Banyak orang mengatakan bahwa uang adalah kebutuhan utama. Lebih baik menangis di dalam rumah mewah dari pada di dalam gubuk; tekanan akibat kebosanan akan lebih mudah diatasi saat memiliki uang; fasilitas akibat uang akan mengurangi tekanan yang hadir. Apa lagi? Uang tampaknya memang benar-benar memiliki kekuatan besar dalam memberikan kebahagiaan.
Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawab hal tersebut, langkah awal yang perlu dilakukan adalah dengan menelusur asal mula terciptanya dan bagaimana uang–pada akhirnya–memengaruhi kebahagiaan.
Pada buku berjudul “Money” yang ditulis oleh Yuval Noah Harari, dijelaskan bahwa awalnya manusia memenuhi kebutuhan yang tidak dimilikinya dengan cara bertukar barang atau barter. A yang memiliki gandum dan membutuhkan garam akan bertukar dengan B yang memiliki garam tetapi membutuhkan gandum. Barter–dalam konteks ini–tentu saja adalah tindakan untuk saling menukarkan barang yang memiliki nilai konsumtif yang jelas dan sama jika dilihat dari kebutuhan masing-masing pihak.
Misalkan, gandum dan garam yang dipertukarkan sama-sama dapat dikonsumsi. Atau, gandum dengan sandal yang dipertukarkan juga sama-sama memiliki nilai konsumsi yang jelas. Nilai konsumsi pada kedua barang pada akhirnya disepakati untuk memiliki “harga yang sama” agar patut dipertukarkan–dengan tambahan kondisi di mana kedua belah pihak memang saling membutuhkan barang yang tidak dimiliki: sepasang sandal yang terbuat dari kulit binatang adalah seharga 5 karung gandum pada pembuat sandal yang memerlukan gandum untuk dimakan dan petani gandum yang membutuhkan sandal untuk bercocok tanam.
Saat dipraktikan, cara tersebut menjadi makin rumit saat kebutuhan antara kedua belah pihak tidak sinkron. Contohnya: pada suatu musim panen gandum, seorang pengerajin sandal yang sudah terlalu banyak memiliki gandum berhadapan dengan petani yang ingin menukarkan gandumnya dengan jasa pembuatan sandal. Nah, apakah transaksi dari kedua kubu tersebut akan berhasil?
Pengrajin sandal tentu saja sukar untuk menerima gandum sebagai alat barter karena menumpuk gandum yang berlebihan–sehingga menyimpan gandum dalam jangka waktu yang lama–hanya akan membuat kelebihan gandum rusak dan tidak bisa dikonsumsi. Pengerajin sandal juga tidak dapat menukarkan kelebihan gandum yang dimilikinya ke orang lain di sekitarnya karena orang-orang tersebut juga sudah memiliki gandum yang berlimpah. Di titik ini terdapat masalah yang krusial: ketidakseimbangan antara kebutuhan dan harga tukar.
Sejalan dengan perkembangan zaman, solusi akan kekurangan dari barter mulai disiasati dengan dengan alat tukar yang disepakati bersama. Alat tukar ini–dalam perkembangannya disebut dengan “uang”–dapat menentukan persamaan nilai berbagai barang dengan lebih presisi.
Uang memiliki nilai yang relatif tetap, mudah disimpan, dan terbuat dari bahan yang tahan lama. Agar syarat tersebut berjalan, perlu adanya kesepakatan bersama mengenai nilai tukar uang yang dipakai secara umum–dengan konsekuensi mengesampingkan nilai konsumsi dari uang tersebut.
Koin yang terbuat dari emas atau logam–walaupun tahan lama–jelas saja tidak bisa dikonsumsi langsung seperti gandum atau garam. Koin menjadi berharga sebagai alat tukar karena adanya kesepakatan bersama yang biasanya ditentukan oleh otoritas di masyarakat–itu adalah salah satu alasan dari adanya gambar raja pada koin sebagai jaminan imperium akan alat tukar yang sah.
Di titik ini, nilai uang sudah mulai ditentukan oleh “kesepakatan komunal” walaupun alat tukar tersebut tidak memiliki nilai konsumsi yang nyata. Mulai dari konsep ini pula, pemikiran kritis pada tulisan ini–terkait dengan kebutuhan manusia yang terikat pada uang yang nisbi, imajiner, dan semu–dimulai.
