30 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Kosmopolitanisme Bali di Persimpangan Jalan | Konflik Dresta-Non Dresta

Made GunawanbyMade Gunawan
May 17, 2021
inOpini
Kosmopolitanisme Bali di Persimpangan Jalan | Konflik Dresta-Non Dresta

Ilustrasi foto Jayen Photography

Kita mau membangun tembok, atau mau membangun jembatan?

Dunia tanpa kontroversi adalah dunia yang tenang namun akan membosankan dan menjemukan. Ungkapan ini menggambarkan sebuah dilema sosial, homogenitas pada satu sisi memunculkan ketenangan, kebersamaan, kesepahaman dan perasaan nyaman, namun pada sisi lain telah menggiring kehidupan pada kondisi stagnan tanpa riak yang jauh dari dinamika sosial, sementara heterogenitas memicu konflik namun mengakomodir pembentukan dialektika sosial, bahkan beberapa pakar percaya konflik adalah sarana untuk sebuah perubahan dan kemajuan.

Pasca pemberlakuan UU Desa Adat No 04 tahun 2019, yang mengamanatkan penghormatan, perlindungan, penguatan, dan pembinaan desa adat, yang kemudian diikuti oleh pembentukan Majelis Desa Adat (MDA) provinsi serta kabupaten di seluruh Bali, dinamika sosial di Bali sedikit bergolak. Pasalnya ada “sampradaya“ yang dianggap sebagai unsur yang menghalangi dan bahkan merongrong dalam usaha penguatan desa adat itu. Hal ini terlihat dari anggaran rumah tangga pembentukan MDA yang mana salah satu ketentuan untuk menjadi prajuru atau pengurus mensyaratkan calon itu tidak menjadi anggota dan/atau pengurus sampradaya.

Keriuhan berlanjut, karena adat dan agama di Bali dalam prakteknya sulit dibedakan, walau organisasi yang diamanatkan mengurus perihal ini berbeda. Agama Hindu di bawah naungan majelis Parisada Hindu Dharma Indonesia atau PHDI dan urusan adat diamanatkan kepada Majelis Desa Pakraman (MDP) yang kemudian oleh UU No 4 Th 2019 diubah menjadi Majelis Desa Adat atau MDA dan desa pakraman menjadi desa adat.

PHDI sebagai majelis tinggi yang mengurus agama disinyalir banyak pihak telah disusupi “samparadaya“ dan ajaran Agama Hindu yang diajarkan di sekolah-sekolah dipandang telah melenceng jauh dari adat Bali karena pengaruh “sampradaya“ tadi. Maka usulan “pembersihan“ PHDI dari unsur-unsur sampradaya kembali mengemuka dan bertambah kuat.

Usaha menangkal, membersihkan dan melindungi unsur adat dari anasir-anasir yang dianggap menghambat dan mengganggu merupakan sebuah kewajaran, sama lumrahnya dengan penguatan simbol identitas keagamaan dan adat dalam proses sosial. Namun pada sisi lain hal ini mengindikasikan adanya penolakan terhadap paham-paham besar antroposentrik-universal dalam bentuk pluralisme, multikulturalisme dan kosmopolitanisme, yang seringkali dilihat bertentangan dengan usaha penguatan identitas lokal.  

Selain itu, penggunaan identitas adat, agama ataupun identitas lainnya jika ditinjau dari teori melting pot menunjukkan adanya masalah asimilasi budaya dalam sebuah komunitas budaya yang plural, karena itu Alberto Bisin dan Thierry Verdier dalam sebuah karya bareng mereka (Beyond the Melting Pot: Cultural Transmission, Marriage, and the Evolustion of Ethic and Religious Traits) mengungkapkan bahwa efektivitas sosialisasi agama dan adat ditandai oleh interaksi sosial yang secara langsung diusahakan dalam rangka terciptanya asimilasi.

Artinya terdapat dua sisi  yang perlu dicermati. Apakah samparadaya senantiasa berdampak negatif atau sesungguhnya memiliki nilai positif yang perlu dipertahankan? Mengapa banyak orang beralih belajar di sampradaya dan merasa menemukan nilai? Sebaliknya apakah adat perlu disesuaikan dengan tuntutan zaman, atau dipertahankan begitu saja?  Menjawab pertanyaan ini beberapa pakar dan intelektual terpecah dalam menyikapinya.

