“Ajine annclok mangkin, ajin mresidayang angge di paon kumanten (Harganya sekarang turun, cukup bisa pakai di dapur saja),” kata Nengah Suwati sambil menghidangkan segelas kopi, di rumahnya di Desa Muncan, Selat, Karangasem.
Sore itu kami memilih duduk di teras sebuah bangunan baru hasil dari program bedah rumah yang berdiri di sisi sebelah timur dapur. Sebuah teras baru dengan lantai semen yang diaci seadanya, kasar.
Setelah lebih dari 6 tahun tidak berkunjung, beberapa bangunan terlihat mengisi halaman yang dahulu berupa semak belukar.
Pada awal menginjakkan kaki di halaman ini beberapa tahun lalu, hanya berdiri dua buah bangunan. Satu dapur di ujung selatan dan sisi utara sebuah rumah kecil dengan sebuah kamar tidur, sebuah ruang keluarga kecil dan teras yang lebih kecil lagi. Di teras itulah biaanya kami akan berbincang, dengan segelas kopi, di atas sebuah tikar plastik.
Dahulu di ruang tamu itu terdapat dua buah cagcag yang saling berhadap-hadapan. Cagcag yang digunakan oleh Nengah Suwati dan putrinya untuk menenun songket.
Menenun songket merupakan pekerjaan yang dilakukannya selain sebagai seorang petani. Pekerjaan yang dikerjakan disela-sela kesibukannya menggarap sawah. Masa-masa ketika sawah memasuki periode yang tidak menyita banyak waktu dan tenaga tentu bisa digunakan untuk mengerjakan pekerjan lain. Padi dan palawija, bergantian sesuai dengan pembagian air masih menjadi pola yang digunakannya sebagai petani penggarap. Petani penggarap yang kian terhimpit karena harus menanggung biaya traktor, benih hingga pupuk sendiri.
“Wenten asiki, kuale durung mederes, ada satu hanya saja belum dipotong,” jawab Suwati ketika mendapat pertanyaan apakah ada kain yang telah selesai.
“Durung mresidayang ngambil, kantun mekarya tamas. (Belum bisa mengerjakannya, masih bikin tamas — perlengkapan upacara berbahan daun kelapa yang masih hijau),” lanjutnya.
Pekerjaan Ketika Senggang
Menenun songket baginya adalah sesuatu yang akan dikerjakannya ketika senggang. Pada saat sekarang, pekerjaan di sawah memang tidak banyak hanya saja ternyata ada hal lain yang harus dikerjakan dan sifatnya lebih mendesak. Membuat perlengkapan upacara untuk kebutuhan upaca ngaben secara kelompok dan akan berlangsung dalam waktu dekat. Hal tersebut tentu menjadi prioritas yang haus diambil terlebih dahulu.
Hal tersebut bukan berarti Suwati monomersekiankan proses pengerjaan menenun. Pekerjaan yang telah digelutinya semenjak lulus SMP sekitar tahun 1979.
“Tiang mulai dari ongkos 10 ribu abidang, kanti mangkin sampun ratusan ribu (Saya mulai dari ongkos 10 ribu per lembar sampai sekarang ratusan ribu),” cerita Suwati sambil tersenyum.
Senyuman yang menggambarkan kesenangan menikmati proses menenun yang telah dilakukan selama puluhan waktu.
Upah sebagai tukang tenun menjadi salah satu penopang perekonomian rumah tangga. Seperti halnya penopang-penopang ekonomi rumah tangga Bali yang juga sempoyongan akibat hantaman Covid-19, pendapatan dari upah menenun songket juga menurun akibat terjangan pandemi.
Sebelum pandemi upah yang bisa diterimanya bisa mencapai Rp. 600.000 untuk satu lembar kain, namun kini upah untuk satu lembah kain hanya Rp.300.000, hanya setengahnya.
