Butuh empat bulan lebih untuk melanjutkan tulisan ini. Semenjak menulis “Membaca Soekarno dari Sudut Kontrakan [1]”, saya sering mendapat situasi dan kondisi yang tak terduga. Salah satunya, untuk yang kesekian kalinya, saya harus pindah tempat tinggal. Dan ini membuat saya, sekali lagi, merasa tak baik-baik saja.
Sudah lama rasanya saya tak menulis apa-apa. Jangankan tulisan panjang dua-tiga halaman di word, menulis di status facebook saja tidak. Entahlah, belakangan ini saya sangat pesimis dalam memandang segala hal. Ini masalah saya.
Tetapi saya tidak hendak curhat di sini, saya akan melanjutkan─walaupun agak memaksa─ tulisan tentang Soekarno. Lebih tepatnya, tentang salah satu artikel dalam buku karya Soekarno yang baru saja selesai saya baca.
Buku ini, buku yang berisi pikiran-pikiran orisinil Soekarno muda tentang berbagai hal, terutama menyangkut ideologi, nasionalisme, dan kemerdekaan. Tulisan dalam buku ini berlangsung sepanjang tahun 1928-1940 dan dimuat di berbagai surat kabar, seperti Suluh Indonesia Muda dan Pikiran Rakyat. Boleh dikatakan pikiran-pikiran dalam buku inilah yang menjadi haluan sejak perjuangan Soekarno dalam menentukan masa depan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan dan persatuan. Buku ini, berjudul Nasionalisme, Islamisme, Marxisme: Pikiran-Pikiran Soekarno Muda─diterbitkan oleh Sega Arsy, Februari 2015. Yang memuat 21 artikel. (Dalam tulisan ini, atas keterbatasan saya, saya hanya fokus satu artikel yang menjadi judul buku ini saja).
Soekarno: Pembelah atau Pemesatu?
Saya awali dengan pertanyaan ini. Apakah Seokarno seorang pemersatu atau justru seorang pembelah?
Setelah selesai membaca Nasionalisme, Islamisme, Marxisme, saya membaca komentar Max Lane di Historia.id. Dan saya terperangah. Sebab Lane berkomentar bahwa artikel Soekarno yang dimuat di Suluh Indonesia Muda pada 1926 itu sejatinya adalah tulisan pembelahan, bukan penyatuan. Bahkan, orang yang menganggap bahwa tulisan Nasionalisme, Islamisme, Marxisme itu sebagai pemersatu, dianggap Lane memiliki pandangan yang dangkal.
Menurut Lane, Sokarno cukup panjang lebar menjelaskan sebuah argumentasi yang diamanatkan pada masing-masing kaum nasionalis, kaum Islam dan kaum Marxis bahwa mereka harus memilih. Harus memilih! Itu memang tantangan yang selalu akan dilemparkan oleh pemimpin yang serius. “… Masing-masing umat ketiga aliran dihadapkan dengan pilihan yang akan membelah aliran itu masing-masing, serta juga sekaligus membelah bangsa,” tulis Lane dalam artikelnya Soekarno: Pemersatu atau Pembelah?
Dalam artikelnya Soekarno menyerukan:
Kepada kaum nasionalis: “Nasionalis yang segan berdekatan dan bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis-Nasionalis semacam itu menunjukkan ketiadaan yang sangat, atas pengetahuan tentang berputarnya roda-politik dunia dan riwayat. Ia lupa, bahwa asal pergerakan Marxis di Indonesia atau Asia itu, juga merupakan tempat asal pergerakan mereka. Ia lupa, bahwa arah pergerakannya sendiri acap kali sesuai dengan arah pergerakan bangsanya yang Marxistis tadi.”
Kepada kaum Islam: “Hendaklah kaum Islam yang tak mau merapatkan diri dengan kaum Marxis, sama ingat, bahwa pergerakannya itu, sebagai pergerakan Marxis, adalah suatu gaung atau kumandanganya jerit dan tangis rakyat Indonesia yang makin lama makin sempit kehidupannya, makin lama makin pahit rumah tangganya.
“Untuk Islamis sejati, maka dengan lekas sahaja teranglah baginya, bahwa tak layak dia memsuhi faham marxis yang melawan peraturan meerwardenya (nilai lebih), sebab dia tak lupa, bahwa Islam sejati juga memerangi peraturan itu: ia tak lupa Islam yang sejati melarang keras memakan riba dan memungut bunga.”
Kepada kaum Marxis: “Demikian pula, tak pantaslah kaum Marxis itu bermusuhan dan berbenturan dengan pergerakan Islam yang sungguh-sungguh. Tak pantas mereka memerangi pergerakan yang, sebagaimana sudah kita uraikan di atas, dengan seterang-terangnya bersikap anti-kapitalisme; tak pantas mereka memerangi pergerakan yang, sebagaimana kita uraikan di atas yang dengan sikapnya anti-riba dan anti-bunga ialah seterang-terangnya jalah anti-meerwaarde.”
