Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar keempat di dunia yang mempunyai pengguna smartphone atau ponsel pintar berbasis digital yang cukup banyak.
Berdasarkan data dari Katadata.co.id, diperkirakan pada 2025 terdapat 89% dari seluruh penduduk Indonesia sudah mempunyai telepon pintar yang terhubung dengan internet. Itu pun dengan pola penyebaran yang makin merata antara Sumatera, Jawa dengan pulau-pulau lain.
Pengunaan ponsel pintar di Indonesia tanpa bias gender karena adanya persentase yang sama antara pengguna perempuan dan laki-laki dengan disparitas pendidikan yang tidak jauh berbeda. Hal yang menjadi kendala hanyalah kecepatan koneksi internet yang belum setingkat dengan negara-negara lain di Asia.
Di satu sisi, hal ini tentu saja memberi dampak baik, yakni membuka dan membangkitkan perekonomian digital di mana orang bisa memasarkan produk maupun jasa lewat platform digital, dan Indonesia membuka pintu seluas-luasnya termasuk mendukung perkembangan digitalisasi.
Digital Culture
Namun tak bisa dipungkiri, digital culture atau budaya digital berpengaruh pada kesehatan mental, di antaranya menyebabkan terjadi distrasi yang lebih mudah pada pola pemikiran kita, menyebabkan disregulasi pada pola tidur, di mana blue light, teknologi dari ponsel pintar dapat menganggu keseimbangan melatonin dalam otak, sehingga banyak sekali kasus sulit tidur yang diakibatkan penggunaan ponsel pintar secara berlebihan.
Pada era digital yang menjadi tantangan adalah membuat keseimbangan antara pekerjaan dan hidup. Dahulu, sebelum era digital, sudah jelas kapan jam kerja dan kapan jam istirahat. Jadi ketika di kantor kita bekerja, dan saat di rumah kita beristirahat. Namun di era digital, dimana peluang ekonomi bisa diraih melalui platform digital menjadi tak ada batasan jelas kapan kita bekerja dan kapan kita beristirahat, karena pekerjaan via digital bisa dilakukan sepanjang hari yang tentu saja bisa mengakibatkan kerentanan tersendiri bagi kesehatan mental.
Era digital juga melahirkan fenomena Fear of Missing Out, atau kecemasan karena kelewatan sesuatu; akan tren, berita, atau isu-isu sensitif setiap hari. Cukup banyak orang mengalami kecemasan karena ketinggalan berita atau isu yang terjadi.
Selain itu, ada masalah yang cukup sering terjadi pada remaja di mana fenomena internet atau media sosial mengakibatkan kecemasan secara sosial karena membanding-bandingkan diri dengan citra teman-temannya di media sosial. Hal-hal ini merupakan perkembangan baru dari digital culture yang perlu kita waspadai.
Beberapa penelitian menunjukkan, penggunaan internet yang terbatas memberikan efek yang positif. Sebaliknya, penggunaan internet yang berlebihan dan tidak terkendali justru memberikan kerentanan mengalami depresi dan kecemasan yang luar biasa.
Digital Stress
Wenstein dan Selman menyajikan sebuah terminologi baru yakni Digital Stress, stres yang diakibatkan oleh interaksi negatif menggunakan platform media email, teks, media sosial, chat room dan forum.
Tipenya ada dua, pertama, Expression of hostility meanness and cruelty, bagaimana seseorang berinteraksi melalui media sosial, berdebat yang mengarah pada bully atau perundungan. Berkata kasar, memaki-maki, hingga bertengkar di media sosial bahkan berujung pertengkaran fisik di dunia nyata. Atau juga Impersonation, seseorang membuat akun siluman hanya untuk berkata-kata kasar atau mem-bully akun-akun ada yang di sekitarnya.
Kedua, Encompasses stresses related to navigating closeness in relationship, yakni stres yang didapat justru dari hubungan sosial yang dekat melalui penggunaan ponsel pintar, misalnya dalam berhubungan kemudian ada desakan untuk mengirim gambar seksi atau bercakap-cakap secara intens, yang bisa disalahgunakan, di-capture dan disebarluaskan ke masyarakat. Itu contoh digital stress yang bisa saja kita alami jika kita tidak bijaksana menggunakan ponsel pintar.
Saya bukan termasuk generasi digital culture, karena lahir pada 1980-an dan platform digital baru muncul saat saya SMA dan kuliah. Berbeda dengan anak-anak kita, yang merupakan generasi digital yang sejak lahir akrab dengan ponsel pintar, ketimbang misalnya menulis secara manual. Tentu saja ada hal positif maupun negatif yang menyertainya.
Salah satu dampak dari Pandemi Covid-19 yang melanda dunia sejak 1,5 tahun lalu adalah maraknya digital culture yang ditandai dengan meningkatnya penggunaan ponsel pintar. Banyak orang bekerja dari rumah secara digital, bersekolah atau berbelanja secara online, mendapatkan jasa apa pun yang dinginkan seperti jasa pijat atau jasa pengantaran makanan dan sebagainya via platform digital.
Bijaksana
Tentu resiko-resiko yang saya singgung di atas akan bisa menyertai dari penggunaan ponsel pintar yang berlebihan. Namun, tentu saja dari setiap kerugian terdapat juga peluang. Ini bukan tentang bagaimana manfaat dan bahaya dari ponsel pintar, tetapi bagaimana kita mengkampanyekan penggunaan ponsel pintar secukupnya, yang memberikan banyak manfaat tanpa takut atau rentan mendapatkan dampak buruk dari penggunaan ponsel.
Penting sekali untuk kita mulai bersama-sama mengedukasi penggunaan ponsel pintar secara bijaksana sehingga alat atau sarana ini bisa kita manfaatkan dengan baik dan bukan justru menyebabkan gangguan kecemasan yang meningkat di masyarakat.
Ini juga merupakan peluang bagaimana layanan kesehatan mental bisa diakses secara digital, sehingga stigma tentang kesehatan mental akan berkurang. Bahkan, suatu saat nanti layanan kesehatan mental bisa diakses penuh secara digital, tentunya dengan rambu-rambu dan etika yang baik.
Sehingga kebutuhan dan penanganan kesehatan mental akan lebih mudah dan cepat yang dibantu dengan digital culture. Sekali lagi, ini bukan tentang alat (ponsel pintar) tapi bagaimana kita mengunakannya dengan baik dan bijaksana. Semoga kita semua senantiasa dalam keadaan mantap jiwa. [T]
___