Dari sisi politik ketatanegaraan Gajah Mada berhasil menyatukan wilayah-wilayah di Nusantara, sedangkan dari sisi budaya polkitik keagamaan telah berhasil menanamkan keyakinan agama Hindu-Budha sebagaimana disebut Mpu Tantular yang menyebutkan bhineka tunggal ika, Siwa lan Budha.
Itu kata guru besar Universitas Udayana, Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U., saat bicara dalam acara Rembug Sastra Sarasastra yang diinisiasi Yayasan Janahita Mandala Ubud di Museum Puri Lukisan, Ubud, Gianyar, Bali, Sabtu sore, 14 Agustus 2021.
Tema rembug sastra itu “Amukti Palapa: Meneladani Kepemimpinan Gajah Mada dalam Laku Sejarah dan Sastra”. Tema itu diambil sekaligus sebagai perayaan bulan kemerdekaan pada Agustus 2021. Sebab, bagaiman pun mata rantai sejarah Nusantara tidak bisa dipisahkan dengan sosok Mahapatih Gajah Mada.
Selain menampilkan pembicara Prof Wirawan, diskusi itu juga menampilkan Prof. Dr. Drs. I Nyoman Suarka, M.Hum., yang juga guru besar di Unud. Diskusi yang dipandu akademisi Unhi Denpasar, W.A. Sindhu Gitananda.
Nilai-nilai Ideal Seorang Pemimpin
Prof Wirawan mengatakan Gajah Mada adalah tokoh sentral dalam sejarah Kerajaan Majapahit, utamanya di masa-masa keemasannya. Gajah Mada telah mewujudkan sumpahnya “Amukti Palapa” untuk menyatukan daerah-daerah di seluruh Nusantara dengan pusat kekuasaan di Wilwatikta Majapahit.
Wirawan menyebut bahwa dalam proses menjadikan Majapahit sebagai negara yang besar, dari sisi budaya politik ketatanageraan Gajah Mada telah menanamkan nilai-nilai ideal bagi seorang pemimpin ketika ia memerintah. Nilai-nilai itu tidak lain adalah Asta Brata, delapan nasihat yang dinyatakan Sri Rama dalam epos Ramayana yang menvcerminkan sifat-sifat dari delapan dewa.
“Gajah Mada telah membentuk hubungan politik ketatanegaraan pusat-daerah berbasis kebudyaaan, yakni seni, sastra dan agama. Harta kekayaan budaya Jawa Majapahit banyak diwariskan kepada Raja Adipati Dalem Ketut Ngulesir, utamanya warisan nilai-nilai Hinduisme yang menjadi keyakinan kerajaan di Bali,” katanya,
Ia menjelaskan, meskipun tidak sepenuhnya bercorak Bali, Hindu Budha adalah corak agama kerajaan Majapahit. Akan tetapi, saat ini telah dilestarikan dan diwariskan menjadi Hindu Bali (Siwa Budha Bhujangga) Gelgel.
“Penyatuannya dalam bentuk pemujaan yang menyatukan catur warga di Pura Dasar Bhwana. Ini seyogyanya dapat dicatat dalam sejarah Gelgel, tempat dibangunnya keraton Swecapura sebagai pusat kekuasaan dan ibukota kerajaan Hindu, sedangkan Pura Dasar Bhuwana sebagai pusat pemujaan kerajaan Hindu. Kerajaan Hindu Bali Gelgel adalah satu-satunya kerajaan bercorak Hindu pewaris Hindu Budha Jawa Majapahit di Nusantara ketika proses gelombang Islamisasi terjadi,” tambahnya.
Teguh Mengabdi pada Negara
Prof Suarka kemudian membicarakan Gajah Mada dari perspektif sastra, dengan berpijak pada Kakawin Gajah Mada. Menurut dia, ketokohan Gajah Mada merupakan tokoh berkarakter bulat. Gajah Mada jaya secara lahiriah sebagai pencetus gagasan cemerlang yang dapat mengantarkan kejayaan Majapahit.
“Gajah Mada jaya dalam pemikiran berkat rasa bakti, kesetiaan, dan ketaatannya pada pengabdian serta jaya batin berkat pendalamannya terhadap wejangan guru serta ajaran agama sebagai persiapan mencapai moksa,” katanya.
Selain sebagai tokoh yang jaya, nilai-nilai lain yang juga dapat diteladani dari karakter Gajah Mada adalah sosoknya yang semangat akan janjinya, berbakti, mengabdi pada negara, berkeyakinan, patuh, teguh, dan setia. Karakter inilah yang melahirkan Gajah Mada sebagai pemimpin yang bijaksana, tegas, cerdas, teguh iman, berwibawa, dan pantang menyerah. Nilai-nilai ini, kata Suarka, penting diteladani generasi Indonesia saat ini, utamanya bagi para pemimpin.
“Kakawin Gajah Mada selesai ditulis pada tanggal 10 November 1958, pemilihan tanggal ini mungkin memiliki maksud tertentu. Kita ketahui bahwa 10 November ditetapkan sebagai Hari Pahlawan, sehingga ada kemungkinan Ida Cokorda Ngurah sebagai pengarang Kakawin Gajah Mada bermaksud memberikan penghargaan kepada tokoh Gajah Mada sebagai Pahlawan Nusantara melalui karya kakawinnya,” kata Suarka.
Dari sisi teksnya, ahli sastra Jawa Kuno ini mengatakan Kakawin Gajah Mada sebagai kakawin yang unik. Kakawin yang merupakan buah karya Ida Cokorda Ngurah ini menjadi satu-satunya kakawin yang ia temui memuja Brahma (Bhatara Datre) sebagai pusat orientasi pemujaan sang pengarang. Selama ini, para rakawi penggubah kakawin umunya akan memposisikan entitas Dewa Wisnu, Dewa Siwa, Dewa Budha, Dewa Smara, maupun Dewi Saraswati atau Wagiswari sebagai pusat orientasi pemujaan.
“Tampaknya alasan yang melatarbelakangi pujangga Kakawin Gajah Mada memuja kebesaran Dewa Brahma, dengan tujuan mendapat restu dan sekaligus terhindar dari segala kutukan Dewa Brahma, apalagi yang ingin dikisahkan adalah kisah putra Brahma, yakni Gajah Mada ini,” kata Prof Suarka. [T][*/JPD]