Remang petang di Desa Kedis. Dina keluar rumah, melangkah pelan pada jalan desa yang sepi, lalu tiba dengan hati gembira di rumah Serly. Sepuluh menit kemudian Kris datang. Dina, Serly dan Kris, pun bersiap untuk sebuah acara istimewa, yakni menonton Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-43 lewat youtube streaming, sekaligus menginap di rumah Serly.
“Acara ini istimewa, karena kami ingin tahu di mana kelemahan kami, di mana hal yang membuat kami puas,” kata Dina kepada tatkala.co, tentang acara menonton bersama itu.
Malam itu, Jumat 18 Juni 2021, di panggung PKB berlangsung Utsawa Gong Kebyar Wanita antara Sanggar Jegeg Bulan SMK 4 Bangli dan Sekaa Gong Kebyar Wanita Banda Sawitra, Desa Kedis, Kecamatan Busungbiu, sebagai duta dari Kabupaten Buleleng. Dan Dina, bersama Serly dan Kris, adalah penabuh andal Sekaa Gong Banda Sawitra yang bersiap mereka tonton malam itu.
“Kami menonton penampilan kami sendiri,” kata Dina sembari mengulum senyum.
Dina, bernama lengkap Komang Dina Triana. Ia gadis belia, masih kelas dua di SMPN 1 Busungbiu di Desa Kedis. Serly yang bernama lengkap Kadek Sherlyanti dan Kris yang bernama lengkap Kadek Kris Kurumayanti, adalah teman seusia yang bersama-sama Dina belajar menabuh sejak masih SD tahun 2017.
“Sekaa wanita Kedis yang tampil di PKB ini semuanya masih SMP, bahkan satu penabuh ada yang masih kelas 6 SD,” ujar Dina.
Malam saat penampilan mereka tayang secara streaming di PKB, tiga gadis belia itu menonton diri mereka sendiri lewat HP di rumah Serly. Dalam gambar yang bergerak dinamis di layar youtube, Serly tampak duduk di tempat yang menonjol. Ia menabuh kendang lanang. Pada deretan penabuh gangsa paling depan ada Dina. Gadis itu memukul gangsa pemade. Di belakang Dina duduklah Kris memukul gangsa kantilan.
Bagaimana perasaan menonton diri sendiri? “Kami sudah melewati masa takut dan cemas saat rekaman di Panggung Arda Candra. Jadi, di youtube kami menontonnya bisa santai, dan kami puas,” kata Dina.
Di PKB, sekaa gong wanita dari Desa Kedis ini menampilkan Tabuh Kebyar Susun, Tari Kreasi Pedanda Baka dan Tari Merpati. Dua dari tiga garapan itu, yakni Tabuh Susun dan Tari Merpati, diciptakan Ketut Merdana, seorang maestro karawitan dari Desa Kedis yang meninggal dalam prahara 1965. Semasa hidupnya, Merdana menciptakan banyak karya-karya karawitan dan tari yang membuat Desa Kedis masuk dalam sejarah panjang perkembangan gong kebyar di Bali.
I Gede Artaya, salah satu seniman karawitan Desa Kedis, memang punya cita-cita besar untuk menggali dan merayakan kembali karya-karya Ketut Merdana. Niatnya sederhana saja. Ia ingin seniman-seniman muda, seperti Dina, Serly dan Kris, bisa memainkan dan mengenalkan kembali ciptaan-ciptaan seniman Kedis masa lalu, sehingga Desa Kedis dikenal lagi sebagai pusat penciptaan seni tari dan karawitan di Bali, bahkan di dunia.
“Leluhur kami, Ketut Merdana, begitu terkenal hingga ke luar negeri, sehingga kami juga ingin anak-anak kami mengenal ciptaan-ciptaan beliau, ya, dengan cara mengajarkan karya-karya beliau kepada mereka,” kata Artaya.
Untuk mendukung niatnya itu, Artaya mendirikan sekaa gong wanita anak-anak sekitar tahun 2017, meski di desa itu sudah terdapat sekaa gong pria dewasa dan anak-anak. Ketika sekaa gong wanita anak-anak itu mulai latihan, Dina, Serly, dan Kris bersama puluhan anak-anak lain masih duduk di bangku SD. Saat itulah Artaya mulai mengenalkan tabuh-tabuh ciptaan Ketut Merdana, seperti Kebyar Susun, Tari Merpati, Tari Nelayan, dan Tari Wiranjaya.
Pada saat Desa Kedis ditunjuk menjadi duta Buleleng dalam utsawa gong kebyar wanita di PKB, Artaya langsung menggunakan kesempatan itu untuk memperkenalkan karya-karya Ketut Merdana kepada penggemar gong kebyar di Bali.
“Selain itu, kami juga ingin menularkan semangat penciptaan seni Ketut Merdana kepada anak-anak muda di Desa Kedis sehingga mereka bisa menghargai dan bangga terhadap karya-karya leluhur di Desa Kedis,” kata Artaya.
I Ketut Pany Riyandhi, seniman Buleleng yang dipilih untuk menata kembali tabuh Kebyar Susun ciptaan Merdana itu tak bisa menyembunyikan rasa senangnya karena Dina, Serly, Kris, dan kawan-kawan bisa memainkan dengan baik tabuh itu saat tampil di panggung PKB. “Tabuh ini cukup sulit, apalagi dimainkan gadis-gadis SMP, tapi mereka bisa memainkan dengan baik,” katanya.
Kebyar Susun yang diciptakan tahun 1956 ini berbeda dengan tabuh kebyar lain karena dibangun secara bertingkat dan tersusun dengan pola yang sama. Dalam bahasa Pany Riyandhi, komposisi dalam Kebyar Susun menyediakan banyak ruang ekslusif untuk memperlihatkan kemampuan khas individu dari hampir seluruh musisi untuk setiap instrument dalam gamelan gong kebyar.
“Tidak salah jika dikatakan bahwa komposisi ini adalah komposisi yang proporsional karena memberikan kesempatan seluruh musisi untuk unjuk kemampuan mereka tanpa diskriminasi dan tanpa menyampingkan peranan mereka,” kata Pany.
Dina, Serly, Kris dan kawan-kawan, meski tak kenal Ketut Merdana secara fisik, mereka punya kemungkinan paling besar untuk bisa menyerap semangat dan jiwa berkesenian yang telah diwariskan Merdana. Seperti kata Dina, “Saya tak kenal Pak Merdana, hanya dengar cerita-cerita dari Pak De Artaya, tapi saat menabuh, saya bisa membayangkan betapa bergairahnya orang-orang zaman dulu di Desa Kedis berkesenian.” [T]