“Mbok Tini, nama lengkapnya siapa dan lahirnya kapan nggih ?” tanya saya.
“Nyoman Tini Wahyuni, tiang lahir 21 April 1965, makanya nama tiang isi Tini-nya, dari Kartini” jawabnya
“Gelar dokternya saya isi, dados ?”
“Tiang lahir kan tidak ada gelar,” ujar Mbok Tini sambil tertawa.
Kami tertawa renyah berbarengan, dua atau tiga kali percakapan dihiasi dengung sepeda motor yang lewat di sepanjang jalan Danau Poso, Semawang, Sanur. Sebagai catatan tulisan ini merupakan hasil ngobrolan santai melalui telepon whatshapp, saya di Sanur – Denpasar dan Mbok Tini di Buleleng.
Nyoman Tini Wahyuni, saya akrab memanggilnya Mbok Tini. Perjumpaan saya pertama dengan Mbok Tini, saat merancang pementasan keliling Kantor Teater (Jakarta) – Edisi Bali. Waktu itu kami akan pentas di Rumah Berdaya, rumah teduh bagi kawan-kawan skizofrenia di Denpasar. Mbok Tini dengan paras teduh, berbaju putih, dan rambut pendek – di sisir rapi, begitu tenggelam dalam sesapan rokoknya, sembari memandang sejumlah kawan skizofrenia yang sedang beraktifitas.
Perjumpaan saya kedua di kediamannya di Jalan Ngurah Rai- Buleleng. Rumah tua peninggalan orang tuanya yang sarat bernuansa arsitektur Belanda. Saat memasuki lorong rumah itu saya terkesima dengan atmosfer kesunyiannya, tenang dan sepi. Padahal saya baru saja melakukan perjalanan dari Denpasar ke Singaraja, kok tiba-tiba senyap kepala saya.
“Saya lahir di rumah ini, sampai sekarang tetap bertumbuh di sini, dinding rumah menyimpan banyak cerita keluarga, untuk itu saya tidak pernah merenovasinya secara menyeluruh,” ujarnya
Di rumah itulah setiap kenangannya tersimpan rapi, di antara celah dindingnya, di silang terali jendelanya, di ubin-ubin tua yang kerak oleh waktu. Setiap cerita terakumulasi dengan baik, yang Mbok Tini paling ingat ialah kenangan bersama ibunya.
Ia sangat bersyukur mendapat didikan keras dari ibu. Ibunya merupakan sisa-sisa didikan era kolonial. Mbok Tini hampir selama 5 tahun, dari SMP hingga SMA, setiap hari sabtu harus ke Denpasar untuk kursus piano. Waktu itu ia merasa tertekan, karena baginya lebih asik bermain bersama teman-teman dibanding harus ke Denpasar hanya untuk kursus.
“Tapi ketika saya menoleh ke belakang, di usia saya yang agak nyerendeng kauh ini. Saya merasa bersyukur, kalau tidak digituin dulu sama ibu, saya nggak mungkin bisa bermain piano sekarang,” ujarnya mengenang.
Mbok Tini ialah seorang dokter, pelukis, pemain piano, pemain gender dan praktisi meditasi. Dalam kesejarahan hidupnya banyak hambatan yang terjadi, ia digempur oleh hidup tanpa berkesudahan, setamat kuliah, hingga menikah, berpisah dengan anak, dan akhirnya kenangan-kenangan itu tumpang tindih di dalam pikiran, menjadi semacam monster yang ingin menggerogoti dirinya.
Perlahan monster tersebut, dijinakkan melalui kegiatan meditasi, melukis, bermain piano dan bermain gender.
“Saya harus bilang perjalanan hidup saya nggak mulus, saat terguncang itu saya mulai bertanya pada diri sendiri, pencaharian saya ke dalam diri, lewat meditasi, nggak aneh – aneh kok, saya bertanya untuk apa saya lahir, untuk apa saya di dunia, kenapa hidup saya begini,” tegas Mbok Tini.