Namun menenun bukan pekerjaan sederhana, menghasilkan sebuah kain songket tidaklah secepat kita memakainya. Butuh kesabaran, ketekunan dan ketelitian. Mungkin hal itu juga yang membuat Suwati memilih mengerjakan tenunnya ketika memang-memang senggang, ketika dia siap untuk melakukannya.
“Yen seger bayune, wau ambil malih. (Jika ada tenaga baru saya kerjakan lagi),” katanya.
Saya mendengar ia bercerita. Tidak dibuat-buat.
“Malunan tiang maan ngepul ngae. Dicarike sedeng melae ampun ten ade gae, kutus dine mare pragat alirang. (Dulu saya sempat full menenun, kebetulan di sawah sudah tidak ada kerjaan, delapan hari baru selesai setengah bagian),” cerita Suwati.
Saya masih mendengarkan sambil sesekali menghirup kopi.
“Nike ampun peteng-lemah, ampun becat, polih ke carik akesep, masak sareng mandus dogen, sisane ngae songket. (Itu sudah siang-malam [mengerjakannya], sudah cepat,dapat [diselingi] ke sawah sebentar, masak dan mandi, sisanya mengerjakan songket),” lanjutnya menuturkan.
Jadi setengah bagian songket membutuhkan 8 hari, jika dikerjakan secara penuh. Sebuah songket membutuhkan 16 hari. Sehari hanya mengantongi Rp 18.750, jauh dibawah UMR Kabupaten Karangasem sebesar Rp.2.555.500 (disnakeresdm.baliprov.go.id), sekitar 85 ribu per hari. Hitung-hitungan yang tentu saja tidak akan relevan untuk disematkan bagi mereka yang masih menekuni ketrampilan menenun semerti Suwati dan rekan-rekannya yang lain.
“Yen bandingang ajak medagang canang, adan medagang canang. Kuale nak ampun kenten, demene di ngae songket. (Jika dibandingkan dengan berjualan canang, lebih baik berjualan canang. Tetapi karena sudah seperti itu, kesenangannya membuat songket),” katanya sambil tertawa.
Digeluti Sejak Puluhan Tahun
Kesenangan yang telah berlangsung dan terus digelutinya selama puluhan tahun. Menyusuri pergeseran nilai uang, dari nilai 10 ribu rupiah hingga kini 300 ribu rupiah. Merasakan seberapa banyak barang yang bisa didapatkan ketika mengkonversi 10 ribu rupiah atau bahkan beberapa banyak lembar uang yang ada dalam genggaman pada masa ketika keterampilanya diharkai Rp. 600.000.
Tidak hanya upah yang berubah, Suwati juga terlibat dalam perjalanan motif yang harus dikerjakannya.
“Yen motif saking Sidemen, driki cuma ngae doken. (Kalau motif datang dari Sidemen, di sini hanya mengerjakannya saja),” ungkap Suwati ketika ditanya terkait motif yang dikerjakannya.
Motif tentu saja menjadi detail yang terus berkembang dari sebuah kain, pada songket ternyata tidak banyak orang yang bisa memiliki keahlian dalam urusan membuat motif.
Suwati menlanjutkan, motif loster merupakan motif yang dikerjakannya ketika masa awal menekuni tenun. Kemudian berkembang ke motif dengan corak boma, lalu burung. Sementara secara ukuran motif, pada masa awal dia berkencimpung kebanyakan motif yang dikerjakannya berukuran besar, sementara untuk sekarang ini motif yang kain yang dikerjakannya jauh lebih kecil dan banyak. Hal tersebut tentu saja berpengaruh pada tingkat ketelitian hingga waktu pengerjaannya.
“Mangkin pembeline nike ane nagih megenep, harus pang kene, harus pang kenten. (Sekarang pembeli yang memiliki banyak kainginan, harus begini harus begitu),” katanya menyinggung bagaimana selera pembeli berpengaruh besar pada kerumitan motif yang harus dikerjakannya.
