Pandemi Covid-19 yang dimulai di Wuhan, Tiongkok tahun 2019 telah melanda seluruh dunia dan diumumkan secara resmi sudah masuk ke Indonesia sekitar Maret 2020. Di Indonesia Covid-19 tidak saja menyebabkan banyak orang terpapar penyakit itu, tetapi juga menyebabkan korban jiwa dan memorak-porandakan ekonomi sampai ke daerah.
Pandemi Covid-19 di Bali telah menghentikan kegiatan pariwisata menyebabkan ekonomi Bali, yang berbasis pariwisata, pertumbuhannya minus 9,31% pada tahun 2020. Ekonomi Buleleng, yang tidak terlalu bertumpu pada pariwisata, tetapi berbasis pertanian, pertumbhannya minus 5,76% pada tahun 2020, masih lebih baik dari pertumbuhan ekonomi Bali.
Memasuki tahun 2021, ada optimisme Pandemi Covid-19 akan mereda. Namun, kondisi Pandemi Covid-19 berfluktuasi secara dinamis. Juni 2021 mulai ada Covid Varian Delta yang lebih ganas penularannya, sehingga Pemerintah Indonesia menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat mulai tanggal 3-20 Juli 2021 untuk Jawa dan Bali, kemudian dilanjutkan lagi dengan PPKM level 4 dimulai 21 Juli sampai tanggal 2 Agustus 2021. PPKM darurat dan level 4 yang bertujuan meredam penularan Covid yang mengganas tentu tidak terhindarkan mempersempit ruang gerak kegiatan ekonomi masyarakat. Dibutuhkan kebijakan penanganan Pandemi Covid-19 yang seimbang antara penanganan aspek kesehatan dan aspek ekonomi masyarakat.
Keseimbangan Aspek Kesehatan dan Aspek Ekonomi
Penanganan Pandemi Covid-19 telah menggunakan ilmu pengetahuan mutakhir dan tenaga ahli di Barat maupun di Timur. Namun, tampaknya belum mencapai hasil yang diharapkan. Tentu terus diperlukan riset dan tenaga ahli dengan keahlian mutakhir untuk penanganan pandemi tersebut, tetapi juga perlu belajar dari masa lalu penanganan pandemi dan penanganan krisis ekonomi yang ditimbulkannya.
Orang yang belajar sejarah tahu bahwa sejarah memiliki tiga dimensi, masa lalu masa kini, dan masa depan. Dari sejarah kita bisa belajar dari masa lalu untuk bertindak di masa kini dalam rangka mencapai masa depan. Penanganan Pandemi Covi-19 secara seimbang antara aspek kesehatan dan aspek ekonomi nampaknya bisa belajar dari sejumlah peristiwa masa lampau.
Flu Spanyol
Flu Spanyol terjadi seabad yang lalu tahun 1918-1920. Flu yang melanda dunia itu diperkirakan menyebabkan korban meninggal di seluruh dunia mencapai 50 juta orang dalam dua tahun antara tahun 1918 dan 1920. Korban meninggal akibat flu Spanyol dipercaya lebih banyak dari korban meninggal akibat Perang Dunia I. Banyaknya korban meninggal akibat flu Spanyol disebabkan oleh keterbatasan ilmu kedokteran saat itu dibandingkan kemajuan ilmu kedokteran saat ini.
Para dokter saat itu tahu penyebab flu Spanyol adalah mikkroorganisme dan penyakit itu bisa ditransmisikan antar manusia, tetapi mereka tidak mengetahui penyebab flu Spanyol adalah virus yang mereka ketahui penyebabnya adalah bakteri. Pada saat itu pengobatan juga terbatas. Antibiotik, penicillin baru ditemukan pada tahun 1928 oleh Aleander Fleming, dan vaksin flu baru beredar untuk umum pada tahun 1940-an.
