat apapun kelompok teater, latihan kurang dari satu bulan memerlukan persiapan dan ketahanan yang luar biasa. Juga kedisiplinan, dan kekompakan. Beruntunglah kami. Semua yang saya rencanakan cukup berjalan lancar.
Pemain utama saya Agus Wiratama dan Gek Santi adalah pemain yang cukup berpengalaman. Naskah 32 halaman dilahap habis seminggu, lalu diolah menjadi karakter mereka. Saya telah mengatakan sejak awal jika semua telah terukur dan telah dijadwalkan dengan ketat sehingga pemain harus mindful dan konsentrasi. Pemain lain yang saya ajak bergabung adalah Weda Sanjaya yang merupakan seorang pendatang baru di dunia teater.
Dengan pendekatan mindfulness juga Weda Sanjaya berhasil menaklukkan naskah dan menjadi karakter yang kuat di atas panggung. Perannya turut dimatangkan pula oleh lawan mainnya, Githa Swami, pemain inti di Mahima. Githa adalah pemain yang kuat sejak dulu, dia tak masalah menguasai naskah dan karakter.
Di samping aktor-aktor di atas, ada dua aktor perempuan yang masih belia juga terlibat. Mereka adalah Gek Princessa (10 tahun) dan Putu Putik Padi (13 tahun). Mereka sejak belia telah akrab dengan puisi dan beberapa kali menjuarai lomba baca puisi dan bercerita. Keterlibatan mereka sebagai saudara Cinta memberi daya kuat bahwa perempuan memang harus terlibat dalam dunia pemikiran sejak belia.
Hal lain yang menjadi catatan adalah menghadirkan musik puisi yang indah. Kompleksitas ini terjadi ketika harus menemukan musik yang pas sesuai nafas naskah, sesuai baris puisi yang saya tulis. Yang tak hanya menjadi latar pentas, namun juga menjadi nafas pentas itu sendiri.
Saya pun beruntung lagi memiliki tim musik yang cukup cepat menggarap, Carolina Ajeng, Tika Puspita dan Anggara Surya. Mereka memiliki pengalaman mengelola puisi menjadi musik dan lagu yang indah. Salah satu keindahan itu tampak pada baris-baris puisi dalam naskah saya yang digubah ke musik puisi dengan indah oleh Tika Puspita.
Barangkali hidup kita hanya untaian kata-kata
Berawal dari kata berakhir dengan kata
Tak ada yang tersisa kecuali ingatan
Yang kekal menembus kala dan semesta
Selain itu ada pula baris-baris puisi yang digubah dengan indah pula oleh Carolina Ajeng sebagai berikut.
Jika saja hari ini adalah hari kemarin dan esok, aku telah menyadari bahwa kaulah orang yang kupinta dalam doaku
Telah kutemukan bintang paling terang dalam gelap, yaitu cahaya matamu
Telah kutemukan sungai paling teduh, yang mengalir di dalam tubuhmu
Telah kutemukan rahasia yang paling dalam di jiwamu
Juga nafas yang hangat dari pori-porimu
Maka ijinkan aku mencintaimu, dulu, kini, dan nanti
Selain dari semua itu, saya menyadari betul bahwa mindfulness dan cinta adalah dua kata kunci dalam pementasan ini. Chaos menuju cosmos sedang tercipta dan peran teater adalah selalu di antaranya, menjadi jembatan makna yang merefleksi pertanyaan-pertanyaan soal cinta dan lain-lain. Sebagai subjek teater, manusia terus bergerak mencari keseimbangan, dimana pijakan-pijakannya senantiasa mencari arah baru, mencari bentuk baru dan menyesuaikan dengan konteks dimana dia terbentuk.
Teater hadir sebagai saksi, sebagai suara, sebagai cermin, sebagai chaosmos yang menjembatani chaos dan cosmos yang tak pernah berhenti. Sepanjang manusia ada, chaos selalu ada, cosmos selalu menjadi tujuan atau titik jeda sementara. Kita tak pernah benar-benar berhenti. Dan itulah yang membuat kita terus menerus membentuk diri menjadi kemungkinan chaosmos-chaosmos baru. Perihal teater dan chaosmos ini saya pernah mencatat begini. Baca: Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya: Dari Chaos ke Chaosmos Kembali ke Chaos
Perayaan cinta, akhirnya adalah perayaan semesta. Tak ada yang lebih baik dari yang lain, ketika kita memahami dari mana kita memandang dan apa bekal yang kita bawa untuk membersamai pandangan itu. Selamat merayakan cinta. Selamat merayakan kehidupan. [T]