Satu trauma yang ia ceritakan secara mendetail ialah saat dirinya menjadi korban hidup dalam peristiwa bom Bali tahun 2005, di Raja’s Cafe Kuta. Peristiwa tersebut memberikan trauma mendalam yang sulit disingkirkan. Pasca kejadian ia takut melihat keramaian, ia takut mendengar sirine, ia gemetar medengar suara dentuman. Hingga akhirnya ia berfikir untuk melukis, untuk menuangkan segala kecemasannya tanpa kata-kata. Baginya melukis untuk terapi tidak ada salah dan benar, namun sebuah kenikmatan – keasyikan dalam mengempu diri.
Masih terkait lukisan, Mbok Tini melukis untuk dirinya sendiri, sebelum melukis ia biasanya melakukan meditasi terlebih dahulu. Hasil meditasi itu ia tuangkan secara perlahan di bidang canvas. Mungkin jika dilihat sepintas, lukisannya hanya berupa puasan silang tak berarah, namun itu merupakan cerminan gejolak batin yang dialami oleh Mbok Tini. Baginya hukum normal orang hidup ada luka, ada kecewa, ada senang, ada derita, semuanya adalah rabuk untuk menemukan diri paling sunyi dan paling damai.
Alhasil meditasi dan melukis dapat mengikis sedikit demi sedikit trauma yang ia alami. Hingga sekarang ia masih melakukannya kemudian diselingi bermain piano dan gender.
Kemudian dari perjalanan dan pengalaman hidup itu, Mbok Tini mendapat satu kesimpulan, semesta maha luas dalam ketidak berbatasannya tersebut semesta juga maha adil dan maha tahu atas apa yang kita butuhkan. Untuk menemukan itu satu caranya melalui jalan spiritual, spritual yang ia maksudkan ialah bertemu kepada diri sendiri, itu merupakan hubungan yang paling dekat dengan Tuhan.
“Saya tahu bahwa banyak hal yang saya tidak tahu, maka dari itu hidup menuntun kita untuk mengerjakan sesuatu yang kita yakini baik,” pungkasnya
Di Ibudaya Festival, Mbok Tini mendapat kesempatan untuk bermain piano, ia memainkan lagu Ibu karya Ayu Laksmi. Ia menerangkan ketika memainkan ibu, ia teringat ibunya yang telah mengajarkan banyak hal. Kenangan-kenangan itu silih berganti datang dan padam, seperti film tua berwarna hitam putih, usang dan hampa. Di ruang kehampaan itulah Mbok Tini suka menyendiri, menemukan dirinya paling utuh, tanpa berusaha untuk menjadi orang lain.
Selain bermain piano ia juga memainkan tabuh Gender bertajuk Lagu Candi Rebah yang ia pelajari dari kanal youtube serta fragmen melukis dengan judul Introvert Hangover.
Hari menjelang sore percakapan kami sudahi, saya beranjak pulang ke Denpasar. Jalan Danau Poso dulunya ramai, sekarang sepi karena pandemi, ini mungkin yang dikatakan Mbok Tini, belajar dari diri untuk menemukan kehampaan. Dari hampa ini kita bisa belajar menerima kesalahan terdahulu.[T]
- Penulis: Jong Santiasa Putra
___________
- Ibudaya Festival adalah festival perempuan dengan mengusung tema Mula Ka Mula. Menghayati nilai luhur kearifan lokal melalui cinta kasih sang Ibu, untuk itu pulanglah ke rumah bertemu Ibu, untuk menanam diri dengan kebaikan, agar tumbuh kebajikan demi keselarasan alam semesta.
- Ibudaya festival persembahan Dadisiki Bali yang digagas Ayu Laksmi Kegiatan ini dilaksanakan oleh Antida Music Production didukung oleh Bali Wariga. Singaraja, Kabupaten Buleleng akan menjadi tuan rumah dalam penyelenggaraan perdana Ibudaya Festival 2021.
- Puncak Ibudaya Festival 2021 akan tayang di kanal Youtube “Ibudaya Festival” & “Kemenparekraf” pada 24 Oktober 2021 pukul 16.30 WITA
BACA JUGA
Ibudaya Festival, Merawat Negeri dari Bali Utara
Ibudaya Festival | Tubuh yang Tegang, Marwah Jasmine Okubo
__________