— Catatan Harian Sugi Lanus, 23-25 April 2019
Saya telah memeriksa lontar koleksi Gedong Kirtya: Mpu Kuturan (keropak IIIB) dan salinannya: Mpu Kuturan (172/2.IIIb) disalin dari Bangli, tanggal 15/10/1941, Mpu Kuturan (753.IIIb) disalin dari Pagesangan, Lombok, tanggal 06/10/1956, Hempu Kuturan (4875/Ic) disalin dari Griya Sibang Kaler, Abyansemal, Badung tanggal 19/06/1977, Kaputusan Mpu Kuturan (3752 / III d) Salinan dari lontar I Wayan Sloka, Br. Alasarum, Bungkulan, Singaraja, disalin 05/05/1979. Kesemua lontar tersebut punya topik dan pokok isi yang saya terkait pendirian parahyangan. Menurut lontar-lontar tersebut Mpu Kuturan yang mengajarkan pendirian parahyangan di Bali dengan panca datu — tidak sama dengan cerita lisan bahwa Rsi Markandeya yang mengajarkan panca datu. Lontar Keputusan Kuturan berisi ajaran-ajaran Kuturan yang lainnya yang terkait penataan kawasan dan kearifan lokal.
Mpu Kuturan memberikan panduan apa saja yang harus dibangun dan persyaratannya jika raja atau pemimpin membangun meru, pelinggih, dll. Termasuk di dalamnya ada kewajiban setiap membangun meru harus ada tanah pelaba. Kalau membangun meru tanpa pelaba (atau bukti carik) maka tidak ada kesejahteraaan bagi raja dan rakyatnya. Jelas sekali bahwa aturan pendirian parahyangan dan panca datu, menurut lontar-lontar tersebut adalah ‘warisan sesuluh’ peninggalan Mpu Kuturan.
Lontar-lontar lain, yang tidak memakai judul Mpu Kuturan, tetapi di dalamnya menyebutkan bahwa lontar tersebut adalah warisan Empu Kuturan, ada beberapa lontar:
A. Lontar Indik Ngangun Parahyangan (Perihal Membangun Kawasan Suci dan Pura). Lontar ini sangat relevan dalam membicarakan hal terkait warisan Mpu Kuturan yang paling pokok. Lontar ini berisi berbagi aturan membangun desa yang berporos pada parahayangan/pusat pemujaan. Desa pertama-tama harus punya titik pivot, baik sekala-nisaka, yang mana berupa perempatan jalan, atau titik strategis balai desa dan atau parahyangan (pura Pagaduhan, Bale Agung, atau Puseh). Parahyangan sebagai “penyangga” sebuah desa dan kelangsungan dari sebuah tatanan masyarakat, dari bagaimana secara kohesif menata dirinya, bekerjasama dalam pola gotong-royong, ayahan desa, kepemilikan, yang secara konsepsi terintegrasi secara teoloigis dalam apa yang kita kenal sebagai konsep dan penataan desa dalan Tri Parahyangan (Kayangan). Pahyangan artinya tatanan Hyang (pura berserta para Hyang yang dimuliakan atau dipuja). Secara lisan, setiap kali percakapan terkait desa pakraman dan penataannya tidak bisa-tidak nama Mpu Kuturan disebutkan. Sosok ini yang disebut sebagai konseptor dari Tri Kahayangan dan desa pakraman. Bertitik tumpu pada itulah sebuah tatanan masyarakat dibuat hidup bersama. Ini ditata dalam kalender ritual yang siklik atau siklusnya datang setiap 210 hari atau salam sistem purnama-tilem. Ini yang disebut sebagai odalan atau karya yang memberikan kesempatan warga untuk bertemu atau berjumpa dalam pengaturan yang rapi dan berdasarkan kalender. Disamping Pakraman menyangga Parahyangan, dalam tataran praktisnya, mereka harus tahu dan sadar urusan lingkungan dan tata letak keruangan yang sangat tertib (secara konsepsi dikenal sebagai Tri Mandala). Semuanya diatur sedemikian rupa dalam hormoni dengan Palemahan (Ketanahan dan keruangan). Ini diletakkan dalam berbagai masyawarah desa, awig-awig desa (aturan desa), sangkep (rapat), dll yang semuanya bertumpu pada harmoni antar warga atau antar manusia (Pawongan). Tidak salah jika dikatakan akar pemikiran dan konsepsi apa yang dikenal sebagai Tri Hita Karana juga disebutkan adalah berakar dari ajaran Kuturan yang ada dalam Indik Parahyangan yang didalamnya mengatur relasi Manusia dengan Alam, Manusia dengan Manusia, dan Manusia dengan aspek Ketuhananannya.
