Singaraja adalah sebuah kota kecil di bagian Bali Utara, kota kecil ini adalah tempat lahir dan tumbuh saya. Kota ini secara letak geografis bisa dikatakan kota yang paling tidak kekurangan apa-apa. Bahkan secara kasat mata kita bisa menikmati pemandangan bukit dan pegunungan dari pantai.
Betapa kota ini menjadi kota yang begitu mempesona. Kota ini juga banyak memiliki silang indah budaya. Bagaimana di pusat kotanya terdapat perkampungan Islam, dan etnis lainnya hidup berdampingan dengan budaya Bali yang kental. Akhirnya penyilangan budaya itu membentuk sebuah ruang baru pada masyarakatnya, dan tentu sangat terbuka akan hal-hal baru juga.
Sekalipun itu adalah hal-hal yang jauh dari kebiasaan hidup orang Bali pada umumnya, seperti misalnya musik-musik Punk, Rock, Hip-Hop dan Hardcore. Atau biasa anak seumuran saya menyebutnya musik underground. Singaraja juga bagian dari tujuan sebuah pasar musik, kesadaran akan hal itu sangat harus dibaca lebih jauh lagi. Terlebih di kalangan anak muda yang katakanlah sangat dekat dengan musik-musik underground.
Pada era sekarang ini musik-musik seperti ini dianggap lebih dekat dengan anak muda. Tidak bisa dipungkiri, bahwa mau tidak mau dan terima tidak terima, kencangnya arus kemajuan teknologi ini menyebabkan anak muda terutama di kalangan umur seperti saya sangat dengan mudah mengeksplor suatu hal.
Yang kemudian membentuk kesepakatan kolektif bersama bagaimana kita mengambil sikap soal selera bermusik, ketika musik-musik tradisi sudah semacam disakralkan dan dianggap selayaknya lebih patut masuk ke dalam museum. Akhirnya anak-anak muda seperti saya mencoba mencari jalan pintas bagaimana kita membangun standarisasi “keren” bagi kalangan muda-mudi.
Pengenalan dengan musik-musik budaya barat sangat dengan mudah masuk ke ranah kalangan muda-mudi, seperti yang saya katakan tadi disebabkan oleh mudahnya mengakses suatu hal. Yang membuat kalangan anak muda sendiri bisa mencari informasi apa yang lagi trend hari ini, termasuk anak-anak muda di kota kelahiran saya sendiri ini.
Saya sangat ingat pada tahun 2012-2015 Singaraja mengalami masa-masa membludaknya energi anak muda, terutama dalam bidang proses kreatif bermusik. Saya sangat ingat kala itu masih menjadi anak muda yang suka menonton konser kesana-kemari. Menyaksikan setiap konser band-band keren pada masa itu.
Apalagi ditambah bahwa yang main adalah sebuah band dari Ibu Kota. Pada masa itu datang kesebuah gigs menjadi standar “keren” untuk anak muda seusia saya. Bagaimana setiap orang datang dengan beramai-ramai dengan kalangannya, menggunakan style paling oke di lemarinya untuk memenuhi setiap gigs. Saya sangat ingat bagaimana Gedung Kesenian, Singaraja, pernah full dipenuhi oleh anak muda yang antusias menyaksikan band-band yang tampil.
Waktu itu masih yang trend adalah musik Punk, Hardcore dan Hip-Hop. Bagaimana sebenarnya ketiga gendre musik itu adalah tiga jiwa dan rasa yang berbeda tapi bisa pentas begitu nyaman di satu panggung. Dan penonton seperti saya sangat antusias dan tidak pernah memikirkan soal selera dan gendre sebuah musik kala itu. Yang terpenting adalah apa yang trend pada hari itu ya ikuti.
Saya tidak pernah menyadari dari mana trend-trend itu masuk ke dalam ruang lingkup usia saya. Hal itu seperti alami saja terjadi, menjadi hal yang sudah sepatutnya mengalir. Sampai pada hari ini ketika saya hendak masuk ke dalam ruang dan waktu masa-masa lampau, hal itu hanya menjadi romantisme saya sendiri bersama orang-orang yang masih membangun skena itu dengan tertatih-tatih.
Bahwa pada hari ini masih ada para penggerak skena underground, yang sedang seperti kehausan di tengah padang pasir berjuang untuk ruang yang dibangunnya sendiri. Meski hari ini ketika ada lagi ruang-ruang seperti dulu diciptakan hanya menjadi romantisme masa lalu yang hanya bisa dirindukan. Eforia dan energi itu telah hilang ditelan waktu.
Kini orang-orang seperti kehilangan semangatnya, gigs tidak semeriah dulu. Tak ada panggung dengan lampu sorot, tak ada sound yang mumpuni dan tidak ada lagi penonton yang antusias oleh band-band dulu.
