Jika ditanya hal apa yang paling dirasakan oleh para aparatur sipil negera (ASN) pada masa pandemi corona virus desease (Covid) 19? Mungkin jawabannya tidak jauh dari sektor kesejahteraan dan kesehatan
Namun apabila ditanya lebih dalam lagi, misalnya perubahan apa yang paling dirasakan selama Covid-19? Jawabannya: digitalisasi.
Sejumlah teman pegawai/birokrat yang saya temui menyampaikan jawaban yang serupa, yakni penggunaan digitalisasi dalam dunia kerja, Ya, paling tidak, ini juga jawaban saya. Saya merasakan ada perubahan besar saat menjadi ASN di lingkup Pemerintah Daerah.
Setelah penggunaan G-Absen dan G-Kinerja berjalan baik sejak awal tahun 2021, kini aplikasi seperti Zoom dan Google Meet barangkali sudah menjadi hal yang wajib ada di laptop dan smartphone, bahkan intensitas penggunaan aplikasi rapat ini pun cukup tinggi oleh beberapa instansi perkantoran.
Yang terbaru tentunya aplikasi Peduli Lindungi yang diluncurkan Pemerintah Republik Indonesia sebagai platform aplikasi standar nasional untuk bisa mengetahui data dan riwayat yang berkaitan dengan Covid-19.
Namun pembahasan kali ini bukan terkait aplikasi karena saya bukan ahlinya. Hehe.. Tapi saya akan bercerita terkait dengan nuansa kerja yang saya rasakan setelah budaya digital ini masuk ke dunia kerja birokrat. Mari kita bahas.
Efek Budaya Digital
Problem budaya digitalisasi adalah kemampuan ASN untuk beradaptasi dengan derasnya arus informasi dan teknologi. Kalau konteks diskusinya dengan generasi Y dan generasi Z yang lebih tren disebut generasi milenial, teknologi mungkin bisa menjadi “makanan” sehari-hari. Tapi bagi generasi baby boomer dan beberapa generasi X (kelahiran tahun 1964 sd 1980), ini menjadi permasalahan tersendiri, tergantung kemampuan untuk beradaptasi.
Pada prinsipnya secara umum semua perubahan digitalisasi ini akan diikuti, namun perlu waktu yang cukup dibanding generasi milenial. Kuncinya adalah kolaborasi. Generasi milenial mungkin unggul dalam hal kecepatan, namun generasi baby boomer dan generasi X memiliki kebijaksanaan dalam pengambilan sebuah keputusan.
Pengalaman lain yang saya rasakan efeknya adalah pada tahapan implementasi. Karena digitalisasi mengakibatkan semakin berkurangnya kemampuan ASN untuk proses menganalisa. Apalagi banyaknya Peraturan/Regulasi yang terus dilakukan update, terkadang tidak bisa diimbangi dengan kemampuan dan pemahaman akan implementasi kegiatan apalagi sosialisasi selama masa pandemi Covid-19.
Saat ini sosialisasi gencar dilakukan melalui aplikasi Zoom Meeting membuat kegiatan sosialisasi semakin susah untuk dipahami. Yang ada kemudian, tetap dilakukan lagi komunikasi dan koordinasi ulang atau mencari fatwa dan berkonsultasi dengan pihak yang melakukan pemeriksaan dan audit, untuk lebih meyakinkan kegiatan berjalan on the track.
Scan, Save dan Share
Cara kerja yang saya rasakan menjadi sangat cepat, alur hirarki birokrasi kini secara perlahan mampu terpangkas dalam hitungan detik. Semua bisa berubah karena teknologi. Kini update informasi dan pertukaran data tidak perlu saling menunggu satu sama lain, karena derasnya informasi yang masik baik di WA mapun portal resmi pemerintah.
Contohnya, beberapa dokumen atau blanko yang selama ini harus diambil dan diisi oleh masyarakat, kini bisa tinggal upload dan kirim secara digital. Yang lebih kreatif bahkan beberapa instansi sampai membuat video tutorial pengisian, tentunya untuk mempermudah penjelasan dalam hal pelayanan utamanya.
Dampaknya hirarki birokrasi pun semakin terkikis karena berbasis data. Namun di sisi lain kontrol peredaran data dan dokumen kadang menjadi kurang terkendali. Terkadang surat atau dokumen data yang sifatnya internal juga beredar, dan apabila salah dalam membaca dan menerjemahkan justru akan menimbulkan opini yang berbeda.
Jadi, memang lebih elok apabila hal yang sifatnya internal bisa diselesaikan terlebih dahulu, dan setelah beres barulah kemudian dapat dibuka dan di-ekspose kepada khalayak umum.
Bukan hanya dalam dokumen, aktivitas ASN pun tidak luput dari pantauan teknologi digitalisasi. Kalau selama ini hanya diawasi oleh atasannya, kini pengawasannya juga bisa langsung oleh masyarakat. Jadi, apabila tidak ingin “viral” di sosial media, pelajaran terpenting yang dipetik adalah kemampuan menganalisa dan mengendalikan jari-jari tangan sebelum share di sosial media.
Bagian terakhir itulah tampak mudah untuk dipikirkan, namun susah untuk dilaksanakan. Hehehe. Selamat bekerja. [T[