Peristiwa flu Spanyol hampir terlupakan disebabkan oleh pemberitaannya saat itu lebih banyak disensor karena politik Perang Dunia I. Enncyclopedia Britannica pada ulasan tentang “tahun paling penting di abad ke 20” edisi tahun 1924, tahun yang sangat dekat setelah peristiwa flu Spanyol, tidak menyebutkan pandemi flu Spanyol. Buku-buku sejarah pertama yang membahas pandemi flu Spanyol baru terbit tahun 1968. Bersyukur kita masih bisa belajar dari pandemi itu serta dampaknya.
Sejumlah pelajaran yang bisa dipetik dari pandemi flu Spanyol.antara lain sebagai berikut.
Kisah Pengaturan Jarak Sosial pada Flu Spanyol
Ada kisah yang sangat terkenal mengenai dua kota di Amerika Serikat (AS) terkait dengan pandemi flu Spanyol. Pada bulan September 1918 kota-kota di AS mengorganisasi pawai untuk memromosikan obligasi perang. Dana penjualan obligasi akan digunakan untuk membantu membiayai perang yang sedang berlangsung. Ketika wabah flu Spanyol muncul, Philadelphia tetap melakukan pawai sedangkan St. Louis mengambil keputusan membatalkan pawai.
Pada bulan Okteber 1918, sebulan setelah pawai, lebih dari 10.000 orang meninggal di Philadelphia. Di St. Louis warga yang meninggal kurang dari 700 orang. Kasus dua kota di AS itu bisa menjadi pelajaran bahwa mengatur jarak sosial merupakan strategi untuk mengatasi pandemi virus itu.
Di Indonesia, pemerintah sudah menerapkan mengatur jarak sosial sebagai salah satu strategi untuk mengatasi Pandemi Covid-19. Namun, sejumlah warga di Indonesia termasuk di Bali masih mengadakan demonstrasi di jalanan, mengumpulkan banyak orang di tahun 2020 saat Pandemi Covid-19 sudah melanda Indonesia.
Kelas Bawah Lebih Banyak Menjadi Korban saat Flu Spanyol
Flu Spanyol melanda India pada bulan Mei 1918. Pada tahun itu, sudah banyak warga Inggris dan Eropa lainnya tinggal di India, karena saat itu India sudah lebih dari 100 tahun dijajah oleh Inggris. Warga India lebih banyak terkena dampak buruk ketimbang penduduk warga Inggris dan Eropa lainnya yang tinggal di India. Kasta rendah Hindu di India saat flu Spanyol tingkat kematiannya mencapai 61,6 per 1000 orang, sedangkan penduduk warga Eropa di India saat itu tingkat kematiannya kurang dari 9 orang per 1000. Kelompok nasionalis India saat itu, termasuk Mahatma Gandhi ada di dalamnya, memandang penjajah Inggris telah melakukan kesalahan dalam menangani pandemi tersebut.
Belajar dari masa lalu itu, pemerintah Indonesia, Bali, dan Buleleng tentu tidak akan membiarkan lapisan bawah masyarakat menjadi korban Pandemi Covid-19. Tentu juga masyarakat harus menaati anjuran pemerintah terkait dengan penanganan Pandemi Covid-19.
Ceritra Tetua Bali tentang Gerubug
Flu Spanyol tahun 1918-1920 juga melanda Bali, meski tidak banyak menjadi berita. Tetua Bali menceritrakan peristiwa itu sebagai Gerubug. Kematian terjadi dalam jumlah yang banyak disebabkan oleh wabah yang tidak kasat mata. Menurut ceritra tetua di Bali termasuk di Buleleng dalam satu hari terjadi kematian beruntun, sampai tidak ada yang menggotong mayat ke kuburan di suatu desa. Penggotong mayat, datang dari kuburan langsung ambruk. Yang tersisa hidup, konon karena sering berteduh bahkan tidur di bawah pohon yang rindang.