Sekarang akhirnya saya dan mungkin orang-orang yang tersisa ini sadar, bahwa sejatinya bagaimana seharusnya merawat sesuatu itu perlu. Bagaimana kesiapan kita menerima hal yang membludak pada masa lalu. Sebab pada kenyataannya kerja-kerja eforia seperti itu sering kali menjadi abai, menjadi kesenangan yang semestinya dinikmati dan dihabiskan hari itu juga. Besok adalah besok. Ternyata hari ini baru terasa bahwa semua menjadi berbeda.
Tidak pernah terpikirkan bagaimana sebenarnya belajar merawat penonton agar terjaga oleh semangat mereka datang ke gigs, membangun regenerasi di setiap faktor dalam sebuah ruang lingkup. Bahwa dalam ruang lingkup musik underground, penonton menjadi faktor utama dalam perpanjangan umur skena itu sendiri. Katakanlah, kasarnya adalah bahwa penonton target utama pasar musik. Yang artinya kesadaran itu juga harus dibangun, bagaimana menggiring penonton dan pendengar mimiliki sinergi yang sama dengan otak-otak penggerak di balik setiap gigs yang ada.
Sebenarnya yang sepatutnya dibangun adalah dialegtika antara sang penggerak dan penikmat, penikmat dirasa memiliki tingkat kejenuhan yang jujur dibanding penggerak. Seperti hari ini, di kota Singaraja khususnya penikmat musik-musik Punk dan HC sudah tidak seperti dulu, yang tersisa hari ini mungkin sekitar 15% dari persentase tahun 2012-2015. Di hari ini saya masih melihat bahwa yang datang ke gigs orangnya itu-itu saja, penontonnya ya itu-itu saja.
Saya rasa mereka adalah orang-orang yang telanjur cinta dan semangat membangun skena mereka di kotanya, walaupun pada hari ini ketika melihat bagaimana gigs itu menjadi sepi. Ya dalam hati pasti ada rasa rindu oleh suasana dulu. Ditambah hari ini jika saya misalnya menggunakan kacamata ketiga sebagai orang yang melihat skena musik di kota saya, pantas saja sepi.
Bagaimana tidak, ketika di tempat saya merantau hari ini di Denpasar referensi dan kreativitas dalam bermusik itu sudah terlihat mulai menggeser, bukan berarti sudah tidak ada lagi band-band hebat yang dulu. Mereka masih ada dan bahkan menjadi panutan sampai saat ini.
Tapi jika boleh jujur, daya cipta hari ini sudah berkembang pesat. Ketika di Denpasar mulai bertebaran segala macam gendre musik yang saya rasa banyak membawa warna baru dalam skena underground, tapi warna dan gairah baru itu masih sangat minim masuk ke kota kelahiran saya.
Standarisasi “underground” di Singaraja masih sebatas HC/Punk, sekali lagi itu tidak berdosa dan sah-sah saja. Tapi kadang kala perlu juga curiga terhadap rumah sendiri, perlu rasanya menengokkan kepala keluar. Bagaimana hari ini bahwa sudah banyak berhamburan daya cipta dan gebrakan baru dalam sebuah band.
Mungkin itu juga faktor utama penonton itu menghilang perlahan, seperti busa sabun yang perlahan pecah satu persatu. Kini skena di Singaraja menjadi skena yang mati, mirip seperti suasana kota Singaraja yang bernuansa kota tua peninggalan-peninggalan bangunan Belanda di sepanjang Jl. Imam Bonjol, Singaraja.
Kini masa-masa jaya itu hanya sebatas cerita, yang bahkan cerita-cerita utuhnya sudah tidak lagi bisa ditangkap dengan lengkap. Menjadi sebuah sejarah lisan yang kemudian perlahan waktu juga akan hilang. Tidak pernah terekam apalagi tertulis.
Kemajuan era digital seperti sekarang ini sangat mempengaruhi standar musik seseorang, siapa tau tanpa kita sadari bahwa ternyata trend musik hari ini sudah bergeser ke Rock Alternatife atau ke Post Punk mungkin. Hal-hal seperti itu semestinya dibaca dengan cara menengokkan kepala ke luar rumah, apa yang menjadi trend di luar semestinya dibaca benar-benar dan dijadikan referensi baru. Ya dengan catatan tidak menjiplaknya dengan sesama mungkin, tapi bisa mengadaptasi menggunakan perspektif pribadi.
Jika dibanding Denpasar bahkan Jogja, Singaraja sudah semacam tidak memiliki gairah baru dalam berkreatifitas dalam musik. Di Jogja misalnya ada band-band keren seperti Grrrl Gang, Senyawa, Melancholic Bitch dan lain-lain. Di Denpasar misalnya ada beberapa band keren seperti Gabber Modus Operandi, Rollfast, Kanekuro, Milledenials, Astera, Settle, Divecollet dan lain sebagainya yang turut mewarnai skena underground di Denpasar.