Dari kutipan di atas, Soekarno mencoba menjelaskan bahwa masing-masing kaum sama-sama memiliki sikap anti-kapitalis. Dia menjelaskan persamaan antara riba dan bunga dalam Islam dan nilai lebih dalam Marxisme serta juga menjelaskan bahwa hukum kapitalisme akan kebutuhan cari nilai lebih sebanyak-banyaknya juga adalah motor meluasnya kolonialisme, yang dilawan oleh semua mereka yang berideologi nasionalis.
Kalau kita lihat dari permukaan, artikel Soekarno ini memang tampak memiliki agenda penyatuan ketiga golongan.
“Dengan jalan yang kurang sempurna, kita mencoba membuktikan bahwa paham Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain,” tulis Soekarno.
“Nasionalisme, Islam, dan Marxisme, inilah asas-asas yang dipegang teguh oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi rohnya pergerakan-pergerakan di Asia. Rohnya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia kita ini,” lanjutnya.
Akan tetapi, Lane berpendapat lain. Setiap aliran, kata Lane, yang semuanya setuju Indonesia merdeka, dihadapkan dengan pilihan: bersatu atau tidak. Memang, Soekarno membelah demi sebuah persatuan─tetapi bukan asal persatuan. Ada basis persatuannya yang diperjuangkannya.
“Setiap orang yang memperjuangkan sebuah basis persatuan yang jelas akan mengakibatkan pembelahan, karena orang harus memilih,” tulis Lane.
Akhir dari Nasakom
Hingga kita tahu, pada era Demokrasi Terpimpin yang berlangsung pada 1959 hingga 1965, Soekarno kembali mengumandangkan gagasannya ini─gagasan yang ditulisnya pada 1926 di surat kabar Suluh Indonesia Muda. Ia mengkritik sistem Demokrasi Parlementer yang dianggapnya tidak cocok diterapkan di Indonesia.
Dalam buku Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta (2010) karya Zulfikri Suleman, Demokrasi Parlementer melindungi sistem kapitalisme─karena menurut Soekarno, parlemen dikuasai kaum borjuis─dan oleh karenanya tidak akan bisa memakmurkan rakyat.
Tak hanya itu, Bung Karno juga menganggap sistem Demokrasi Parlementer juga bisa membahayakan pemerintahan.
Maka, pada Februari 1956, Soekarno mengusulkan konsep baru yang disebutnya Demokrasi Terpimpin dengan berpondasi kepada tiga pilar utama: Nasakom.
Soekarno berpendapat bahwa Nasakom merupakan perwujudan Pancasila dan UUD 1945 dalam politik. Dalam pidatonya pada peringatan hari kemerdekaan RI tahun 1961, dia berucap lantang:
“Siapa yang setuju kepada Pancasila, harus setuju kepada Nasakom; siapa yang tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Pancasila,” seru Soekarno dikutip dari buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2004) yang ditulis oleh Jan s. Aritonang.
Soekarno melanjutkan, “Sekarang saya tambah: Siapa setuju kepada Undang-Undang Dasar 1945, harus setuju kepada Nasakom; Siapa tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Undang-Undang Dasar 1945.”
Pada era ini, apa yang disebut Max Lane sebagai pembelahan begitu nyata. Dalam bukunya, In Memoriam: Mengenang yang Wafat (2002), Rosihan Anwar mengungkapkan, konsep Demokrasi Terpimpin dan Nasakom ditentang oleh Mohammad Hatta, sang wakil presiden. Menurut Rosihan, Nasakom berarti bekerja sama dengan PKI dan Hatta kurang cocok dengan itu. Akhirnya, dwitunggal pecah kongsi.
Tidak hanya itu, di kalangan militer, kalangan Islam─Masyumi dan NU─, terdapat pro dan kontra. Ada yang menerima gagasan Nasakom dan ada pula yang menolaknya. Indonesia terbelah menjadi pro dan kontra Soekarno, pro dan kontra Sosialisme ala Indonesia. Suatu paradoks. Gagasan yang dianggap menyatukan, tapi juga membelah yang lainnya. Hal inilah yang menjadikan Soekarno dijauhi beberapa tokoh nasional─termasuk Bung Hatta─pada masa itu. Dan pada akhirnya, sekuat apapun Bung Karno mempertahankan Nasakom-nya, rumusan ini akhirnya kandas setelah Orde Lama runtuh dan digantikan Orde Baru pimpinan Soeharto yang anti-komunis. Soekarno kalah total. Sosialisme ala Indonesia kalah total.
Hah, saya harus segera mengakhiri tulisan ini. Sebab saya sudah tidak tahu hendak menuliskan apa. Yang jelas, membaca dan mempelajari tulisan Soekarno sangat berguna bagi kita kaum muda. Salah satu pelajaran yang bisa diambil adalah pentingnya seorang pemimpin pembebasan bangsa berani memperjuangkan sebuah basis persatuan yang jelas, biar pun itu merupakan sebuah pembelahan. [T]
_____
Membaca Soekarno dari Sudut Kontrakan [1]
_____