2 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Romantisme Musik Underground Singaraja | Jejak Langkah yang Memudar dalam Skena

Agus Noval RivaldibyAgus Noval Rivaldi
June 29, 2021
inEsai
Romantisme Musik Underground Singaraja | Jejak Langkah yang Memudar dalam Skena

Komunitas Singaraja Movement dan beberapa komunitas lainnya

Singaraja adalah sebuah kota kecil di bagian Bali Utara, kota kecil ini adalah tempat lahir dan tumbuh saya. Kota ini secara letak geografis bisa dikatakan kota yang paling tidak kekurangan apa-apa. Bahkan secara kasat mata kita bisa menikmati pemandangan bukit dan pegunungan dari pantai.

Betapa kota ini menjadi kota yang begitu mempesona. Kota ini juga banyak memiliki silang indah budaya. Bagaimana di pusat kotanya terdapat perkampungan Islam, dan etnis lainnya hidup berdampingan dengan budaya Bali yang kental. Akhirnya penyilangan budaya itu membentuk sebuah ruang baru pada masyarakatnya, dan tentu sangat terbuka akan hal-hal baru juga.

Sekalipun itu adalah hal-hal yang jauh dari kebiasaan hidup orang Bali pada umumnya, seperti misalnya musik-musik Punk, Rock, Hip-Hop dan Hardcore. Atau biasa anak seumuran saya menyebutnya musik underground. Singaraja juga bagian dari tujuan sebuah pasar musik, kesadaran akan hal itu sangat harus dibaca lebih jauh lagi. Terlebih di kalangan anak muda yang katakanlah sangat dekat dengan musik-musik underground.

Pada era sekarang ini musik-musik seperti ini dianggap lebih dekat dengan anak muda. Tidak bisa dipungkiri, bahwa mau tidak mau dan terima tidak terima, kencangnya arus kemajuan teknologi ini menyebabkan anak muda terutama di kalangan umur seperti saya sangat dengan mudah mengeksplor suatu hal.

Yang kemudian membentuk kesepakatan kolektif bersama bagaimana kita mengambil sikap soal selera bermusik, ketika musik-musik tradisi sudah semacam disakralkan dan dianggap selayaknya lebih patut masuk ke dalam museum. Akhirnya anak-anak muda seperti saya mencoba mencari jalan pintas bagaimana kita membangun standarisasi “keren” bagi kalangan muda-mudi.

Pengenalan dengan musik-musik budaya barat sangat dengan mudah masuk ke ranah kalangan muda-mudi, seperti yang saya katakan tadi disebabkan oleh mudahnya mengakses suatu hal. Yang membuat kalangan anak muda sendiri bisa mencari informasi apa yang lagi trend hari ini, termasuk anak-anak muda di kota kelahiran saya sendiri ini.

Saya sangat ingat pada tahun 2012-2015 Singaraja mengalami masa-masa membludaknya energi anak muda, terutama dalam bidang proses kreatif bermusik. Saya sangat ingat kala itu masih menjadi anak muda yang suka menonton konser kesana-kemari. Menyaksikan setiap konser band-band keren pada masa itu.

Apalagi ditambah bahwa yang main adalah sebuah band dari Ibu Kota. Pada masa itu datang kesebuah gigs menjadi standar “keren” untuk anak muda seusia saya. Bagaimana setiap orang datang dengan beramai-ramai dengan kalangannya, menggunakan style paling oke di lemarinya untuk memenuhi setiap gigs. Saya sangat ingat bagaimana Gedung Kesenian, Singaraja, pernah full dipenuhi oleh anak muda yang antusias menyaksikan band-band yang tampil.

Waktu itu masih yang trend adalah musik Punk, Hardcore dan Hip-Hop. Bagaimana sebenarnya ketiga gendre musik itu adalah tiga jiwa dan rasa yang berbeda tapi bisa pentas begitu nyaman di satu panggung. Dan penonton seperti saya sangat antusias dan tidak pernah memikirkan soal selera dan gendre sebuah musik kala itu. Yang terpenting adalah apa yang trend pada hari itu ya ikuti.

Saya tidak pernah menyadari dari mana trend-trend itu masuk ke dalam ruang lingkup usia saya. Hal itu seperti alami saja terjadi, menjadi hal yang sudah sepatutnya mengalir. Sampai pada hari ini ketika saya hendak masuk ke dalam ruang dan waktu masa-masa lampau, hal itu hanya menjadi romantisme saya sendiri bersama orang-orang yang masih membangun skena itu dengan tertatih-tatih.

