Melihat Italia menjadi tim pertama yang mengunci tiket ke babak 16 besar Euro 2020, jadi teringat Jhumpa Lahiri. Entah kenapa. Gli Azzurri, Roberto Mancini, lalu Jhumpa Lahiri. Pengarang Amerika keturunan India, yang kemudian bermukim di Roma.
Baru dua pertandingan, dan memang masih terlalu dini untuk memberi penilaian. Sejauh apa Italia bisa melangkah di turnamen ini? Tak pelak pertanyaan itu muncul. Dua kemenangan impresif di Grup A atas Turki dan Swiss, mencetak masing-masing tiga gol, dan tanpa kebobolan satu pun. Azzurri mulai dilirik, meski ada saja yang masih mencibir. Dua lawan yang mereka hadapi memang seharusnya bisa dikalahkan.
Sebelum turnamen, Italia seolah berada di luar radar tim favorit, di luar Prancis, Portugal, Belgia, bahkan Inggris. Catatan tak lolos ke Piala Dunia 2018 dianggap sebagai puncak regresi kekuatan sepakbola Italia (padahal waktu itu ada negeri kiblat bola lain yang juga tak lolos ke putaran final, yakni Belanda). Tapi ditangan pelatih Roberto Mancini, sejak tiga tahun lalu, rekor penampilan Azzurri terbilang bagus. Tak terkalahkan di 27 pertandingan internasional, dari partai persahabatan hingga laga kualifikasi. Meski sekali lagi, ada juga yang menyoroti, dari keseluruhan tim itu, hanya dua saja yang tergolong tim sulit, Polandia dan Belanda. Sisanya tim medioker yang sudah sepantasnya mereka kalahkan.
“Kurang intensitas, tenaga dan kecepatan,” komentar Patrick Vieira setelah kemenangan atas Swiss, sebagaimana dikutip Football Italia. Intinya, legenda Prancis, sekaligus mantan gelandang Juventus dan Inter Milan ini masih meragukan peluang Italia untuk melenggang lebih jauh. Mereka belum teruji dengan lawan berat.
Komentar Vieira, semoga tidak ditanggapi sebagai sinisme dan arogansi di tengah status negaranya sebagai tim favorit. Sebuah turnamen, bagaimana pun, membutuhkan daya tahan. Dan Euro kerap menunjukkan, tim yang impresif di awal tak selalu berujung juara, begitu juga sebaliknya skuad yang angin-anginan, justru beruntung.
Ada baiknya mungkin melihat kiprah Mancini. Apa yang dilakukannya, dan kesediaannya untuk membangun sebuah tim baru, sebagaimana pernah dilakukannya di Inter dan Manchester City dulu. Kini, dia menggabungkan pemain berpengalaman dan pemain muda. Ini jelas jauh dari era keemasan Alessandro Del Piero, Andrea Pirlo, Fabio Cannavaro, Paolo Maldini atau Gennaro Gattuso. Para legenda sudah lama berlalu, dan sepakbola Italia, terkhusus Seri A, sudah sering dianggap menurun. Bila hanya berkaca dari seberapa jauh laju klub-klub Seri A di Liga Champions tiap musimnya dan berapa trofi dari kompetisi level Eropa yang bisa diboyong ke daratan negeri Pizza.
Dalam dua pertandingan ini, mereka menunjukkan kolektivitas. Kuat dan tampil sebagai sebuah kesatuan, cukup cepat dalam pergerakan bola, efisien sekaligus menghibur. Masih perlu ditunggu di pertandingan terakhir babak penyisihan melawan Wales untuk memastikan apakah Italia akan menjadi juara Grup A atau hanya sebagai runner-up alias peringkat kedua. Posisi itu akan menentukan siapa lawan mereka di 16 besar nanti. Jika juara Grup A mereka akan melawan runner-up Grup C, jika menjadi runner-up Grup A, lawannya dari tim runner-up di Grup B.
