— Catatan Harian Sugi Lanus, 1 Agustus 2021
1. Kenapa ada persembahan sapi di Desa Tambakan Buleleng? Apakah itu ada dasarnya? Demikian seorang sahabat bertanya menjelang hari perayaan kurban sapi di bulan Juni lalu.
Saya lalu sampaikan dalam studi lapangan James Danandjaja ketika menulis disertasi — yang kemudian terbit sebagai buku berjudul: ‘Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali’ (1980) — ketika Nyepi Desa Trunyan tidak merayakan Nyepi sebagaimana umumnya, tapi ada ritual persembahan sapi muda.
Di pedesaan Bali Utara bagian timur masih banyak persembahan sapi muda ketika hari tertentu. Di Banjar Tangkid (Tamblang) dan beberapa desa sekitarnya ada kelompok masyarakat jika menikah dikenakan godel (sanak sapi) sebagai persembahan. Tradisi ini disebut Ngaturang Kelaci. Desa sekitar Julah dan Tambakan mempersembahkan sapi adalah hal biasa.
Apa sumbernya?
2. Masyarakat Bali kuno dan masih dilanjutkan sampai sekarang yang menyembelih sapi di Bali sejalan dengan teks Weda terkhusus Yajur Weda. Memang, di masyarakat Bali Aga yang punya tradisi penamaan bulan dan nama persembahan sapi terkesan sangat kuno kalau kita baca prasasti-prasasti Bali Kuno.
Sebagai contoh adalah persembahan masa bulan Magha. Hal ini disebutkan “Pada hari Magha sapi disembelih…” (Rig Veda, Book 10, Hymn 85 Verse 13.)
Apa yang disebutkan dalam Rig Veda juga dilakukan di sebuah desa di Bali Aga yang diikuti desa sekitarnya. Yang paling mengherankan adalah tradisi persembahan sapi ini, khususnya di sekitar Bali utara bagian timur dan pegunungan yang disebut Bali Aga, merupakan persembahan yang merupakan bagian dari pernikahan atau disebut Ngaturang Kelaci. Ini sejalan dengan penjelasan Rig Veda bahwa upakara kemegahan pengantin yang mempersembahkan sapi sebagai kurban disebut Pernikahan Sūrya. Disebutkan ritual ini terkait dengan dengan Savitar, ikut bergerak. Pada hari Magha sapi disembelih, …mereka menikahi pengantin wanita…
3. Bagaimana masyarakat Bali kuno paham ritual tersebut? Kita sering abai, bahkan menganggap remeh, tapi tidak tahu kalau kalau Raja Bali kuno adalah penganut kitab Smrti dan rujukan pemerintahan serta ritual dipimpin oleh para pendeta Siwa-Buddha-Rsi yang sangat punya pengetahuan mendalam pada kitab-kitab kuna. Sebagai contoh, prasasti Manik Liu 1055 Śaka (1133 Masehi) menyebutkan kurban sapi sebagai kurban di Bulan Magha:
yata karaṇanyan mānagara, pagalungan manahura, ayam, 5, pupusan sapi manahura 2, mahisa 1, masa bulan magha, pajapaja manahura, ku 1, patulakṣambwang, 1000, manahuring ramā yata karananyan pinanadahakĕn pinanandahaken, mangkana raṣa sanghyang sata ajña pādukā śri maharaja, yan hana manglanggana ajña pāduka śri maha(ra)ja tan patĕmahana wang, hĕdĕpĕdĕ(p) namunamu//0//
Dalam prasasti yang ditulis oleh Raja Jayaśakti ini disebutkan kurban sapi pada bulan Magha, persis sama dengan bulan yang disebutkan dalam Rig Veda, Book 10, Hymn 85 Verse 13.
4. Masyarakat dan kerajaan Bali Kuno juga punya rujukan Weda kuno yaitu: Yajur Weda, Kanda II, Prapathaka 1, berjudul “Persembahan Khusus Hewan Kurban”. Jadi ada bab khusus dalam Yajur Weda terkait dengan persembahan hewan kurban yang sangat dipahami oleh masyarakat Bali kuno. Di dalam Yajur Veda, Kanda II, Prapathaka 1. 1.2-5 [iii] disebutkan salah satu yadnya kurban adalah kambing yang belum bertanduk: “Dia yang menginginkan keturunan dan ternak harus mempersembahkan kepada Prajapati seekor kambing tanpa tanduk.”
Di Bali Utara yang saya kenal, ‘sapi konden metelusuk‘ atau ‘godel konden mesu tanduk‘, adalah dua sapi yang dijadikan persembahan. Ini semacam pengganti wedus atau kambing yang belum bertanduk.
Bahkan, desa Bali kuno yang menyimpan prasasti dan susunan pemerintahan desa Bali kuno sampai sekarang, yaitu desa Julah punya acara 3 hari pemotong ‘godel‘ (sapi muda) yang disebut acara ‘Nyampi’, yaitu nampah godel. Sehari bisa 25 ekor, ‘nyejer’ berturut selama 3 hari.
5. Apa yang dilakukan masyarakat Bali pedesaan mempersembahkan sapi sebagai persembahan tidaklah hal yang perlu dipertanyakan kalau kita belajar akar tradisi kuno Hindu di Nusantara yang lebih tua, seperti sebut saja pendirian Prasasti Yupa di Kutai, juga prasasti Purnawarman, atau Prasasti Dinoyo pendirian patung Agastya; tercatat memakai persembahan dan sumbangan sapi.