B. Lontar Dharma Pamaculan (Perihal Pedoman dalam bercocok tanam, irigasi, membangun bendungan dan ritual serta kalender pertanian terkait). Pertanian subak adalah tulang punggung keberlangsungan dan ketahanan pangan di Bali. Pedoman bertaninya disebut Lontar Dharma Pamaculan. Lontar ini di dalamnya menyebutkan bahwa ajaran ini adalah Panugrahan Mpu Kuturan (warisan ajaran/pemikiran Mpu Kuturan). Tidak hanya menyangkut kalender bertani padi, tapi juga dikombinasikan ketaatan kalender ini dengan kalender ritual. Pemikiran mendisiplinkan atau menertibkan kalender tanam dan ilmu bertani dengan ritual keagamaan sangat penting dalam mengikat atau mengarahkan para petani tradisional.
Isi dari lontar Dharma Pamaculan adalah prihal bercocok tanam padi, sbb:
– Ngendangin (mengawali bertani)
– Menyiapkan bibit padi
– Amaluku (mulai membajak)
– Anggurit (membibit padi)
– Anandur pari (menanam padi)
– Ketetapan lain saat menanam padi sesuai sasih
– Uwusan anandur pari (selesai menanam padi)
– Padi berumur 12 hari
– Padi berumur 17 hari
– Padi berumur 1 bulan
– Padi berumur lebih 1 bulan
– Padi berumur 2 bulan
– Padi berumur 3 bulan
– Memanen padi disawah
– Menghindarkan padi (pamungkem) dari hama:
a. Menghindar Dari Serangan Burung.
b. Hama Tikus menyerang Padi
c. Jika padi diserang hama Walang Sangit
d. Jika padi tidak mau tumbuh tunas baru
e. Jika padi menguning bagaikan terbakar.
f. Jika padi diserang hama lana
g. Jika diserang hama Wereng.
C. Lontar Kusuma Dewa (Pedoman dalam Pemujaan dan Etika Kependetaan/Kepamangkuan). Kepemangkuan (Kependetaan Pemangku) di Bali tidak terpisahkan dengan Sangkulputih. Bahkan Sangkulputih dapat disebut sebagai peletak dasar sistem kepemangkuan di Bali. Beberapa sarjana dan peneliti Belanda menyinggung selintas-selintas siapa sosok Sangkulputih. Semuanya tidak ada yang secara khusus mengkajinya. Namun demikian, R. GORIS berpendapat bahwa Sangkulputih tidak lain adalah Mpu Kuturan sendiri. Kepemangkuan Dewa Tattwa, Kusuma Dewa disebutkan di dalamnya sebagai warisan Kuturan. Dalam Lontar Usana Dewa dinyatakan Mpu Kuturan-lah yang mengajarkan cara-cara mendirikan tempat pemujaan atau kahyangan seperti Kahyangan Jagat di Bali. Dalam Lontar Kusuma Dewa yang merupakan kompilasi mantra dan doa-doa kepemangkuan dinyatakan sebagai warisan Mpu Kuturan. Lontar ini mempertegas bahwa disamping arsitektur parahyangan ia juga menyusun manual book bagi para pemangkunya. Lontar Kaputusan Kusuma Dewa dan Kaputusan Mpu Kuturan berisikan ajaran yang paralel. Ini menujukkan bahwa konsen atau perhatiannya pada pengembangan parahyangan atau tata kehidupan spiritual sebuah desa tidak bisa terjaga kalau tidak ada panduan kependetaan yang menjadi garis-garis pokok menenggakkan etika, agama dan ritaul di pedesaan di Bali.