Prancis, Portugal dan Belgia adalah tim-tim favorit, kata Mancini. Yang pertama juara dunia, yang kedua juara bertahan, dan yang berikutnya adalah tim peringkat satu FIFA. Sementara Italia, banyak diantara pemain-pemain muda mereka sekarang, yang bahkan belum pernah mencicipi tampil di Liga Champions atau pun Liga Eropa. Manuel Locatelli, pemuda 23 tahun, pencetak sepasang gol ke gawang Swiss juga sebenarnya hanyalah gelandang pelapis, pengganti Marco Veratti yang kurang bugar.
Yang dilihat Mancini justru sebaliknya, sebuah ruang untuk berkembang. “Ada tim di turnamen ini yang dalam hal kedewasaan, jauh di atas kami. Namun apa pun bisa terjadi dalam sepakbola. Saya berusaha menjelaskan ide-ide saya kepada para pemain dan sejauh ini mereka tampil sempurna.”
Di Stadion Olimpico, Roma, Azzurri menggilas Turki dan Swiss masing-masing dengan skor 3-0. Ingat Roma, ingat Mancini, jadi ingat juga dengan Jhumpa Lahiri. Sejak 2011, perempuan penulis ini memilih pindah ke Italia. Memulai kehidupan baru, bahkan memilih cara yang ekstrem untuk menemukan bentuk literasinya. Suara baru. Lewat bahasa yang baru.
Keputusan itu diambil setelah bahasa Inggris mengantarkannya ke panggung sastra internasional. Meraih Pulitzer pada 2000 dengan kumpulan cerpennya Interpreter of Maladies (1999) disusul, satu kumpulan cerpen lain, Unaccustomed Earth dan dua novel The Namesake dan The Lowland. Beberapa penghargaan juga menghampirinya, tetapi persoalan bahasa ternyata sangat personal baginya.
Dia memilih mengenolkan dirinya. Sepenuhnya hanya belajar bahasa Italia, bicara menggunakan bahasa Italia, dan menulis juga hanya dengan bahasa Italia. Bahasa Inggris ditinggalkannya. Bahasa adalah perkara identitas yang membuat hidupnya di persimpangan. Orang tuanya asli Bengali, berbahasa Bengali, sementara dia tumbuh di Amerika, sebagai anak dari orang tua imigran, dengan bahasa Inggris. Perkara identitas ini mengganggunya sejak kecil. Kedua bahasa itu lambat laun disadari tak bisa menjadi suara sesungguhnya bagi dirinya sendiri. Dia seperti terjebak dalam dua kutub identitas yang tak benar-benar dimilikinya.
Sama seperti Italia dan Mancini, Jhumpa Lahiri membangun ulang dirinya sendiri. Memberi kesempatan bagi dirinya untuk memulai lagi dan berkembang. Sekarang, dia seperti tak lagi memiliki kewajiban untuk menuliskan ulang memori berupa “negara yang hilang” yang tanpa sadar diwariskan dari orang tuanya. Perlu waktu lama baginya untuk bisa menerima bahwa tulisannya tak punya tanggung jawab untuk berkutat dengan perkara identitas itu. In Other Words adalah buku pertama yang saya tulis sebagai seseorang yang dewasa, tapi sekaligus dari sisi linguistik, sebagai seorang anak kecil, tulisnya dalam salah satu esainya, Afterword.
In Other Words (2015) adalah kumpulan esai pertama Jhumpa Lahiri, yang aslinya ditulis dalam bahasa Italia, berisi lika-liku seputar kehidupan barunya dan juga suara barunya, yang ditemukannya lewat bahasa. Tiga tahun kemudian, sebuah novel berhasil ditulisnya, judulnya Dome mi trovo, juga dalam bahasa Italia. Itu titik kedatangan sekaligus perpisahan. Beranjak dari sebuah kukurangan, ketiadaan. Saya rasa itu buku yang ragu-ragu, sekaligus juga berani. Tulisnya lagi. Masih tentang buku pertamanya.
Sama seperti Jhumpa Lahiri, yang mengibaratkan perjalanannya dengan bahasa baru seperti sebuah upaya berenang dari satu tepian danau ke tepian lain, Gli Azzuri juga barangkali mesti menunjukkan daya tahannya mengarungi turnamen ini. Sampai di tepian manakah mereka nanti? [T]
___
BACA ARTIKEL EURO 2020 YANG LAIN DARI PENULISKOMANG ADNYANA