Tulisan ini akan berupaya mengungkapkan dan mengembalikan nilai-nilai kosmopolitanisme (dalam konteks Bali) untuk meminimalisir sumbu-sumbu konflik yang mungkin akan terbakar oleh sebuah hasrat untuk menghegemoni, yang hanya memberikan batas tegas antara “ WE “ dan “ THE OTHER “. Karena konflik dalam kenyataan sosial dapat muncul dari sebuah hegemoni yang berujung pada penguasaan suatu kelompok sosial terhadap kelompok sosial lainnya, bahkan lebih jauh konflik ini dapat berakibat pada munculnya berbagai bentuk kekerasan antar individu atau kelompok.

Akar Kosmopolitanisme Bali

Kosmopolitanisme (cosmopolitanism) merupakan ide besar yang menempatkan manusia sederajat. Ide ini dapat dilacak dari gerakan stoicisme Yunani Kuno, tepatnya pada pandangan Diogenes of Sinope (L. 412 SM), dengan ungkapan “saya seorang warga dunia (a citizen of the world)”.

Para filsuf Stoa (stoisism) memiliki pandangan bahwa tiap manusia hidup dalam dua komunitas yaitu komunitas lokal tempat seseorang dilahirkan dan juga komunitas di mana kepribadian manusia secara keseluruhan dilihat, yaitu sebagai komunitas dunia. Sehingga seorang manusia tidak lepas dari beberapa lingkaran, baik lingkaran pribadi, keluarga, kerabat, kerabat dari kerabat, kesukuan, kebangsaan, hingga kemanusiaan. Artinya manusia hakikatnya adalah warga dunia, yang menjadikan semua manusia sebagai teman, kerabat dan saudara.

Spirit dan moralitas kosmopolitanisme kemudian diadopsi oleh Immanuel Kant (1724-1804) dalam essainya Perpetual Peace (damai tiada henti) yang ditulis tahun 1795. Bagi Kant, hukum kosmopolitan pada dasarnya adalah universal hospitality, atau sikap suka menerima tamu.  Ide ini oleh Jacques Derrida dilanjutkan sebagai hospitality etik yakni kesediaan untuk menerima hal lain seperti halnya menerima tamu dalam sebuah “rumah”, karena melihat kesamaan tujuan yakni menghilangkan kesengsaraan dan penderitaan, menjadi bahagia, dan meraih kehidupan yang lebih baik (universalisme).

Bali dalam banyak hal adalah representasi dari kosmopolitanisme seperti yang dijelaskan di atas. Bali seperti sebuah melting pot, yang mencakup berbagai kebudayaan dunia, sehingga sangat sulit mengidentifikasikan “ Bali “ dalam sebuah sudut pandang.

Bali juga merupakan sebuah sejarah panjang, yang telah melewati berbagai fase, gelombang dan gempuran. Kosmopolitanisme yang menggambarkan hubungan Pulau Bali dengan pusat-pusat budaya, baik yang bersifat lokal di nusantara, maupun yang bersifat hubungan internasional, dapat kita lihat salah satunya di Pura Gambur Anglayang, Kubutambahan, Buleleng. Pelinggih di sana terdiri dari palinggih pokok, yaitu Palinggih Ratu Bagus Sundawan dari unsur Suku Sunda, Palinggih Ratu Bagus Melayu dari unsur ras melayu, palinggih Ratu Ayu Syahbandar dan Ratu Manik Mas menunjukan unsur Cina dan Budha, palinggih Ratu Pasek, Dewi Sri dan Ratu Gede Siwa mencirikan unsur Hindu, Palinggih Ratu Gede Dalem Mekah merupakan unsur Islam. Perkembangan berikutnya dibangun palinggih Padmasana sebagai simbol Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Titib 2003: 103).

Di pura Ulun Danu Batur, kosmopolitanisme Bali yang lain diabadikan, banyak percampuran budaya yang datang dari daratan Tiongkok ke Bali dan sudah menjadi bagian dari kebudayaan di sana. Di salah satu pojokan pura itu didirikan pura yang menyerupai konco tempat pemujaan Ida Ratu Gede Ngurah Sabandar, atau dewi kemakmuran, sebagai bukti akulturasi Cina-Bali yang terjaga dari masa lampau. Campuran budaya Cina-Bali lainya adalah kesenian barong landung, yang menggambarkan perkawinan Raja Jaya Pangus (Dalem Bali Kang) dengan Kang Tjin We yang konon cantik dan lemah lembut seperti Dewi Kwan Im (dalam ajaran Hindu disebut sebagai Dewi Sri/Dewi Kemakmuran). Juga uang kepeng atau pis bolong yang berhuruf Cina yang juga disebut pis cine, yang tak bisa dilepaskan dari ritual upacara Agama Hindu di Bali hingga kini.