D. Lontar Taru Pramana (Perihal Tumbuhan Berkasihan atau resep-resep herbal untuk menjaga kesehatan). Bukan hanya ketahanan pangan dan tata pemerintahan desa yang menjadi perhatian Mpu Kuturan. Lontar Taru Pramana adalah sebuah warisan besar yang isinya adalah list tumbuhan obat yang menjadi petunjuk dalam menjaga kesehatan masyarakat. Taru Pramana merupakan salah satu naskah yang memuat jenis-jenis tumbuhan obat yang tertulis dalam lembaran daun lontar yang karakteristik informasinya merupakan tonggak pengetahuan tumbuhan obat dan sistem kosmologi yang melekat di dalamnya. Taru pramana artinya kekuatan : pramana = khasiat dan taru = tumbuhan. Usada taru pramana adalah sebuah naskah pengobatan (usada) berbentuk dialog dalam pengungkapan cara pengobatannya. Begini pembuka lontar tersebut: Disebutkan ada seorang mpu bernama “Mpu Kuturan”, seorang dukun sidiwakia, selalu dingin tangan jika mengobati orang sakit. Disebutkan tidak pernah gaga menangani orang sakit sekalipun pasiennya telah parah. Suatu masa ia sangat kecewa setiap pasien yang diobatinya kebanyakan menemukan ajalnya. Pada saat itu ia menanggung “erang” menanggung rasa malu yang tak terhingga, kemudian bersemedi. Datanglah Betari Khayangan. Setelah mendengar Sabda tersebut akhirnya Empu Kuturan pun mengetahui nama pepohonan sebagai obat. Selanjutnya pohon itu datang satu demi satu untuk menyatakan kegunaan masing-masing.
Melihat dari warisan pemikiran lontar-lontar tersebut yang secara terang benderang menyebutkan did alamnya apa yang sedang kita baca (lontar tersebut di atas) diwariskan sebagai pemikiran Kuturan, maka tidak bisa dengan mudah kita mengatakan bahwa Empu Kuturan yang kita bicarakan ini sebagai tokoh mitos belaka. Tentu bukan tokoh mitos atau legenda yang meninggalkan jejak tertulis atau teks tertulis. Umumnya tokoh historislah yang mewariskan demikian rinci catatan dan ajaran tertulis yang demikian penting, bahkan menjadi pedoman dalam menyusun tata kelola desa, penataan ruang desa dan kawasan, pedoman membuat bendungan dan ritualnya, pedoman membuka desa, bercocok tanam, menjaga kesehatan dengan herbal, etika kependetaan, pemikiran teologia, dstnya yang hampir menyentuh seluruh aspek sosiologis, teologis, bahkan ekonomi (ketahanan pangan desa).
Berpijak pada berbagai warisan tertulis yang masih tertinggal dalam bentuk lontar tersebut, kita bisa menjejaki kehidupan beliau secara historis, benang-benang merah ajaran-ajarannya, dan situasi apa yang menjadi setting historis kehidupannya yang melatari lahirnya berbagai pemikiran yang terwariskan sampai kini.
Selain karya-karya tulis dalam bentuk lontar yang menyebutkan sumbernya adalah ajaran Mpu Kuturan, kita juga mewarisi karya sastra berbentuk babad dan juga karya sastra lainnya yang menyebutkan kehadiran atau “kehistorisan” Empu Kuturan. Berbagai prasasti Bali yang dikeluarkan oleh raja-raja Bali kuno juga menyebutkan nama Empu Kuturan. Prasasti sebagai “produk hukum” dan “primary source” yang kita warisi di Bali tidak bisa kita tolak Empu Kuturan sebagai tokoh historis.
Sosok Mpu Kuturan dalam sumber lain
Mpu Kuturan disebutkan dalam berbagai prasasti Bali dalam abad yang berbeda-beda. Kemungkinan nama Empu Kuturan adalah nama jabatan, namun yang kita bicarakan di sini adalah Empu Kuturan yang dimuliakan di Pura Silayukti, Desa Padang Bai, Kabupaten Karangasem.
Ada beberapa catatan terkait Kuturan:
- Mpu Kuturan dilahirkan di Jawa, atau disebutkan berasal dari Jawa.
- Dyah Nateng Dirah, atau Calonarang, adalah janda dari Empu Kuturan. Empu Kuturan ke Bali setelah berpisah dengan istrinya Dirah (Calonarang). Mempunyai serorang putri bernama Ratna Manggali yang selanjutnya putrinya dinikahi oleh Mpu Bahula, putra Mpu Bradah. Perpisahan dengan istrinya disebutkan karena perbedaan paham dan perbedaan pemikiran.
- Disebutkan bahwa Kuturan bersaudara dengan Empu Bradah. Tentang Empu Bradah banyak disebutkan sebagai seorang bhagawanta (penasehat kerajaan) di zaman Raja Erlangga. Dalam hal membagi kekuasaan di Jawa dan Bali disebutkan dalam naskah Nagarakrtagama dan juga Calonarang, bahwa Bradah mewakili Jawa (Kerajaan Kediri, Raja Erlangga) dan Kuturan mewakili Bali (Kerajaan Wangsa Udayana, Raja Anak Wungsu) dalam sebuah musyawarah, yang selanjutnya akan dibahas dalam bagian tersendiri: Samaya Bradah-Kuturan (Perjanjian Bradah dan Kuturan dalam penataan kekuasaan antara Bali dan Kediri).
