Tubuh tradisional yang dimaksud dalam tulisan ini adalah tubuh yang sudah terbiasa dengan pakem-pakem gerak sebagaimana terdapat dalam tari-tari tradisional Bali, semacam agem dengan posisi tangan sirang susu (sejajar susu) atau sirang pada (sejajar pala), malpal (berjalan sebagaimana terdapat dalam gerakan tari baris), dan ngeleog (menggoyangkan bagian tubuh tertentu).
Tubuh modern yang dimaksud adalah tubuh yang bergerak sebagaimana gerakan-gerakan dalam seni pertunjukan masa kini, seperti balet, akrobat, senam lantai, atau gerakan-gerakan teatrikal yang biasa dipertunjukkan kelompok-kelompok teater di Indonesia belakangan ini, termasuk juga gerakan fashion show di atas catwalk yang kini bahkan sudah menjadi semacam seni pertunjukan yang diminati banyak orang.
Kelatahan kontemporer yang dimaksud adalah semacam kelatahan untuk menetapkan gerakan-gerakan tertentu sebagai pakem tari kontemporer. Jika sirang susu adalah pakem untuk menyebut posisi tangan dalam tari-tari tradisional Bali, maka adalah sebuah kelatahan jika misalnya menganggap “poisisi kedua tangan sejajar dan jari dibuka sedikit seperti orang memegang apel” sebagai pakem dari gerakan tari kontemporer. Karena dianggap pakem, ia bisa ditiru terus-menerus, seakan terjadi ketakutan untuk keluar dari “tiruan” itu. Itulah kelatahan.
Pergelaran Tari Kontemporer berjudul Tadah Asih yang dipersembahkan Yayasan Bumi Bajra Sandhi dalam ajang Festival Seni Bali Jani III/2021 di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Rabu, 27 Oktober 2021 pukul 10.00 Wita, memberikan pemahaman penting tentang tari kontemporer.
Dayu Ani, seniman yang menjadi konseptor/koreografer/sutradara di Yayasan Bumi Bajra Sandhi seakan memberi definisi lain dari yang lain tentang tari kontemporer. Bahwa kontemporer lebih pada penemuan gerakan-gerakan baru (termasuk juga dalam penggunaan properti) yang tak terbayangkan sebelumnya, tapi ketika gerakan itu “menjadi” di atas panggung, maka kekuatan artistik, logika, dan etika, seolah menjajah sekaligus memanjakan mata, sehingga kita tak sempat lagi berpikir soal defisini-definisi.
Pergelaran tari ini mengisahkan burung tadah asih alias burung kedasih ketika berhadapan dengan alam dan manusia. Alam yang rusak dan Tuan Manusia yang tak hirau telah membuat Tadah Asih kelimpungan dengan pilihan-pilihan kecil untuk bertahan hidup. Di sisi yang berbeda, Tadah asih dianggap sebagai burung jelmaan roh kesasar, dan kicauannya kerap dianggap sebagai penanda kematian.
Jika kicauannya dianggap penanda kematian, bukankah jika ia tak berkicau sama sekali berarti seluruh kehidupan telah punah, kehidupan alam, juga kehidupan manusia?
Tuan manusia/ Ijinkan aku melengking lirih/ Membedah sembilu dadaku/ Memelas kasihmu// Sebab/Jika lengkingku tak terdengar lagi/ bukankah juga pertanda kematian?// Kematian kerabatku/ Kematian pohonku/ Kematian hutanku/ Kematianku//
Paradoks sebagaimana syair yang terdengar lamat-lamat dari atas panggung itulah yang kemudian diterjemahkan oleh Dayu Ani dalam sulaman-sulaman artistik gerakan-gerakan, kadang halus, kadang keras, kadang seakan diam, kadang menegangkan. Kekuatan sihir tubuh penarinya dibalut sedemikin rupa seolah-olah kata-kata dan nyanyian syair tentang burung kedasih yang bernasib pilu itu lebur dalam gerakan. Gerakan seakan nyanyian, nyanyian seakan musik, musik seakan gerakan.