Kalau dilihat dari ilmu pengetahuan saat ini, berteduh di bawah pohon itu berarti dapat menghirup dan memeroleh suplai oksigen yang cukup. Menghirup dan memeroleh suplai oksigen yang cukup dapat meningkatkan saturasi oksigen di dalam tubuh sebagai salah satu cara pengobatan penyakit Covid-19.
Memelihara pohon rindang untuk memeroleh suplai oksigen berkaitan dengan kegiatan pertanian. Kegiatan ekonomi di sektor pertanian adalah basis ekonomi Buleleng yang terbukti merupakan penyangga dalam krisis ekonomi.
Pertanian Buleleng di Masa Krisis Ekonomi
Pertanian Buleleng tetap tumbuh positif di masa krisis ekonomi dan menjadi penyangga ekonomi Buleleng, sehingga di masa krisis ekonomi, pertumbuhan ekonomi Buleleng selalu lebih baik dari pertumbuhan ekonomi Bali. Pada saat krisis ekonomi tahun 1998, ekonomi Bali yang berbasis pariwisata anjlok, sedangkan ekonomi Buleleng yang berbasis pertanian, sektor pertaniannya masih tetap tumbuh, sehingga pertumbuhan ekonomi Buleleng lebih baik dari pertumbuhan ekonomi Bali.
Ketika bom Bali tahun 2002 dan 2005 berdampak terhadap kunjungan pariwisata, ekonomi Bali yang berbasis pariwisata juga anjlok, dan pertanian Buleleng tetap tumbuh sehingga lagi-lagi pertumbuhan ekonomi Buleleng lebih baik dari pertumbuhan ekonomi Bali. Pandemi Covid-19 berdampak paling parah kepada sektor pariwisata, karena perjalanan wisata terhenti, ekonomi Bali yang berbasis pariwisata tumbuh minus 9,31% tahun 2020, dan pertanian Buleleng masih bisa tumbuh, walaupun tidak sepenuhnya mampu menutupi sektor lain yang pertumbuhannya minus, sehingga pertumbuhan ekonomi Buleleng masih lebih baik dari pertumbuhan ekonomi Bali, yaitu tumbuh minus 5,76% tahun 2020.
Belajar dari masa lalu itu, Buleleng dan Bali mesti tetap serius menggarap sektor pertanian, yang memang sudah ada dalam perencanaan pembangunan. Kondisi Pandemi Covid-19 ini dipakai sebagai kesempatan untuk menggarap sektor pertanian secara lebih baik. Tidak semata mengandalkan pariwisata.
Itihasa Mahabharata
Bagi penganut Hindu, Itihasa Mahabharata merupakan implementasi dan menjadi sumber nilai dan ajaran Hindu. Pada Itihasa Mahabharata ada kisah Prabu Salya yang memiliki kesaktian ajian Candabhirawa. Ajian itu mampu mendatangkan pasukan siluman mahluk kecil yang bisa tampak bisa menghilang yang sangat ganas. Tidak ada musuh mampu menandingi pasukan siluman Prabu Salya itu. Hanya orang yang memiliki kesucian, sabar dan mampu mengendalikan diri yang dapat menundukkan tentara siluman itu. Yudistira memiliki kualifikasi itu.
Akhirnya Yudistira yang juga memiliki nama Dharmawangsa, melakukan Samadi mengerahkan kekuatan yang ada di dalam diri, serta memohon anugerah Hyang Widhi untuk melawan pasukan siluman Prabu Salya. Kemudian Yudistira yang suci, sabar, dapat mengendalikan, dengan Samadi-nya membangkitkan kekuatan yang ada di dalam diri, serta anugerah Hyang Widhi mampu mengalahkan Prabu Salya dan pasukan silumannya.
Pengetahuan yang ada saat ini mengajarkan meningkatkan kekuatan yang ada di dalam diri (imun) mampu melawan virus. Orang yang mampu mengendalikan diri, sabar, tidak mudah emosi, maka akan stabil dan tidak mudah turun imunnya.