Hari semkain gelap, kopi masih setengah gelas, sengaca diminum perlahan untuk bisa berlama-lama berbincang. Seorang lelaki berjalan melintasi halaman, melangkah menghampiri kami dengan sebuah ember hitam.
“Rarisang nak kopine, silahkan kopinya,” ucapnya setelah melemparkan senyum, lalu duduk dan ikut dalam obrolan kami. Saya, dari tadi sudah minum kopi yang ditawarkan itu.
Memulai di Hari Selasa
Lelak itu adalah suami Suwati, sosok kurus yang menghabiskan sebagian besar waktunya di sawah. Selama bertahun-tahun setelah menikah, sang suamilah yang mendapat tugas untuk mengantarkan songket yang telah selesai ditenun kepada Gusti Biang, orang yang menggunakan jasa Suwati untuk menenun.
Hubungan Suwati dengan Gusti Biang dari Sidemen telah berlangsung sejak tahun 70-an. Sejak pertama kali suwati mulai menenun songket. Bahan benang dan proses pembuatan motif yang membutuhkan biaya yang tinggi, hal yang membuat Suwati memilih untuk tetap menjaga hubungannya dengan Gusti Biang, sosok yang sudah memberinya kepercaan untuk menggarap benang-benang dengan serangkaian penanda motif untuk menjadikanya sebuah kain songket.
Sosok yang juga memberi masukan pada perkembangan ketrampilannya dalam menenun.
“Uli pidan sampun sareng gusti biang, sampun uningine pegaene makane ragane ten sanget ngepung. (Sudah dari dulu ikut Gsti Biang, hasil kerja sudah diketahui sehingga dia tidak terlalu mengejar),” ungkap Suwati, mengambarkan kepercayaan yang diperolehnya dari si empunya kain.
Kepercayaan yang didapatkan setelah proses puluhan tahun tetap tekun menenun. Kepercayaan yang belum tentu bisa diperoleh oleh penenun baru. Apalagi di masa pandemi seperti ini, ketika pasar kain songket juga menurun dan beberapa pengerajin tenun harus diistirahatkan.
Salah satu nasehat yang dari Gusti Biang yang masih dipengangnya hinggi hari ini adalah mengenai penentuan hari untuk memulai proses tenunnya.
“Gusti Biang kenapi je tiang, jeg ngekoh ngambil apandalan wastrane niki? sebilang ngambil jeg gedeng basing tiange. (Gusti Biang, ada apa ya, yang menimpa saya, saya malas sekali mengerjakan satu paket kain ini? Selalu ada perasaan marah setiap kali sanya mengerjakannya),” Suwati mengulangi pertanyaan yang ketika itu dilemparkan pada Gusti Biang.
“Ape kejumunin? Ketenange? (Hari apa memulainya?)” kata Suwati menirukan pertanyaan Gusti Biang yang dilemparkan kepadanya.
“Soma, Senin!” jawab Suwati masih mengulang percakapanya ketika itu.
“To be ngeranang, de gen nyumunin Soma jak Wraspati. (Itulah penyebabnya, jangan sekali-kali memulainya di hari Senin atau Kamis),” ungkap Suwati, menyampaikan nasihat Gusti Biang.
Semenjak saat itulah Suwati memutuskan untuk selalu memulai mengerjakan setiap paket kain yang diterimanya pada hari Selasa. Dia seolah tidak ingin mengerjakan tenun dengan perasaan malas, terpaksa dan marah, perasaan yang pernah dia rasakan ketika memulai di hari Senin.
Satu paket (apanggel) yang diterimanya biasanya memuat bahan-bahan untuk kebutuhan empat lembar kain dengan panjang kain 2 meter. Kebutuhan 4 kain yang dibagi dalam 8 lirang (delapan bagian).
Hanya Sekali Pakai Songket
Sebuah pertanyaan tiba-tiba saja keluar, berapa jumlah songket yang dimiliki Suwati?
“Tiang pribadi?” tanya Suwati terkejut.
Saya mengangguk.