Bahwa pada hari ini masih ada para penggerak skena underground, yang sedang seperti kehausan di tengah padang pasir berjuang untuk ruang yang dibangunnya sendiri. Meski hari ini ketika ada lagi ruang-ruang seperti dulu diciptakan hanya menjadi romantisme masa lalu yang hanya bisa dirindukan. Eforia dan energi itu telah hilang ditelan waktu.

Kini orang-orang seperti kehilangan semangatnya, gigs tidak semeriah dulu. Tak ada panggung dengan lampu sorot, tak ada sound yang mumpuni dan tidak ada lagi penonton yang antusias oleh band-band dulu.

Sekarang akhirnya saya dan mungkin orang-orang yang tersisa ini sadar, bahwa sejatinya bagaimana seharusnya merawat sesuatu itu perlu. Bagaimana kesiapan kita menerima hal yang membludak pada masa lalu. Sebab pada kenyataannya kerja-kerja eforia seperti itu sering kali menjadi abai, menjadi kesenangan yang semestinya dinikmati dan dihabiskan hari itu juga. Besok adalah besok. Ternyata hari ini baru terasa bahwa semua menjadi berbeda.

Tidak pernah terpikirkan bagaimana sebenarnya belajar merawat penonton agar terjaga oleh semangat mereka datang ke gigs, membangun regenerasi di setiap faktor dalam sebuah ruang lingkup. Bahwa dalam ruang lingkup musik underground, penonton menjadi faktor utama dalam perpanjangan umur skena itu sendiri. Katakanlah, kasarnya adalah bahwa penonton target utama pasar musik. Yang artinya kesadaran itu juga harus dibangun, bagaimana menggiring penonton dan pendengar mimiliki sinergi yang sama dengan otak-otak penggerak di balik setiap gigs yang ada.

Sebenarnya yang sepatutnya dibangun adalah dialegtika antara sang penggerak dan penikmat, penikmat dirasa memiliki tingkat kejenuhan yang jujur dibanding penggerak. Seperti hari ini, di kota Singaraja khususnya penikmat musik-musik Punk dan HC sudah tidak seperti dulu, yang tersisa hari ini mungkin sekitar 15% dari persentase tahun 2012-2015. Di hari ini saya masih melihat bahwa yang datang ke gigs orangnya itu-itu saja, penontonnya ya itu-itu saja.

Saya rasa mereka adalah orang-orang yang telanjur cinta dan semangat membangun skena mereka di kotanya, walaupun pada hari ini ketika melihat bagaimana gigs itu menjadi sepi. Ya dalam hati pasti ada rasa rindu oleh suasana dulu. Ditambah hari ini jika saya misalnya menggunakan kacamata ketiga sebagai orang yang melihat skena musik di kota saya, pantas saja sepi.

Bagaimana tidak, ketika di tempat saya merantau hari ini di Denpasar referensi dan kreativitas dalam bermusik itu sudah terlihat mulai menggeser, bukan berarti sudah tidak ada lagi band-band hebat yang dulu. Mereka masih ada dan bahkan menjadi panutan sampai saat ini.

Tapi jika boleh jujur, daya cipta hari ini sudah berkembang pesat. Ketika di Denpasar mulai bertebaran segala macam gendre musik yang saya rasa banyak membawa warna baru dalam skena underground, tapi warna dan gairah baru itu masih sangat minim masuk ke kota kelahiran saya.

Standarisasi “underground” di Singaraja masih sebatas HC/Punk, sekali lagi itu tidak berdosa dan sah-sah saja. Tapi kadang kala perlu juga curiga terhadap rumah sendiri, perlu rasanya menengokkan kepala keluar. Bagaimana hari ini bahwa sudah banyak berhamburan daya cipta dan gebrakan baru dalam sebuah band.

Mungkin itu juga faktor utama penonton itu menghilang perlahan, seperti busa sabun yang perlahan pecah satu persatu. Kini skena di Singaraja menjadi skena yang mati, mirip seperti suasana kota Singaraja yang bernuansa kota tua peninggalan-peninggalan bangunan Belanda di sepanjang Jl. Imam Bonjol, Singaraja.