- Sumber Babad Pasek atau Babad Para Bhujangga menyebutkan Mpu Kuturan sampai di Bali pada hari Rabu Keliwon wuku Pahang, hari keenam paruh bulan terang, sekitar bulan September tahun 1000, dan menetap di Silayukti, di Desa Padangbai, Karangasem.
- Selain persoalan perbedaan paham dengan istrinya, kemungkinan kepindahan dari Empu Kuturan ke Bali merupakan misi politik atau sosial lainnya. Situasi politik kerajaan Bali ketika itu dalam situasi genting. Setelah di Kediri terjadi penyerbuan oleh Kerajaan Wurawari (dalam pertanyaan besar?) yang diserang tiba-tiba dalam pesta pernikahan Erlangga dengan sepupunya (keduanya merupakan cucu Raja Dharmawangsa Teguh) yang merupakan pernikahan politis menyatukan Bali dan Jawa (Timur), terjadi chaos politik di Bali. Raja Kediri dan Raja Udayana kemungkinan menjadi korban dalam penyerbuan tersebut. Kediri kocar-kacir kehilangan rajanya, demikian juga Bali. Mempelai putri dan mempelai pria (Erlangga) dikabarkan selamat dari amukan pasukan yang tiba-tiba menyerbu ke tengah pesta pernikahan. Erlangga dan mempelai mengungsi atau diungsikan ke tengah hutan dan menghilang, diperkirakan naik di hutan Wanagiri, Jawa Timur. Mereka mengungsi dan menghilang. Kemungkinan juga Mpu Kuturan ke Bali dalam situasi chaos politik tersebut, dan memilih Bali mengingat disebutkan bahwa cucunya yang di Bali (Anak Wungsu) nantinya didampingi menjadi raja Bali yang dalam pemerintahannya didampingi oleh Empu Kuturan. Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa Teguh (saudara Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang (sekarang sekitar Maospati, Magetan, Jawa Timur). Ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba kota Wwatan diserbu Raja Wurawari yang berasal dari Lwaram (sekarang desa Ngloram, Cepu, Blora), yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Kejadian tersebut tercatat dalam prasasti Pucangan (atau Calcutta Stone). Pembacaan Kern atas prasasti tersebut, yang juga dikuatkan oleh de Casparis, menyebutkan bahwa penyerangan tersebut terjadi tahun 928 Saka, atau sekitar 1006/7. Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan (Wanagiri) ditemani pedamping setia yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur. Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Wwatan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan. Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009 itu, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri. Pada tahun 1023, Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa raja Colamandala dari India. Hal ini membuat Airlangga lebih leluasa mempersiapkan diri untuk menaklukkan Pulau Jawa.
- Dalam tradisi intelektual tradisional dan kependetaan Jawa Kuno dan Bali Kuno tersebut Kuturan bertumbuh dan memiliki pemahaman yang komprehensif terhadap kependetaan dan tata pemerintahan. Kedekatan darah dan relasi kekuasaan dengan Kerajaaan Kediri dan Pejarakan, serta akses yang kemungkinan tak terbatas terhadap warisan sastra dan teks Jawa Kuno yang menjadi latar sosial dan pendidikan dari Empu Kuturan kecil.
- Sebuah sumber mengatakan bahwa Kuturan pertama ke Bali ketika terjadi perkawinan antar Udayana dengan Mahendradatta (putri Dharmawangsa Teguh). Selanjutnya Kuturan disinyalir bertugas sebagai pendamping posisi Ratu Mahendradatta sebagai Permaisuri yang lebih berkuasa dari Raja Udayana. Semenjak pernikahan Ratu Mahenderadatta dengan Raja Udayana terjadi perubahan pemakaian formal kerajaan dari bahasa Bali Kuno ke Bahasa Jawa Kuno. Dalam semua prasasti atau produk perundang-udangan kerajaan Bali di masa Raja Udayana, nama Ratu Mahendradatta sebagai permaisuri lebih depan disebut dibanding Udayana. Dalam prasasti tersebut juga disebutkan jabatan Empu Kuturan. Hal ini menjadi petunjuk sangat signifikan bagaimana posisi Jawa (Raja Dharmawangsa Teguh) lebih tinggi dibanding Bali (ayah Udayana). Pernihakan ini semacam pernikahan “penundukan”. Dan secara lingustika dengan digantinya Bali Kuno dengan Jawa Kuno menjadi bukti keterlibatan langsung peran intelektual Jawa dalam mengintervensi Bali secara kebahasaan. Mungkinkah ini peran Mpu Kuturan yang berperan sebagai pendamping Ratu Mahendradatta?