Tantra dan Kanda Pat
Di masyarakat penganut kebudayaan Hindu, pengetahuan atau produk pengetahuan yang ada di Itihasa baik Mahabharata maupun Ramayana, itu adalah peristiwa historis, jika pada suatu masa tidak lagi ada karena sudah punah atau belum lagi diwujudkan, maka akan bisa diwujudkan. Senjata yang bisa dikendalikan ada pada Itihasa. Di jaman modern senjata itu mampu diwujudkan menjadi peluru kendali. Kemampuan melihat dan menceritrakan peristiwa yang terjadi di tempat yang jauh dari dan dari ruang tamu ada di Mahabharata. Di jaman ini diwujudkan berupa teknologi televisi
Pengetahuan dan kemampuan membangkitkan kekuatan yang ada dalam diri manusia yang dapat dipakai untuk mengendalikan alam dan isi alam ada di Mahabharata. Di masyarakat penganut kebudayaan Hindu pernah dikembangkan dalam pengetahuan dan prakten Tantra. Di Jawa dan Bali pernah dikembangkan menjadi Sedulur Papat/ Catur Sanak (di Jawa) dan Kanda Pat (di Bali).
Tantra meliputi pengetahuan dan praktek yang luas. Untuk menyampaikan secara singkat, penekun Tantra dapat mencapai tiga tahapan capaian, Sakti, Sidhi, dan Shanti. Penekun Tantra yang sudah mencapai tahap Sakti, akan mampu membangkitkan kekuatan dalam dirinya untuk mengendalikan isi alam pada tarap tertentu. Misalnya, melawan penyakit yang ada di dalam dirinya, mengobati penyakit orang lain, itu untuk tujuan positif. Akan tetapi dapat juga dipakai untuk menyakiti orang lain secara magis.
Di dalam sejarah Indonesia, Prabu Kertanegara, Raja Singasari, konon menekuni Tantra untuk mengimbangi kekuatan raja Tiongkok saat itu. Penekun Tantra yang mencapai tahap Sidhi akan mampu menggunakan kekuatan dalam dirinya berbuat kebaikan untuk membantu orang lain misalnya menyembuhkan orang sakit. Penekun Tantra yang sudah mencapai tahap Shanti, memilik prabawa atau aura yang damai. Orang yang sedang marah besar kalau didekati oleh penekun Tantra yang mencapai tahap Shanti, maka amarahnya akan reda.
Kanda Pat di Bali merupakan pengetahuan, keyakinan dan praktek kehidupan bahwa manusia lahir bersama dengan empat saudara yaitu, air ketuban, darah, plasenta, dan tali plasenta yang terhubung dengan puser. Empat saudara itu telah menjaga manusia sejak dalam kandungan dan terus akan menjaga ketika lahir di dunia sampai meninggal. Empat saudara itu bernama Anggapati, Prajapati, Banaspati, dan Banaspatiraja. Mereka memiliki kekuatan yang dapat dipakai untuk menjaga dan membantu manusia sebagai saudara lahirnya.
Manusia bisa memanggil empat saudara itu untuk membantu kalau menemukan kesulitan. Pengetahuan dan praktek itulah yang dipelajari pada Kanda Pat di Bali. Kanda Pat di Bali pernah juga dikembangkan sebagai tutur, pengetahuan, dan praktek tentang kedigjayaan. Itu pernah dikembangkan menjadi pengetahuan dan praktek membangkinkan kekuatan dalam diri sebagai pengiwa (di bawa ke kiri) menjadi desti, ilmu leak dipakai menyakiti orang, dan sebagai penengen (ke kanan) pengetahuan pengobatan untuk membantu orang.