Kini masa-masa jaya itu hanya sebatas cerita, yang bahkan cerita-cerita utuhnya sudah tidak lagi bisa ditangkap dengan lengkap. Menjadi sebuah sejarah lisan yang kemudian perlahan waktu juga akan hilang. Tidak pernah terekam apalagi tertulis.

Kemajuan era digital seperti sekarang ini sangat mempengaruhi standar musik seseorang, siapa tau tanpa kita sadari bahwa ternyata trend musik hari ini sudah bergeser ke Rock Alternatife atau ke Post Punk mungkin. Hal-hal seperti itu semestinya dibaca dengan cara menengokkan kepala ke luar rumah, apa yang menjadi trend di luar semestinya dibaca benar-benar dan dijadikan referensi baru. Ya dengan catatan tidak menjiplaknya dengan sesama mungkin, tapi bisa mengadaptasi menggunakan perspektif pribadi.

Jika dibanding Denpasar bahkan Jogja, Singaraja sudah semacam tidak memiliki gairah baru dalam berkreatifitas dalam musik. Di Jogja misalnya ada band-band keren seperti Grrrl Gang, Senyawa, Melancholic Bitch dan lain-lain. Di Denpasar misalnya ada beberapa band keren seperti Gabber Modus Operandi, Rollfast, Kanekuro, Milledenials, Astera, Settle, Divecollet dan lain sebagainya yang turut mewarnai skena underground di Denpasar.

Yang artinya pasar hari ini sudah kian beragam, tapi pada hari ini Singaraja masih semacam mentok ide. Antara bingung memulai dari mana atau orang-orang penting dalam skenanya hari ini tidak punya kesiapan dalam membangun itu bersama. Tidak bisa rasanya jika masih berharap dan terus berharap bahwa masa-masa emas dulu akan terjadi lagi jika produk yang dijual masih yang lama.

Gigs yang diselenggarakan oleh Singaraja Movement

Harus ada kemasan pembaruan untuk hal ini, harus dengan sadar membangun itu bersama sebagai kerja kolektif. Kolektif tidak hanya sekedar bicara materi dan kesiapan tenaga, perlu adanya lintas disiplin ilmu dan pola pikir bersama membangun sesuatu. Kesadaran dan kesiapan diri itu harus dibangun bersama, bahwa menjadi sadar mengambil suatu sikap dalam membangun skena adalah kunci dasar membangun ruang baru dan regenerasi selanjutnya.

Tapi tidak berdosa juga jika masih ingin bernyaman-nyaman di ruang hari ini, itu tidak berdosa dan sah-sah saja. Tapi ya itu, mau sampai kapan hanyut oleh romantisme masa lalu kemudian hanya menjadi sebuah cerita skena yang sudah usang.

Padahal jika bicara orang dan kelompok yang aktif di skena underground Singaraja, memiliki skill dan jumlah orang yang tidak perlu diragukan lagi secara SDM dirasa cukup. Di Singaraja ada kelompok yang sering mengorganisasi sebuah acara gigs yang sampai hari ini intens berjalan bernama “Singaraja Movement”, kemudian ada kelompok fanatik fansbase hardcore yang dari dulu saya kenal bahkan masih solid hingga hari ini seperti “Matador”.

Dan beberapa band-band yang dulu memiliki power besar di masa keemasan Singaraja, hingga hari ini masih berproses kreatif. Bahkan sekarang ikut meramaikan juga “Omah Laras”, sebuah kelompok atau organisasi nirlaba yang kecil nan sunyi yang sering mengadakan diskusi sastra, workshop menulis, hingga lapakan gratis di berbagai tempat alternatife di Singaraja. Artinya bahwa Singaraja secara sumber daya sudah memiliki banyak element dalam segala bidang, apalagi bicara skill.

Sayangnya satu sama lain sampai saat ini saya rasa tidak ada yang melakukan pembacaan sejauh itu. Tidak ada ruang dialektika yang mempertemukan element itu semua. Konser hanya sebatar konser, gradak-gruduk setelah itu pulang. Tapi apa kemudian? Ke mana arahnya? Hal-hal ini yang kemudian menjadi titik fokus untuk dibaca ulang kembali, bagaimana membangun kualitas skena yang siap akhirnya bisa menghasilkan kualitas penonton yang cerdas juga kemudian.