- Jika disebutkan bahwa kedatangannya ke Bali tahun 1000 maka bisa dirunut bahwa ia lahir di masa pemerintahan Sri Maharaja Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa adalah raja terakhir Kerajaan Medang yang memerintah pada tahun 991–1007 atau 1016. Selain disebutkan dalam berbagai prasasti , nama Dharmawangsa ditemukan dalam naskah Mahabharata bahasa Jawa Kuno, pada bagian Wirataparwa, yang ditulis pada tanggal 14 Oktober 996. Ia adalah raja yang memerintahkan penerjemahan Mahabharata ke dalam bahasa Jawa Kuno. Bisa dibayangkan kehidupan kesastraan dan perhatian kelompok intelektual di sekitar Mpu Kuturanketika itu sedemikian kaya dan tercerahkan, sampai pihak kerajaan mempunyai “proyek penerjemahan” kitab Mahabharata, dan berbagai proyek penulisan lainnya. Dalam suasana kesastraan seperti inilah Kuturan dibesarkan. Berbagai prasasti dan kitab lain yang lahir atau ditulis di Jawa ketika Kuturan masih di Jawa akan menjadi lampiran tersendiri untuk memahami setting kulutral dan intelektualitas dimana Kuturan bertumbuh dan dibesarkan.
- Kuturan dibesarkan dalam tradisi keluarga Mpu. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai babad yang mengkaitkan Empu Kuturan dalam berbagai pohon silsilah terkait langsung dengan Mpu Semeru dan Mpu Gnijaya.
- Gunapriyadharmapatni lahir pada tahun 961 dan tumbuh di istana Watugaluh, Jawa Timur. Dia adalah seorang puteri Jawa dari Dinasti Isyana Jawa Timur, putri raja Sri Makutawangsawarddhana (bukan Dharmawangsa) dari masa Kerajaan Medang akhir. Dia adalah saudara perempuan Raja Dharmawangsa dari Medang. Dia kemudian dinikahkan dengan Raja Bali, Udayana Warmadewa, dan pindah ke pulau sebagai permaisuri ratu dan mengambil nama Mahendradatta. Jika disebutkan mendampingi Mahendradatta yang lahir sekitar tahun 961, maka kemungkinan Mpu Kuturan lebih senior atau lahir lebih awal dari tahun 961.
- Ada sumber lain yang mengatakan bahwa tahun 1000 bukan tahun pernihakan Udayana dan Mahendradatta (39 tahun terlalu tua untuk menikah/dinikahkan). Disebutkan bahwa tahun 1000 masehi adalah momentum besar dalam perayaan di Besakih, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Bradah yang kini salinannya masih disimpan di Pura Glap di Besakih. Foto prasasti akan dilampirkan.
- Teks-teks tersebut di atas adalah “teks historis” bahwa Mpu Kuturan masih hidup di tahun 1042 dan menetap di Bali, serta mempunyai otoritas kuat dalam negosiasi bahkan sebagai pemutus dalam urusan kenegaraan atau antar negara. Disebutkan bahwa Mpu Kuturan mengancam akan terjadi pertumpahan darah jika putra Airlangga dipaksakan menggantikan raja yang masih berkuasa dan dicintai warganya. Seperti dibuktikan oleh temuan berbagai prasasti/piagam kerajaan Bali kuno dalam bentuk tembaga, berbagai prasasti tersebut menyebutkan kemuliaan dan keluhuran sifat Raja Anak Wungsu.
- Teks lain mengatakan bahwa trah Sang Guhu atau Sang Guru (selanjutnya disebut sebagai Sangguhu) adalah keturunan Kuturan di Bali. Keluarga ini selanjutnya tinggal di banjar atau rumpun perumahan yang dikenal sebagai Sangguhan (Sengguan) menjadi guru-guru di pedesaan di Bali.
Teks-teks tersebut kita temui dalam bentuk Babad Pasek, Calonarang, dan teks terkait Mpu Kuturan lainnya. Teks-teks tersebut di atas sangat menarik untuk didalami lebih jauh untuk menyingkap sisi historis dari Mpu Kuturan, peletak dasar pilar kebudayaan Bali.