Yang artinya pasar hari ini sudah kian beragam, tapi pada hari ini Singaraja masih semacam mentok ide. Antara bingung memulai dari mana atau orang-orang penting dalam skenanya hari ini tidak punya kesiapan dalam membangun itu bersama. Tidak bisa rasanya jika masih berharap dan terus berharap bahwa masa-masa emas dulu akan terjadi lagi jika produk yang dijual masih yang lama.
Harus ada kemasan pembaruan untuk hal ini, harus dengan sadar membangun itu bersama sebagai kerja kolektif. Kolektif tidak hanya sekedar bicara materi dan kesiapan tenaga, perlu adanya lintas disiplin ilmu dan pola pikir bersama membangun sesuatu. Kesadaran dan kesiapan diri itu harus dibangun bersama, bahwa menjadi sadar mengambil suatu sikap dalam membangun skena adalah kunci dasar membangun ruang baru dan regenerasi selanjutnya.
Tapi tidak berdosa juga jika masih ingin bernyaman-nyaman di ruang hari ini, itu tidak berdosa dan sah-sah saja. Tapi ya itu, mau sampai kapan hanyut oleh romantisme masa lalu kemudian hanya menjadi sebuah cerita skena yang sudah usang.
Padahal jika bicara orang dan kelompok yang aktif di skena underground Singaraja, memiliki skill dan jumlah orang yang tidak perlu diragukan lagi secara SDM dirasa cukup. Di Singaraja ada kelompok yang sering mengorganisasi sebuah acara gigs yang sampai hari ini intens berjalan bernama “Singaraja Movement”, kemudian ada kelompok fanatik fansbase hardcore yang dari dulu saya kenal bahkan masih solid hingga hari ini seperti “Matador”.
Dan beberapa band-band yang dulu memiliki power besar di masa keemasan Singaraja, hingga hari ini masih berproses kreatif. Bahkan sekarang ikut meramaikan juga “Omah Laras”, sebuah kelompok atau organisasi nirlaba yang kecil nan sunyi yang sering mengadakan diskusi sastra, workshop menulis, hingga lapakan gratis di berbagai tempat alternatife di Singaraja. Artinya bahwa Singaraja secara sumber daya sudah memiliki banyak element dalam segala bidang, apalagi bicara skill.
Sayangnya satu sama lain sampai saat ini saya rasa tidak ada yang melakukan pembacaan sejauh itu. Tidak ada ruang dialektika yang mempertemukan element itu semua. Konser hanya sebatar konser, gradak-gruduk setelah itu pulang. Tapi apa kemudian? Ke mana arahnya? Hal-hal ini yang kemudian menjadi titik fokus untuk dibaca ulang kembali, bagaimana membangun kualitas skena yang siap akhirnya bisa menghasilkan kualitas penonton yang cerdas juga kemudian.
Bagi saya sebuah keberhasilan kota itu membangun skena adalah, orang-orangnya bisa antusias juga jika semisal ada acara diskusi yang diisi oleh musisi daerah itu sendiri. Tidak hanya gradak-gruduk pulang tidak ada apa-apa, malah yang ada gigs menjadi ajang adu otot. Betapa kotornya skena jika benar itu masih terjadi di ruang-ruang gigs, jika itu masih terjadi maka kualitas skena dalam ruang itu harus patut dipertanyakan dan dibicarakan ulang bersama-sama dengan semangat yang sama.
Oh ya, tanggal 26 Juni 2021 diselenggarakan sebuah gigs kecil-kecilan, bertajuk “Charity Night, Musik untuk Kemanusiaan”. Yang diadakan di Homebro Coffee Bar, Singaraja. Band yang main adalah band-band keren asal kota Singaraja, yang dulunya menghiasi tumbuh kembang saya ketika masih remaja.
Ada band Makan Di Warung (MDW), Nocash, Barnackle Boy HC, A.C.B (Abis Corona Bubar), dan A.O.A.S (All Of a Sudden). Suasana begitu bersemangat, bagaimana saya dan kawan yang hadir pasti merasakan bagaimana meriahnya dulu menonton gigs walaupun hari ini dengan penonton yang sedikit. Tapi penonton yang sedikit sudah cukup merepesentasikan bagaimana kualitas penonton. Misalnya masih ada penonton yang sesat pikir, seperti yang saya katakan tadi selalu ada penonton yang menjadikan ruang gigs sebagai ruang adu jotos.
Saya rasa itu adalah satu efek besar bagaimana dulunya penonton tidak menyerap pelajaran dengan baik dari musik yang ia dengarkan. Ada salah satu vokalis band yang nyeletuk dan membuat saya tertegun di saat sedang ada keributan, begini kata vokalis tersebut: “Norak ajan cai, moshing nu gen mejaguran!”. [T]