Adanya komunitas-komunitas masyarakat muslim tradisional seperti Pegayaman di Buleleng, Loloan di Jembrana, atau Kepaon di Denpasar Selatan, juga menjadi bukti betapa masyarakat Bali bersifat kosmopolitan dan terbuka.

Pada masa kolonial, melalui program baliseering, banyak pula intelektual dan tokoh Bali sangat berterima kasih kepada pemerintah Belanda, karena dianggap mereka membantu mengembangkan kebudayaan dan adat bali, walaupun sebenarnya pihak Belanda memiliki motif politik dan ekonomi. Penerimaan dan penghormatan itu ditunjukkan dalam berbagai tulisan, itikad menjaga peninggalan Belanda khususnya di bidang budaya seperti upaya menjaga lestarinya museum lontar atau tetap lestarinya ukiran-ukiran yang menggambarkan orang Belanda seperti di Pura Meduwe Karang, Kubutambahan.

Solidaritas Organik

Kosmopolitanisme di Bali yang terbentuk sejak masa lalu membentuk solidaritas organik seperti yang kita saksikan di Bali saat ini. Bali dikenal toleransi terhadap budaya lain, layaknya tuan rumah yang ramah terhadap berbagai tamu yang datang. Banyak ilmuwan dan peneliti asing yang datang dan mengidentifikasi Bali, orang Bali tak terpengaruh bahkan welcome terhadap mereka. Banyak pula seniman yang datang mengajarkan dan berkesenian seperti misalnya kelompok Pitamaha yang digawangi seniman Walter Spies dan Rudoft Bonnet yang mengajarkan teknik lukis modern pada pemuda-pemuda Bali, hal itu diterima sebagai hal yang bermanfaat dan memperkaya.

Solidaritas organik yang telah terbentuk, mengikat masyarakat Bali yang bersifat kompleks, dan tingkat spesialisasi yang kuat karena masyarakat telah mengenal pembagian kerja yang dipersatukan oleh saling ketergantungan antar bagian, layaknya masyarakat modern saat ini. Berbeda dengan solidaritas mekanik yang hanya disatukan oleh kesamaan ideologi, agama atau kesamaan darah yang homogen (Emile Durkheim).

Kebalian Orang Bali

Sekitar tahun 1989- 1990 dalam seminar tentang Kebalian Orang Bali yang diselenggarakan oleh Harian Bali Pos, banyak intelektual urun rembug dan berpendapat. Hingga kini wacana ini masih menarik dan masih dibaca ulang. Satu hal yang mengemuka dalam wacana itu adalah apa yang disebut kebalian orang Bali, yakni orang Bali yang aktif terlibat dalam rumusan agama, yakni Agama Hindu. Jika kita agak cermat mengamati sejarah kosmopolitanisme Bali, hal ini agak bertolak belakang, karena terbukti “kebalian“ tidak hanya  didukung oleh Agama Hindu, namun juga didukung oleh unsur lain, seperti Cina, Budha, Jawa, Islam, Melayu, Persia bahkan kolonial Belanda dan Eropa. Seluruh karakter yang telah dibelajarkan  oleh tradisi dan keraifan lokal yang membuat orang menjadi Bali, itulah kebalian. Dengan cara seperti itu, kebalian akan menjadi sebuah tawaran yang simpatik untuk siapa saja dalam kancah pergaulan kosmopolitan, karena karakater yang dikembangkan dalam diri orang Bali, bisa berlaku, hidup dan tumbuh di mana pun (Putu Wijaya)

Desa-kala-patra menjadi counter budaya yang sangat ampuh bagi Bali dalam mengarungi kekosmopolitannya, karena ini menjadikan Bali menjadi universal, sejalan dengan konsep Bhineka Tunggal Ika yang juga mengusung spirit kosmopolitan Indonesia. Seharusnya dan sewajarnya pula Indonesia tidak takut menjadi terbuka dan kosmopolitan, karena salah satu upaya mereduksi fanatisme dan radikalisme adalah melalui kosmopolitanisme.