“Ten ngelah,tiang nak meburuh dogen. (Tidak punya, saya hanya mengerjakan),” lanjutnya.
Suwarti menceritakan hanya ada satu moment ketika dia mengenakan kain songket, yaitu ketika masih gadis dalam prosesi metatah (potong gigi). Itu adalah satu-satunya moment sepanjang hidupnya ketika dia mengenakan kain yang dibuatnya sendiri.
“Tiang kan meburuh, ane abesik juang tiang. Tiang ten nyemak upah. (Saya kan mengerjakan tenun, satu kain songket saya ambil. Tidak mengambil bayaran (tunai),” cerita Suwati.
Upacara potong gigi merupakan acara prestisius dalam budaya Bali. Upacara yang hanya akan dialami sekali seumur hidup. ketika itu, anggota keluarga yang mengikuti prosesi potong gigi memilih untuk menggunakan kain songket, hal itu juga yang membuat Suwati ikut untuk mengenakannya.
“Acepok pesan. ampun kenten ten kodang tiang nganggo, buin adep tiang. (Hanya sekali saja, setelah itu tidak ingin lagi saya mengunakannya, jadi saya jual),” ceritanya sambil tertawa.
Saya ikut tertawa. Tertawa kecil. Tertawa jengah.
“Yen mangkin ampun tua, ten juari nganggo kenten. (Kalau sekarang sudah tua sungkan untuk memakainya).” Suwati melempar alasan lain mengapa dia tidak memiliki kain songket di lemari pakaiannya.
Itu menunjukkan satu pandangan. bagaimana kain songket lebih identik dengan mereka yang masih muda.
“Pedidi nganggo kenten, kedekine nyen. (Sendirian yang pakai [songket], nanti jadi bahan tertawaa!” Tiba-tiba suaminya yang duduk di teras dapur ikut menimpali.
Jika perkara umur, pada periode tahun 90-an banyak orang tua yang masih menggunakan songket pada momen-memen besar seperti misalnya menghadiri undangan adat dan atau upacara adat seperti ngusabha.
“Nike kan tergantung ekonomi, yen care tiang ekonomi ten ade kene, peh pesu ngeronyoh, kentenange. Terus terang kumanten, Nike ne ngeanang lek masih. (Itu tergantung tingkat ekonomi, jika seperti saya yang tidak memiliki apa-apa, lalu keluar perlente [dengan mengenakan songket], begitu anggapan orang. Terus terang hal itu [pandangan orang] membikin kami sungkan).” Suwati menjelaskan lebih jauh alasannya tidak memiliki songket.
Alat Tenun Warisan
Songket memiliki citra tersendiri dalam kkebanyakan orang Bali, harga kain yang mahal membuat posisi kain songket menjadi kain yang ekslusif. Citra yang telah berlangsung sejak dahulu. Hanya mereka yang berasal dari kaum bangsawan yang biasanya memiliki kain songket. Kalaupun kemudian bergeser, pergeserannya pun ke arah keluarga yang berpunya secara materi.
Mengikuti apa yang lumrah berlaku dan dikenakan di warga sekitar menjadi pilihan yang dipilih Suwati dan suaminya. Selain untuk menjalani kesederhanaan hidup yang dimiliki, tentu untuk menghindari menjadi pusat perhatian yang berpotensi akan memancing pergunjingan. Menginat penekun kerajinan tenun songket yang ada di lingkungannya berjumlah sekitar 30-an orang. Jumlah yang banyak namun tidak membuat songket menjadi kain yang biasa dikenakan pada gelaran upacara adat. Seperti halnya Suwati dan suaminya, kain batik lebih lumrah untuk digunakan.
Jika melihat jumlah penenun yang ada di lingkungan sekitar kediaman Suwati yang terletak di Banjar Benekasa, Desa Muncan, Kecamatan Selat, kerajinan tenun songket telah menjadi pilihan penopang ekonomi keluarga. Pilihan yang sudah berlangsung selama puluhan tahun dan mungkin sudah turun-temurun. Pilihan yang bisa dikerjakan tanpa mengganggu pekerjaan utama, bertani.
