Setelah beberapa kali rencana pulang liburan ke Bali dari Niseko, Hokkaido – Jepang, batal karena situasi pandemi, akhirnya saya dan suami bertekad untuk menyukseskan rencana saya pulang Maret tahun depan.
Masih lama tapi sudah dibahas terus dari sekarang. Ha ha ha.
Rencana awal adalah pulang setahun sekali sekitar November, saat hotel ditutup untuk mengganti mesin dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelayanan tamu dari format musim panas ke musim dingin. Tetapi November tahun lalu tidak memungkinkan untuk pulang dan yang kedua akan segera tiba, tapi masih ada banyak kendala.
Saking sudah tidak terbendungnya rasa rindu yang melanda ini, hampir tiap hari saya menghantui anak-anak dan suami dengan topik pulang. Sebelum pulang mau beli ini, mau beli itu. Mau begini, mau begitu. Liburan ke sini ke situ, makan ini makan itu, bikin ini bikin itu.
Terus hitung-hitung budget, langsung terbungkam. Dasar. Karena sudah merencanakan akan pulang Maret 2022 dengan apapun kondisinya, saya merasa sudah saatnya bersiap-siap. Salah satunya siap bertemu suami. Ahayy
Untuk menjaga kebugaran dan bentuk tubuh, selama musim panas dan memasuki musim gugur ini, saya rajin berolahraga. Kalau sedang mood olahraga yang benar dan berkeringat lumayan, biasanya saya posting ala-ala kekinian. Ambil foto yang keringatnya masih mengucur sedikit kemudian difoto dari atas biar kelihatan lebih tirus, edit edit dan beri latar musik, cussss.
Tapi yang sungguh-sungguh saya lakukan dan tidak sempat fotoan karena saking ngos-ngosan juga banyak. Dari sekian, yang saya gemari belakangan ini adalah paduan dari intermittent diet (makan dengan jangka waktu tertentu) selama 8 jam, dan olahraga jogging atau jalan kaki. Kebanyakan jalan kaki sebenarnya, jogging-nya kalau ada orang lewat saja.
Nah, pada suatu hari ketika saya libur dan cuaca sedang cerah merekah nan indah, saya memutuskan untuk jogging (jalan doank padahal) seperti biasanya di area sekitaran asrama. Tapi kali ini, selain dengan jogging outfit, berbekal sebotol cafe latte, saya juga membawa uang receh 200 yen.
Kata teman saya yang juga jogging beberapa hari lalu saat libur, ada penduduk setempat yang memiliki lahan perkebunan berbagai macam sayuran membuka “warung kejujuran”. Barang dagangan saja yang disiapkan, tanpa ada yang menjaga. Kebetulan saya kehabisan tomat. Apalah kehidupan kuliner saya tanpa tomat yang diulek dengan cabai dan kawan-kawannya. Saya harus membeli tomat.
Cuaca yang sangat cerah dan alam yang senantiasa indah memang sangat membantu saya me-refresh pikiran dan mencuci mata dari sekian gambar potongan potret kehidupan teman-teman di social media yang saya scroll tiap waktu. Saya juga bisa mencari ilham untuk topik obrolan dengan keluarga saat video call nanti. Semua pasti pernah mengalami kan? Video call-an tapi diem-dieman karena kehabisan topik dan sedang asyik dengan kesibukan masing-masing.
Kalau Gecha, anak pertama saya, dia sangat sopan kepada Mummo-nya ini. Layar dibiarkan mengarah kepadanya, meskipun di layar gawainya dia sedang menonton atau bermain game. Berbeda dengan Rhea, puteri yang kedua, saya panggil via video-call, dan kalau dia sedang menonton You-Tube ya sudah, sayonaraaa tombol merah ditekan tanpa perintah.
Alhasil saya mampir ke “warung kejujuran” milik entah siapa, salah satu penduduk pemilik ladang di dekat asrama. Sayurannya dijual murah, dan tidak ada kasirnya. Hanya ada kotak imut untuk memasukkan uang sebagai gantinya. Di masing-masing keranjang ada keterangan harga, rata-rata 100 yen. Sangat murah dibanding harga di supermarket. Dan tentunya kondisinya segar bugar karena baru dipanen.
Saya ambil 1 bungkus tomat dan eh, ada seorang Ibu mampir dengan mobilnya sedang kebingungan. Dia kehabisan receh, karena di perjalanan pulang ada juga warung seperti ini dan dia sudah mampir, tapi di sana tidak menjual wortel seperti warung ini. Jadilah saya yang hanya butuh tomat langsung mengambil wortel dan menyerahkan pada Ibu itu. Terjadilah barter, saudara-saudara. Saya malah diberinya setengah kotak blackberries yang ia beli di supermarket. Asiik.
Keren ya, selain adanya warung kejujuran, di sini banyak sekali contoh nyata bagaimana orang-orang Jepang menjunjung kesopanan, kejujuran, dan tahu batasan privasi masing-masing. Saya sih ga kebayang kalau saya punya jualan saya gelar begitu saja tanpa diawasi.
Tapi ya, sekarang ini justru malah dalam situasi pandemi, saya melihat kawan-kawan di Bali menyediakan bahan pangan gratis bagi yang membutuhkan. Itu malah bukan dipatok 10 ribu atau sekian ribu. Cuma-cuma! Salut sekali untuk rekan-rekan yang berhati tulus dan berjiwa sosial. Mungkin bagian ini, Jepang yang mesti tiru dari kita ya.[T]
___