Bagi saya sebuah keberhasilan kota itu membangun skena adalah, orang-orangnya bisa antusias juga jika semisal ada acara diskusi yang diisi oleh musisi daerah itu sendiri. Tidak hanya gradak-gruduk pulang tidak ada apa-apa, malah yang ada gigs menjadi ajang adu otot. Betapa kotornya skena jika benar itu masih terjadi di ruang-ruang gigs, jika itu masih terjadi maka kualitas skena dalam ruang itu harus patut dipertanyakan dan dibicarakan ulang bersama-sama dengan semangat yang sama.

Oh ya, tanggal 26 Juni 2021 diselenggarakan sebuah gigs kecil-kecilan, bertajuk “Charity Night, Musik untuk Kemanusiaan”. Yang diadakan di Homebro Coffee Bar, Singaraja. Band yang main adalah band-band keren asal kota Singaraja, yang dulunya menghiasi tumbuh kembang saya ketika masih remaja.

Ada band Makan Di Warung (MDW), Nocash, Barnackle Boy HC, A.C.B (Abis Corona Bubar), dan A.O.A.S (All Of a Sudden). Suasana begitu bersemangat, bagaimana saya dan kawan yang hadir pasti merasakan bagaimana meriahnya dulu menonton gigs walaupun hari ini dengan penonton yang sedikit. Tapi penonton yang sedikit sudah cukup merepesentasikan bagaimana kualitas penonton. Misalnya masih ada penonton yang sesat pikir, seperti yang saya katakan tadi selalu ada penonton yang menjadikan ruang gigs sebagai ruang adu jotos.

Saya rasa itu adalah satu efek besar bagaimana dulunya penonton tidak menyerap pelajaran dengan baik dari musik yang ia dengarkan. Ada salah satu vokalis band yang nyeletuk dan membuat saya tertegun di saat sedang ada keributan, begini kata vokalis tersebut: “Norak ajan cai, moshing nu gen mejaguran!”. [T]

Tags: musikmusik undergroundSingaraja
Previous Post

Ingat “Battle of Britain“ Jelang Laga Panas Inggris versus Jerman

Next Post

Jalan Berliku Menjadi Dokter | SMA Jual Canang, Indekos dengan Tempe dan Saur

Agus Noval Rivaldi

Agus Noval Rivaldi

Adalah penulis yang suka menulis budaya dan musik dari tahun 2018. Tulisannya bisa dibaca di media seperti: Pop Hari Ini, Jurnal Musik, Tatkala dan Sudut Kantin Project. Beberapa tulisannya juga dimuat dalam bentuk zine dan dipublish oleh beberapa kolektif lokal di Bali.

Next Post
Jalan Berliku Menjadi Dokter | SMA Jual Canang, Indekos dengan Tempe dan Saur

Jalan Berliku Menjadi Dokter | SMA Jual Canang, Indekos dengan Tempe dan Saur

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

by dr. Putu Sukedana, S.Ked.
June 1, 2025
0
Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

LELAH dan keringat di badan terasa hilang setelah mendengar suaranya memanggilku sepulang kerja. Itu suara anakku yang pertama dan kedua....

Read more

Google Launching Veo: Antropologi Trust Issue Manusia dalam Postmodernitas dan Sunyi dalam Jaringan

by Dr. Geofakta Razali
June 1, 2025
0
Tat Twam Asi: Pelajaran Empati untuk Memahami Fenomenologi Depresi Manusia

“Mungkin, yang paling menyakitkan dari kemajuan bukanlah kecepatan dunia yang berubah—tapi kesadaran bahwa kita mulai kehilangan kemampuan untuk saling percaya...

Read more

Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

by Made Chandra
June 1, 2025
0
Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

PERNAHKAH kita berpikir apa yang membuat sebuah foto begitu bermakna, jika hari ini kita bisa mereproduksi sebuah foto berulang kali...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu
Panggung

Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu

HUJAN itu mulai reda. Meski ada gerimis kecil, acara tetap dimulai. Anak-anak muda lalu memainkan Gamelan Semar Pagulingan menyajikan Gending...

by Nyoman Budarsana
June 1, 2025
Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025

MEMASUKI tahun ke-10 penyelenggaraannya, Ubud Food Festival (UFF) 2025 kembali hadir dengan semarak yang lebih kaya dari sebelumnya. Perayaan kuliner...

by Dede Putra Wiguna
May 31, 2025
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co