Pergelaran pada awal-awal mempertunjukkan sepasang penari laki-laki dan perempuan dengan posisi tubuh yang cukup sulit. Yang laki-laki duduk menghadap ke depan, yang perempuan berada di belakang. Tubuh si perempuan menghadap ke belakang, namun kepala menghadap dengan poisisi terbalik menghadap ke depan. Sehingga dari depan kita bisa melihat wajah menghadap ke depan; satu tegak, satu terbalik. Dua wajah itu “dimainkan” tanpa sedikit pun tampak janggal.
Mungkin tulisan ini agak berlebihan. Tapi, seluruh penari Bumi Bajra Sandhi yang beraksi di atas panggung Ksirarnawa itu layak dinilai lebih karena mereka memang memiliki kelebihan-kelebihan dalam penguasaan perangkat utama dalam seni pertunjukan tari. Selain memahami gerak dan (juga bisa memainkan musik), mereka punya tubuh ideal sebagai seorang penari.
Sebagai tubuh tradisional, kepekaan tubuh-tubuh mereka mungkin sudah melampaui pakem gerakan-gerakan tari tradisional. Sebagai tubuh modern, kepekaan tubuh mereka menerima tanpa syarat gerakan-gerakan yang tak terbayangkan. Gerakan tak terbayangkan, maksudnya bukan semata-mata gerakan sulit, tapi gerakan ringan yang hanya bisa ditemukan oleh seorang koreografer dengan kepekaan artistik yang tinggi.
Bahkan ketika barisan penari laki-laki memainkan agem, tandang atau tangkep sebagaimana gerakan tari maskulin pada tari Bali, mereka tak tampak seperti menari Bali. Ada gerakan-gerakan kecil di luar kebiasaan tari Bali yang membuat gerakan itu seakan otentik. Dalam tari Bali, semisal ada semacam syarat mutlak tubuh harus tegak, Dayu Ani justru menciptakan gerakan tubuh tengadah, bahkan seakan-akan nyaris ambruk ke belakang, untuk memberi warna lain untuk penari Bumi Bajra. Sensasi gerakan rebah, nyaris ambruk, namun tak ambruk-ambruk, adalah sebuah kosa gerak tersendiri dalam dunia tari, terutama pada tari-tari garapan Bumi Bajra Sandhi.
Dengan “modal tubuh” semacam itu, Dayu Ani sebagai sutradara bisa saja mempertunjukkan semua kelebihan yang dimiliki tubuh pemainnya. Namun, Dayu Ani dengan sabar menentukan pilihan-pilihan serius untuk membuat garapannya tak terbayangkan sebagai tari Bali, sekaligus juga tak terbayangkan sebagai tari dengan kelatahan kontemporer. Ia serius menemukan, meramu, dan memperkenalkan gerakan yang “berbeda”, yang mungkin tak bisa disebut bersumber dari gerakan tari tradisional dan tak bisa juga disebut meniru-niru gerakan tari-tari kontemporer yang selama ini kerap diperkenalkan pada panggung kesenian di Bali.
Jika pun Dayu Ani dalam pentas ini memiliki kecenderungan untuk memainkan tata artistik dan properti, semisal penggunaan cerpen, kursi dan lampu senter, ia tetap meleburkan seluruh kekuatan tata artistik panggung dan properti itu kepada tubuh-tubuh para penarinya. Misalnya, latar yang memunculkan pantulan seperti cermin dalam pertunjukan di Ksirarnawa itu tak sekadar menjadi latar gerakan tubuh, tapi latar itu menangkap tubuh penari untuk dipantulkan lagi menjadi tarian yang berbeda, yang disulam sedemikin rupa sehingga secara keselurahan dalam imajinasi tak bisa dibedakan mana bayangan mana tubuh asli.
Seperti burung Tadah Asih, gerakan-gerakan baru dalam seni pertunjukan tari mungkin dianggap sebagai penanda kematian gerakan-gerakan lama yang sudah sah menjadi pakem. Namun jika tak ada upaya untuk menciptakan gerakan-gerakan baru, bukankah itu juga sebagai penanda kematian semua gerak di dunia tari? [T]