Di masa kini baik Tantra dan Kanda Pat tidak banyak ditekuni orang di Bali. Mungkin pengetahuan dan praktek membangkitkan kekuatan dalam diri yang pernah ada itu perlu dipelajari kembali dan dikembangkan terutama dibawa ke arah positif, misalnya untuk meningkatkan imun tubuh dan untuk pengobatan.
Manuskrip Kuno tentang Upacara Agama di Masa Wabah
Bali memiliki pengetahuan tradisional yang tersimpan dalam manuskrip lontar. Di antara berbagai lontar yang masih ada, antara lain adalah lontar yang memuat ketentuan pelaksanaan upacara agama Hindu di masa wabah, yaitu lontar Anda Kacacar dan kompilasi lontar Rsi Sesana Catur Yuga. Pada lontar Anda Kacacar ada disampaikan “…jika masa berjangkitnya Anda Kacacar (wabah) janganlah hendaknya dilaksanakan orang segala kegiatan upacara pemujaan kepada dewa-dewa di pura, di pemerajan ataupun di sanggah, terutama pada waktu hari raya galungan. hentikanlah kegiatan itu semua”.
Pada kompilasi lontar Rsi Sesana Catur Yuga yang ditemukan di desa bugbug ada termuat, “…jangan melaksanakan salwirning walikrama (segala macam puja wali) tidak juga melakukan pemujaan dengan weda-mantra di pura-pura)
Pada lontar di griya sawan Buleleng: ada disampaikan pemimpin diperbolehkan meniadakan perayaan galungan sampai tiga kali jika terjadi wabah.
Jika dilihat dari pengetahuan mengatasi wabah di masa sekarang, meniadakan atau menunda pelaksanaan upacara agama Hindu di Bali yang termuat di dalam manuskrip kuno itu adalah mencegah kerumunan orang banyak dan menjaga jarak untuk mencegah penularan wabah.
Pemimpin di Bali di masa Pandemi Covid-19 sudah berulang kali mengeluarkan edaran untuk menunda pelaksanaan Yajna yang bisa ditunda. Pelaksanaan Yajna yang tidak bisa ditunda supaya dilaksanakan secara sederhana, dengan melibatkan orang dalam jumlah terbatas dan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Semestinya warga penganut Hindu di Bali mengikuti edaran pemimpin dalam pelaksanaan Yajna di Bali, karena hal itu memang sudah termuat di manuskrip tentang pelaksanaan Yajna di masa wabah yang memang seharusnya dijadikan rujukan oleh warga penganut Hindu di Bali.
Penutup
Penanganan Pandemi Covid-19 telah menggunakan ilmu dan teknologi kesehatan mutakhir dan tenaga ahli yang menguasai ilmu serta keterampilan terbaru pula. Namun, penanganan pandemi yang terus memiliki varian baru itu, belum menampakan hasil yang diharapkan. Penanganan yang dilakukan walaupun sudah berhasil menyembuhkan banyak orang, tetapi terus meningkat orang yang baru terpapar penyakit itu. Pemerintah dari Pusat sampai Kabupaten Buleleng tampak sudah berupaya terus melakukan penanganan Pandemi Covid-19 secara dinamis, seimbang antara penanganan aspek kesehatan dan aspek ekonomi.
Dalam menanggulangi Pandemi Covid-19 tampaknya perlu juga belajar dari masa lampau baik aspek kesehatan maupun aspek ekonominya. Dalam hal ini pemerintah juga tampak sudah melakukan hal itu. Namun demikian, selalu ada hal-hal yang perlu diperbaiki secara terus menerus. Masyarakat, untuk sebagian, adakalanya tidak mudah untuk diyakinkan mengikuti kebijakan dan anjuran pemerintah untuk menanggulangi pandemi ini. Dalam hal ini diperlukan sosialisasi dan persuasi terus menerus untuk meyakinkan masyarakat tidak saja memanfaatkan pengetahuan modern, tetapi juga menggunakan contoh-contoh dari masa lampau. [T]