Konflik Dresta – Non Dresta

Konflik dresta–non dresta yang mengemuka akhir-akhir ini pada dasarnya dilandasi ketakutan akan hilangnya atau berubahnya tradisi budaya Bali, digantikan oleh tradisi asing, dalam hal ini yang dibawa oleh sampradaya, yakni tradisi agama dari India. Jika kita merujuk pada “kebalian orang Bali“ seperti yang dikemukakan budayawan Putu Wijaya, perubahan karakter orang Bali bisa menjadi barometer dan parameter untuk menilai. Tradisi Bali tidak akan berubah selama kebalian orang Bali tetap ada. Sejauh manakah karakter orang Bali telah diubah oleh sampradaya? Pertanyaan ini menjadi relevan karena perubahan karakter bisa juga disebabkan berbagai faktor seperti teknologi, informasi dan budaya konsumtif dan hedonisme yang dibawa kapitalisme, yang juga tak kalah banyak masuk ke Bali.

Konflik dresta-non dresta bisa dilihat sebagai tantangan bagi kosmopolitanisme Bali. Tentu tidak adil hanya menuntut kelompok pendukung dresta saja menegakkan kosmopolitanisme, harus ada upaya dari kedua belah pihak. Mencari penyelesaian hanya melalui pengadilan atau melalui administrasi politik, tak akan menyelesaikan akar permasalahan, walaupun penyelesaian melalui jalur yuridis dapat menghindari tindak kekerasan meluas lebih jauh.

Solusi yang paling bermartabat adalah dialog, musyawarah, mencari titik temu, dan saling pengertian. Pihak yang dianggap non dresta, khususnya Hare Krishna karena yang paling banyak disorot dan mendapatkan penolakan sewajarnya menjadi pihak yang paling banyak harus melakukan interopeksi, terutama dalam hal sosialisasi dengan masyarakat dan penggunaan atribut keagamaannya.

Pihak pendukung dresta juga bukannya tanpa interopeksi dan konsekuensi. Cara-cara yang digunakan untuk mengadvokasi adat harus lebih beradab, mengedepankan hukum dan HAM, dan dialog, tidak sekedar menutup dan membangun tembok pemisah. Yang tak kalah pentingnya, kelompok ini harus membuktikan diri lebih baik dari non dresta, dan mampu membangun “kebalian“ yang lebih baik dari yang ada sekarang.

Solusi yang penulis tawarkan adalah membangun jembatan dan jalur dialog melelui budaya. Ashram-ashram yang berdiri di daerah wewidangan desa adat, secara lembaga diajak ikut ngempon dan nyungsung Tri Khayangan di desa adat tempat mereka berada, tentunya dengan mengikuti dresta di desa adat itu (desa mawacara). Dengan begitu diharapkan ada kesepahaman dan saling pengertian, dan di lain sisi proses pengajaran melalui tradisi dan keraifan lokal yang membuat orang menjadi Bali akan tetap berjalan. Orang Bali tidak kehilangan kebaliannya, dan Bali pun tetap mendapatkan keuntungan dengan semakin banyaknya pihak-pihak yang mendukungnya dan mempertahankannya. Bali pun tetap kosmopolitan.

Jadi mau membangun tembok, atau membangun jembatan? [T]

Tags: baliDresta Balihindusampradaya
Previous Post

“Kalah dan Menang” | Usai Pesta Judi Itu

Next Post

“Hopes” | Pameran 70 Karya Bersama “Kita Art Friends” di Alila Seminyak

Made Gunawan

Made Gunawan

Orang Negaroa, Jembrana Bali, aktivis jurnalisme warga yang menulis di berbagai media. Bisa ditemui di akun facebook bernama Gunawan Golokadas

Next Post
“Hopes” | Pameran 70 Karya Bersama “Kita Art Friends” di Alila Seminyak

“Hopes” | Pameran 70 Karya Bersama "Kita Art Friends" di Alila Seminyak

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

by Emi Suy
May 29, 2025
0
Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

DI masa pandemi, ketika manusia menghadapi kenyataan isolasi yang menggigit dan sakit yang tak hanya fisik tapi juga psikis, banyak...

Read more

Uji Coba Vaksin, Kontroversi Agenda Depopulasi versus Kultur Egoistik Masyarakat

by Putu Arya Nugraha
May 29, 2025
0
Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Profesi Dokter

KETIKA di daerah kita seseorang telah digigit anjing, apalagi anjing tersebut anjing liar, hal yang paling ditakutkan olehnya dan keluarganya...

Read more

Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

by Bayu Wira Handyan
May 28, 2025
0
Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

DI kota-kota besar, suara-suara yang keras justru sering kali menutupi yang penting. Mesin-mesin bekerja, kendaraan berseliweran, klakson bersahutan, layar-layar menyala...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud
Pameran

Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud

SERATUS tahun yang lalu, pelukis Jerman kelahiran Moskow, Walter Spies, mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian, Bali menjadi...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co