1/
Ada masa di mana saya merasa bahwa hidup itu hanya tentang perpindahan. Berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain―walaupun perpindahan sejatinya bukan hanya soal tempat. Lebih dari itu perpindahan juga menyoal tentang sesuatu yang tak berhubungan dengan fisik. Hijrah, dalam bahasa Islam.
Selama hidup di Kota Singaraja, saya sudah empat kali pindah kontrakan, tempat tinggal. Awalnya saya tinggal di Sahadewa Gang 4 No 6B, di Banjar Tegal. Kemudian pindah ke Bisma, di gang di sebelah perpustakaan Universitas Panji Sakti. Lalu pindah ke Kampung Jalak Putih, sebentar. Dan sekarang, pindah lagi ke BTN Griya Sambangan.
Dari keempat tempat yang saya sebutkan di atas, justru di tempat terakhirlah, saya mulai membaca Soekarno dari dekat―dari pikiran-pikirannya sendiri, bukan dari tulisan-tulisan orang lain tentang Soekarno.
Di kontrakan saya yang baru ada satu ruangan yang saya jadikan perpustakaan minimalis. Bukunya tak banyak; tapi tertata lumayan rapi. Lihatlah, bahkan ada rak buku lucu yang menempel di dindingnya. Sebuah rumah kecil―sederhana―untuk buku yang saya bikin dengan penuh cinta. Di rak buku inilah, di antara buku-buku lainnya, terdapat empat buku tentang Bapak Proklamator kita itu. Tiga di antaranya buku-buku yang ditulis Bung Karno sendiri.
2/
Hari pertama tinggal di kontrakan saya mulai membaca buku Islam Sontoloyo―kumpulan tulisan Bung Karno yang paling dianggap ekstrem dalam menawarkan pembaharuan Islam. Tulisan-tulisan yang terkumpul dalam buku tersebut tidak saja membuat gempar kehidupan Islam di Indonesia ketika itu, tetapi juga membuahkan polemik, terutama dengan Mohammad Natsir, yang berlangsung sepanjang 1934-1940, sebuah polemik yang nyaris belum ada tandingan bobotnya dalam sejarah polemik pemikiran Islam di Indonesia.
Pada 1980-an, ketika Cak Nur―panggilan akrab Nurcholis Madjid―menggemparkan jagat pemikiran Islam di Indonesia dengan “Sekularisasi” dan “Islam yes, partai Islam no!”, Soekarno telah lebih dulu menawarkan pembaharuan pemikiran Islam dengan jargon yang lebih menyengat, “Islam Sontoloyo”.
Dalam buku Islam Sontoloyo, tokoh yang memainkan peran kunci dalam memenangkan kemerdekaan dari Belanda ini, bukan saja mengkritisi―atau sinis?― umat Islam yang terlalu menganggap fiqih itu satu-satunya tiang agama, akan tetapi juga menawarkan solusi-solusi terhadap problematika yang dihadapi Islam pada saat itu. Misalnya saja dalam tulisan Tabir Adalah Lambang Perbudakan―tulisan yang dimuat Panji Islam pada 1939. Bung Karno menyampaikan pendapatnya tentang tabir di Muhammadiyah kepada koresponden Antara. Menurutnya, tabir tidak diperintahkan oleh Islam.
Dalam suatu pertemuan, laki-laki dan perempuan cukup dijarakkan saja. “Dijarakkan saja antara lelaki dan perempuan zonder tabir, atau satu pihak ditempatkan di muka dan satu pihak lagi di bagian belakang, sebagaimana yang dicontohnya oleh Nabi. Saya anti pergaulan secara Barat.”
Permasalahan tabir ini menggerakkan Bung Karno menulis surat terbuka kepada K.H.Mas Mansur, Ketua Muhammadiyah pada waktu itu.
3/
Hampir semua tulisan dalam buku Islam Sontoloyo, mulai dari Surat-surat Islam dari Ende, Islam Sontoloyo, hingga tulisan terakhir, Boetransfusie dan Kaum Ulama, masih sangat konteks sampai hari ini. Misalnya dalam tulisan Me“muda”kan Pengertian Islam, bagaimana Bung Karno mengkritisi kekolotan umat Islam pada saat itu.