Di sisi lain songket juga menjadi penghubung anatara dua kecamatan, selat-sidemen. Lokasi Banjar Benekasa, Muncan, memang hanya dipisahkan oleh hamparan sawah dan sebuah sungai dengan Kecamatan Sidemen. Jalur lama yang sudah terekam dengan jelas dalam ingatan dan mata kaki para tetua Banjar Benekasa. Jalur yang sudah dilalui jauh sebelum jalan raya yang memutar dengan segala macam kemajuan yang dibawanya beranak pinak menjadi jalinan kusut.
“Yabyaban tiang sami nenun, hidup uli kenten. Di banjar benekasa ada sekitar 30-an, coba masuk ke rumah-rumah sebagian besar ada alat tenunnya, sebaya saya semua menenun, hidup dari itu. Di Banjar Benekasa ada sekitar 30-an orang, coba masuk ke rumah-rumah sebagian besar memiliki alat tenun,” ungkap Suwati.
Keterampilan yang membutuhkan kesabaran, ketekunan dan ketelitian yang masih bertahan hingga hari ini. Keterampilan yang dikerjakan sijeda menunggu ketidak pastian panen yang akan tiba. Kesenangan yang kemudian secara nyata telah berhasil menjaga kelangsungan kehidupan mereka.
‘Niki ampun muruk mangkin, ampun demen ngaku. (Ini sekarang sudah belajar, sudah senang katanya).” Suwati menunjuk putrinya yang masih duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar. Bocah perempuan yang sedari tadi ikut menyimak obrolan kami, tersenum lalu menyembunyikan wajahnya karena malu.
Keterampilan yang menurun, seperti halnya telah dimiliki oleh putri kedua Suwati. Putri yang telah memutuskan untuk menikah keluar kacamatan.
“Prabot pemberian orang tua, Bapak tiange sane ngaenang, peralatan pemberian orang tua, Bapak yang membuatkan.” Ia menceritakan asal peralatan tenun yang digunakannya. Peralatan yang dipakainya dari ketika masih gadis, kemudian dibawanya ke rumah sang suami.
Perempuan yang kemudian mendapatkan warisan satu dari dua cagcag (alat tenun) yang sebelumnya mengisi ruang keluarga. Sebuah alat, warisan yang akan menemani perjalanan putri keduanya menempuh kehidupan baru bersama sang suami. Warisan untuk menjaga agar keterampilan yang mengalir dan dipelajari di rumah ketika gadis bisa terus diasah dan menjadi bekal untuk mengarungi hidup.
Warisan yang membuat keterampilan tenun juga hadir dan hidup di rumah baru, rumah lain tempat putrinya memutuskan untuk membina rumah tangganya. Seperti apa yang Suwati telah alami dan amalkan sebelumnya.
Hari telah gelap, gema trisandya telah lama berlalu, kopi dalam gelas telah habis. Senja itu kami habiskan dengan mengobrol tentang songket, topik obrolan yang baru pertama kali kami singgung. Obrolan hangat penuh senyum. senyum yang sama seperti saat pertama kali kami ngobrol beberapa tahun yang lalu.
Senyuman yang juga akan dilemparkan Luh Astuti, seorang gadis tangguh putri pertama Suwati, sosok gadis yang mempertemukan kami. Sosok perempuan yang akhirnya berpulang di usia 20 tahun, setelah melewati perjalanan panjang hidup dengan cereberal palsy. Perempuan dengan daya hidup yang begitu tinggi walau harus menghabiskan waktunya di tempat tidur dan kursi roda. Perempuan yang tidak pernah kehilangan senyumnya.
Hari itu, setelah setahun Astuti berpulang akhirnya kami bisa ngobrol kembali. Membicarakan songket, dengan senyum untuk merayakan kerinduan dan merayakan senyumannya. [T]