“Bahkan, walau perasaan sedih itu menakutkan, sesungguhnya manusia masih menginginkannya.”
Teknologi yang bakal menjadi standar hidup manusia di era modern ini, tak sepenuhnya dapat menguasai fenomena alam. Messi adalah ikon keaslian alam yang telah menjadi antitesis kehebatan teknologi buatan manusia. Ia tak terjamah, tak terusik oleh agresivitas kemajuan teknologi yang menyerbu mengepung kehidupan manusia. Kita bersyukur entitas ini masih ada dan tetap menyediakan ruang bagi emosi, hati, perasaan dan kelemahlembutan jiwa-jiwa manusia. Suasana itulah yang telah merasuki segenap insan di markas Blaugrana, pekan-pekan kemarin saat si Kutu (La Pulga) julukan Lionel Messi harus beralih ke klub kaya Prancis, Paris Saint-Germain.
Pendukung menangis dan sang striker meneteskan air mata. Pujangga masyur asal Lebanon, Gibran telah menuliskan, air mata yang menetes adalah cinta yang sejati. Bergabung dengan klub Barcelona sejak berusia 13 tahun adalah bukti cinta sang Messiah. Yang dikonfirmasi oleh tetesan air matanya saat melakukan konferensi pers, sebelum beranjak meninggalkan ibu kota wilayah otonom Katalonia setelah 21 tahun kesehariannya di kota dengan pola penataan grid yang unik itu.
Messi memang fenomenal. Skil individu yang dimilikinya, dapat dipastikan tak cukup terbentuk dari latihan belaka, itu meminta modal bakat alamiah yang spesial dan istimewa. Mungkin inilah alasannya, teknologi tak mampu mengadaptasinya. Kisah Messi menjadi kian mengesankan lantaran masa kecilnya mengalami gangguan medis yaitu kekurangan hormon pertumbuhan dengan dampak berbagai masalah kesehatan yang menyertainya.
From zero to hero, hingga kini, Messi telah mencetak 644 gol bersama Barcelona, unggul satu dari yang sudah ditorehkan idolanya Pele bersama Santos, pemegang rekor sebelumnya. Pencapaian paling besarnya adalah trofi Ballon d’Or. Messi merupakan pemain dengan raihan Ballon d’Or terbanyak, yakni enam trofi, meski saat ini telah diikuti oleh legenda hidup lainnya yaitu Cristiano Ronaldo, mega bintang Juventus. Itulah sebabnya pernah ada kelakar, jika tingkatan kwalitatif kehebatan pemain sepak bola diurutkan dari yang terendah sampai yang tertinggi akan didapatkan sebagai berikut, biasa, baik, sangat baik, Messi.
Kehebatan teknologi yang mencengangkan diwakili oleh sebuah kapsul bernama Blue Origin. Proyek wisata ruang angkasa yang dikembangkan oleh Jeff Bezos, bos Amazon ini, dapat membawa turis kaya raya untuk berplesir menuju Garis Karman, batas ruang angkasa yang paling dikenal, letaknya sejauh 100 km di atas permukaan bumi. Wisatawan akan dapat jungkir-balik karena kecilnya tarikan gravitasi dan tentu saja dapat melihat pemandangan bumi dari luar angkasa.
Untuk itu, sebuah roket bernama New Shepard diperlukan untuk mendorong kapsul menuju area sub orbit. Seorang pelancong harus menyiapkan fulus “hanya” 400 milyar rupiah untuk wisata mutakhir ini. Meskipun pasti mendebarkan, kedalaman emosi kisah wisata ekslusif itu belum mampu menyaingi drama hati para pecandu bola. Messi, berkat kekuatan dan kecepatan otot-otot dan sendi kedua kakinya serta kecerdasan otak kanannya, telah menjadikan aliran bola sedemikian menakjubkan dan sulit dipercaya. Maka ia digaji sebesar 675 milyar rupiah setahun. Jumlah uang yang bisa membawanya minimal setahun sekali jalan-jalan ke ruang angkasa.
Memang ada berbagai hal, keaslian elemen-elemen kehidupan yang kita miliki menolak teperdaya oleh invasi teknologi. Selain olah raga yang telah direpresentasikan dengan sangat mendalam oleh seorang Messi, hal-hal lain tentu saja seni dan sastra. Jika teknologi renjana menuju satu arah, keunggulan, kemenangan dan kapitalisme, maka seni dan sastra selalu berdiri di tengah-tengah. Posisi yang memudahkannya untuk bergerak ke atas atau ke bawah, ke depan atau ke belakang.
Pun posisi yang paling mudah digapai oleh siapa saja tanpa disekat oleh ras, jender, agama, usia bahkan orientasi seksualnya. Kita patut bersyukur misalnya, supremasi penghargaan tertinggi saat ini atas pencapaian seorang warga dunia, yaitu Nobel Prize, tak hanya mengakomodasi bidang sains dan teknologi, namun selalu memberi pengakuan di bidang sastra. Kita pun masih bisa merasakan hingga saat ini intervensi sains di bidang olah raga, yaitu video assistant referee (VAR) tetap menjadi isu kontroversial karena telah mengurangi sisi emosional pertandingan sepak bola.
Messi tetap harus ada sepanjang sejarah manusia, karena ia adalah harta karun tersembunyi bagi setiap anak manusia di muka bumi. Seperti halnya seni dan sastra yang selamanya harus menjadi kenikmatan hak setiap insan di setiap zaman dan peradaban. Teknologi akan tetap mendapat tempat terhormat saat hati dan perasaan manusia selalu peka dan jujur seperti tetes-tetes air mata di Nou Camp.[T]
_____