Dan hingga hari ini, ternyata masih banyak umat Islam yang sangat kolot (sempit) dalam berpikir―umat Islam yang memandang Islam hanya soal “halal-haram” semata. Tak sedikit orang yang saya kenal juga masih berpikiran begitu. Mereka berpendapat, berdiskusi atau berpikir tentang kemajuan, pembaharuan Islam adalah hal yang tak dibenarkan, buang-buang waktu. Cukup menjadi santri yang ngikut (mbebek) saja. Tak usah aneh-aneh. Teman-teman saya yang kolot ini seakan menutup mata dari kondisi dan situasi Islam yang saya ibaratkan laksana ayam yang mati di lumbung padi―poverty within abundance, dalam bahasanya Mustafa Acar. Islam dipandang tidak memadai dalam banyak aspek, antara lain perdamaian di kalangan umat Islam sendiri, stabilitas, teknologi, kepercayaan diri, penggunaan sumber daya yang efisien, demokrasi, pluralisme, pasar bebas, kebebasan secara umum, keterbukaan dan masyarakat sipil yang kuat.
Dengan jumlah penganut mencapai hanpir 1,5 milyar jiwa, populasi umat Islam mencapai 22% populasi dunia. Namun, negara-negara yang tergabung dalam OKI (Organisasi Kerjasama Islam/Organization of Islamic Cooperation)―organisasi ini memiliki 57 negara anggota yang tersebar di wilayah yang sangat luas, mulai dari Afrika Utara dan Tengah hingga Timur Tengah, Asia Kecil (Anatolia), Balkan, Kaukasus, Asia Tengah, hingga Timur Jauh―hanya menguasai 9% PDB dunia. Wilayah yang dinaungi oleh OKI memiliki 50% sumber daya alam paling bernilai di dunia, seperti cadangan miyak bumi dan gas alam.
Dalam buku Islam dan Kebebasan, Mustafa Acar menggambarkan umat Islam yang buruk: kemiskinan di tengah keberlimpahan. Ia menyampaikan Indeks Pembangunan Manusia (HDI/Human Development Index) negara Muslim tidak menunjukkan indikasi yang positif. Tidak ada negara Muslim yang masuk dalam peringkat 10 besar HDI tahun 2013. Negara Muslim yang memiliki peringkat tertinggi adalah Brunei Darussalam, yang hanya menduduki peringkat 30. Sebanyak 22 negara anggota OKI (hampir 40%-nya) berada di antara negara-negara berperingkat terbawah dengan nilai kurang dari 0,5. Turki, salah satu negara yang kinerja perekonomiannya terbaik di dunia dan memiliki kinerja terbaik di antara negara-negara anggota OECD selama satu dasawarsa terakhir, masih berada di peringkat 69 dengan nilai 0,759.
Di bidang kebebasan ekonomi, berdasarkan laporan Economic Freedom of the World yang diterbitkan oleh Fraser Institute, hanya ada 5 negara OKI di dalam klasifikasi negara yang perekonomiannya nyaris bebas. Ada lagi 13 negara OKI di kelompok kedua, 13 negara di kelompok ketiga, dan 22 negara lagi di katergori “paling tidak bebas”. Indeks Kebebasan Ekonomi (Index of Economic Freedom) yang dipublikasikan oleh Wall Street Journal dan Heritage Foundation juga menunjukkan hasil yang sama.
Salah satu indikator utama yang terkait dengan kemajuan teknologi dan daya saing ekonomi adalah kemampuan berinovasi. Indeks Inovasi Global (Global Innovation Index) yang dipublikasikan oleh WIPO, INSEAD, dan Cornell University menunjukkan kemampuan dan kapasitas inovasi sebuah negara dalam menghasilkan teknologi. Berdasarkan Indeks Inovasi Global tahun 2014, negara anggota OKI berada pada peringkat bawah. Malaysia menjadi negara OKI dengan peringkat tertinggi, yaitu peringkat 33.