Beranjak dari konsep bahwa kebutuhan manusia–menurut Maslow–berjenjang dari kebutuhan untuk bertahan hidup dan naik perlahan ke hal-hal yang lebih abstrak. Pada fase awal, individu melakukan transaksi untuk bertahan hidup untuk memenuhi kebutuhan sandang-pangan-papan. Setelah fase tersebut terlewati, kebutuhan akan kestabilan masa depan pun dicari dengan menggunakan uang sebagai sarana.
Kepemilikan atas uang adalah jaminan akan masa depan yang bebas dari kekurangan sandang- pangan-papan. Hal yang sama berlaku terhadap tabungan/asuransi yang menjamin untuk hari tua ataupun sakit di kemudian hari: semua untuk memastikan agar masa depan tetap aman. Pemenuhan dua kebutuhan awal yang terpenuhi kemudian beranjak ke kebutuhan untuk mendapatkan kasih sayang.
Pada tahapan ini, sebenarnya uang tidak lagi diperlukan. Walaupun demikian, bisa jadi lingkungan sosial yang “sepakat” bahwa kemampuan untuk membuat orang lain tercukupi dan merasa nyaman–dengan menggunakan uang–adalah salah satu variabel dari “penerimaan dan kasih sayang” dari orang-orang terdekat. Premis tersebutlah–salah satunya–yang mendasari argumentasi bahwa pernikahan perlu siap secara finansial agar keluarga tetap harmoni. Walaupun, hal tersebut tentu saja salah secara logika: kasih sayang tidak berkaitan sama sekali dengan “uang”.
Kebutuhan kemudian beranjak lagi ke konsep yang lebih tinggi: mendapatkan penghargaan dan pengakuan dari lingkungan. Penghargaan dari lingkungan secara pragmatis dapat dipenuhi–salah satunya–jika seseorang memiliki uang yang banyak. Orang kaya akan menjadi figur yang utopis bagi orang-orang yang tidak pernah memiliki uang berlebih.
Orang kaya dapat membeli tawaran “semu” dari para kapital yang menjual barang-barang yang dapat menunjukan citra mewah dan berkelas walaupun barang tersebut memiliki nilai tukar yang tidak sebanding dengan nilai gunanya. Dan parahnya lagi, ilusi para kapital tersebut disetujui oleh mayoritas masyarakat dan menjadi dogma yang tidak pernah dipertanyakan.
Para kapital tentu saja paham dengan konsep ini tetapi tidak pada mayoritas masyarakat: mereka akhirnya mengontrol pandangan masyarakat dengan menyetir trend sesuai dengan kepentingan industri.
Lalu, apa yang terjadi saat pengakuan dari lingkungan akibat memiliki banyak uang telah didapatkan? Berhentikah di situ? Jelas, pencarian manusia akan lanjut ke tahapan teratas: aktualisasi diri.
Aktualisasi diri dapat terlihat dari para kapital super kaya yang sudah tidak lagi mencari pengakuan. Mereka sudah berada pada tahap melakukan aktualisasi diri dengan cara mengontrol dan menguasai trend atau isu di masyarakat agar sesuai dengan kepentingan mereka. Contoh lain yang lebih kasat mata adalah seseorang yang sudah sangat kaya kemudian terlihat “menghambur – hamburkan” uang untuk masuk ke dunia politik. Berpolitik, tercatat dalam sejarah perjalanan sebuah bangsa, dan akhirnya: aktualisasi diri didapatkan.
Kesemua tahapan tersebut tampaknya hanya dapat menggunakan uang sebagai kereta utama untuk memenuhi kebutuhan. Tetapi, apakah hanya uang yang dapat dijadikan alat transportasi?
Uang, bisa jadi hanya berpengaruh secara krusial pada tahap pemenuhan kebutuhan dasar dan keamanan akan masa depan. Tahapan setelah itu proses pemenuhan kebutuhan sejatinya bebas dilakukan dengan media apapun. Uang sebagai kebutuhan manusia yang paripurna hanya delusi masal yang diyakini sebagian besar masyarakat. [T]
___