— Prasasti Yupa Kutai menyebutkan Mulawarman menyumbangkan banyak emas. Kemudian dalam prasasti lainnya disebutkan ia memberikan sumbangan 20.000 ekor sapi, 11 ekor lembu jantan, ditambah lagi ada disebutkan monyet merah, minyak wijen, lampu, air perasan sapi (susu?), dan tanah lapang sebagai persembahan.
— Prasasti Tugu menyebutkan Purnawarman menyumbang 1000 ekor sapi sebagai persembahan untuk upacara yang dilakukan oleh para brahmana.
— Prasasti Dinoyo (760M) di Malang, merupakan tonggak upacara penggantian arca Rsi Agastya, yang berbahan kayu cendana menjadi marmer hitam dan indah. Dalam upacara itu, raja dibantu pandita ahli Weda. Jelas prasasti ini menyebut ahli Rigveda, terlibat dalam upakara, para yati (pertapa) yang mulia, dan para seniman pemahat terbaik, dan para ahli lainnya. Raja memberikan sumbangan kehormatan atau anugrah berupa tanah, lembu-lembu dan kawanan kerbau.
Silahkan buka berbagai ritual persembahan dalam ratusan prasasti Jawa Kuno dari periode Mataram Kuno atau Medang, sampai Medang di Jawa bagian timur, lalu Kediri, Singosari, Majapahit; berbagai yadnya suci persembahan kurban hewan menjadi bagian dari tradisi besar kerajaan Hindu Budha di Jawa.
6. Sebagai tambahan ritual lain, selain persembahan sapi: Di beberapa desa di Bali, seperti di Wanagiri di Tabanan, Sidatapa di Buleleng, dan Desa Adat Busungbiu merayakan Pujawali Agung yang jatuh pada Purnama Kapat, melakukan rangkaian upakara berburu kijang dan kijang ini dipakai persembahan dalam ritual pemujaan.
Tradisi ini mengingatkan kita pada perburuan dan persembahan kijang suci oleh Rama dan saudaranya dalam Ramayana, Ayodhya Kanda 56-21/28:
Dalam sebuah gelar upacara suci, dilakukan di sebuah gubuk yang dibangun dengan kokoh dan beratap jerami, Rama mengucapkan kata-kata berikut kepada Laksmana. Laksmana mendengarkan perintahnya dan sangat memperhatikannya:
“Oh, Laksmana! Bawakan dagingnya seekor kijang. Kita akan melakukan upacara penyucian saat memasuki rumah. Yang harus dilakukan oleh mereka yang ingin berumur panjang. Oh, Lakshmana yang bermata besar! Membunuh kijang dengan cepat, bawa ke sini. Ritual yang ditentukan menurut kitab suci sudut pandang memang harus dilakukan. Ingatlah kewajiban suci.”
Lakshmana memahami kata-kata saudaranya, bertindak seperti yang diperintahkan. Rama berbicara lagi kepada Laksmana sebagai berikut:
“Oh, saudara yang lembut! Rebus daging kijang ini. Kami akan mengupacarai gubuk ilalang ini. Hari ini dan saat ini adalah hari istimewa punya karakter istimewa. Cepatlah.”
Kemudian, Lakshmana, lelaki gagah putra Sumitra, membunuh seekor kijang punggung suci, melemparkannya ke dalam api yang menyala. Merasa yakin bahwa kijang itu dimasak dan dipanaskan dengan sempurna tanpa sisa darah, Laksmana berbicara kepada Rama, sebagai berikut:
“Kijang ini, dengan anggota tubuhnya yang lengkap, telah saya masak sepenuhnya. Oh, Rama menyerupai Tuhan! Sembahlah dewa yang bersangkutan, karena Anda terampil dalam tindakan itu.”
Bahkan dalam Ramayana, sosok suci Rama melakukan pemujaan dengan korban kijang. Saya membayangkan desa-desa di Bali tersebut, melakukan persembahan suci kijang hasil buruan sebagai persembahan untuk menyucikan desa. Kemungkinan di masa lampau ketika para leluhur mereka membuka hutan dan perumahan, ritual persembahan kijang serupa dengan kisah Ayodhya Kanda dilakukan oleh para leluhur mereka.
7. Lontar-lontar Indik Pecaruan, Plutuk, Rsi Gana, dan berbagai Pakelem, semuanya mensyaratkan kurban hewan sebagai ‘kurban suci’.
Apakah saya sepakat?
Kalau saya ditanya, saya juga tidak merasa nyaman dengan yadnya pakai kurban binatang. Tapi soal yadnya: Ini bukan suka tidak suka. Apakah lantaran saya tidak nyaman lalu saya tutup mata pada dan manipulasi teks pedoman yadnya peninggalan, menutup mata para warisan praktek ritual yang ada, dan tidak terbuka pada prasasti bukti sejarah yadnya dengan kurban suci hewan? Warisan yadnya pekelem, penyambleh, upakara Rsi Gana — kenyataannya ya begitu — terima atau tidak, memakai hewan kurban.
Yadnya itu bukan masalah suka tidak suka. Ini bagian dari menjalankan tradisi beragama. Jika ini direview ulang, bisa saja, tapi seluruh bangun sejarah dan teks suci harus diturunkan dan dibaca sampai katam dan mendarah daging, sebelum melakukan interpretasi ulang. Jika ingin meninggalkan tradisi, bisa saja, tapi rekayasa tradisi baru yang dipakai menggantikannya siapa yang bisa jamin adalah yadnya yang merupakan ‘bahasa’ atau ‘persembahan’ yang dipahami ‘alam semesta’? [T]