Sedangkan Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index) juga menunjukkan hasil yang serupa, bahwa negara-negara anggota OKI tidak menjadi negara yang dominan dalam hal daya saing di pasar global. Tidak ada negara Muslim yang masuk ke dalam peringkat 10 besar. Qatar, sebagai negara Muslim yang memiliki daya saing terbaik, menduduki peringkat 13. Sedangkan yang berada di peringkat-peringkat terbawah, sekali lagi, adalah negara-negara anggota OKI.
Kita bisa mendiskusikan semua data yang saya sampaikan di atas, boleh pro, boleh kontra, boleh mengutuk, boleh prihatin, boleh marah, dan boleh membantahnya dengan kritis. Saya sampaikan apa adanya. Tidak ada yang saya lebih-lebihkan sama sekali. Memang begitulah laporan penelitiannya.
4/
Kembali ke pembahasan awal. Buku Islam Sontoloyo ini, seperti yang saya katakan di awal, adalah pikiran-pikiran Soekarno tentang Islam yang paling ekstrem. Bagaimana Bung Karno, misalnya, dalam tulisan Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara?, secara terang membenarkan tindakan Mustafa Kemal Ataturk, memisahkan agama dari negara di Turki. Bagi Bung Karno, itu adalah sebuah jalan menuju kemajuan Islam, kemerdekaan Islam, dan mengembalikan Islam yang sesungguhnya― seperti kata Ataturk sendiri, “Saya memerdekakan Islam dari ikatannya Negara, agar supaya agama Islam bukan tinggal agama memutarkan tasbih di dalam masjid saja, tetapi menjadilah satu gerakan yang membawa kepada perjuangan.”
Menurut saya buku ini sangat penting untuk dibaca generasi muda Islam hari ini. Memang tidak harus sepenuhnya sepakat―dan mengikuti―apa yang disampaikan Bung Karno dalam tulisan-tulisannya. Akan tetapi, pikiran-pikiran Bung Karno itu bisa kita jadikan sebagai pemantik untuk mempelajari khazanah Islam yang seutuhnya. Bagaimana Islam sejatinya tidak hanya sekadar persoalan “halal-haram” saja tapi juga sebagai “cara pandang”, “norma hidup”, serta semacam “weltanschauung”―pandangan hidup. Tauhid tidak hanya sekadar “Keesaan Tuhan” semata tapi harus dipahami juga sebagai “penyatuan”. Sebab, “Islam adalah norma kehidupan yang sempurna yang dapat beradaptasi dengan setiap bangsa dan setiap waktu. Firman Allah adalah abadi dan universal, yang mencakup seluruh aktivitas dari seluruh suasana kemanusiaan tanpa perbedaan apakah aktivitas mental atau aktivitas duniawi.”―Toshio Kuroda, Islam Jiten. Dengan begitu, Islam harus bisa membebaskan; menjadi agama yang dekat dengan permasalahan umat.
Tentu saja kita tidak mungkin mengubah sejarah. Namun masih ada yang bisa kita lakukan, sebagai intelektual yang bertanggung jawab, untuk membentuk masa depan sehingga dapat mewujudkan dunia Islam yang lebih terbuka, bebas, produktif, dan makmur.
Sebagai intelektual Muslim, kita perlu kembali pada sejarah pemikiran Islam―salah satunya tentu saja Islam Sontoloyo―, membaca dan mempertimbangkan kembali perdebatan dan diskusi tentang―seperti yang sudah disampaikan oleh Mustafa Acar dalam Rasional vs Tradisi, Kehendak Sendiri vs Takdir, Interpretasi vs Literalisme: Dasar Intelektual Pada Pandangan Negatif Terhadap Dunia Islam―kehendak sendiri, takdir, keterciptaan (serta kemungkinan untuk interpretasi) Al-Qur’an, kebebasan berpikir, pluralitas, dan pasar bebas, kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa masa kini.
Kita perlu membangkitkan mazhab inovasionis, pro-kebebasan, dan rasionalis di tingkat intelektual dan filsafat akan membantu membuka jalan menuju masyarakat Islam yang terbuka, madani, dan bebas serta membantu transformasi politik dan sosial dalam masyarakat Islam. Sehingga Islam dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang diridhai Allah Swt. [T]
_____
Membaca Soekarno dari Sudut Kontrakan [2] : Nasionalisme, Islamisme, Marxisme
_____