Di ruangan agung Kerajaan Astina ini, sebuah pesta besar sekaligus nasib tragis pernah berlangsung. Terlampau tragis bahkan, hingga mengubah sepenuhnya masa depan negeri ini.
Pesta itu memang telah usai, meninggalkan ruangan yang kini lengang dan hanya angin sesekali terdengar mendengung di lorong-lorongnya yang dingin. Selebihnya adalah bayangan mencekam di antara pilar-pilar marmer yang meninggi itu.
Meja kecil dengan batu dadu itu masih dibiarkan tergeletak di situ. Kursi dan botol-botol anggur kosong berserakan di balkon. Sedang di lantai tengah, jejak-jejak kaki dan ceceran keringat masih membekas dalam debu. Juga bayangan tawa Dursasana yang aneh itu. Di situlah, di ruangan agung itu, beberapa waktu lalu, di tengah keramaian pesta kerajaan, Dursasana dengan tawa menyeringai oleh birahi berusaha merenggut dan menelanjangi Drupadi.
“Yudistira telah mempertaruhkan Drupadi dan ia kalah. Perempuan ini sekarang jadi budak kami dan kami bebas memperlakukannya,” kata Dursasana. Bau alkohol menyengat mulutnya. Matanya memerah. Ia yang terhuyung-huyung karena mabuk terus berusaha melucuti kain di pinggul Drupadi.
Di bawah tatapan para bangsawan yang hadir, Drupadi dipertaruhkan sekaligus dinista. Puncaknya, di sini hak-hak Pandawa atas Astina dirampas Kurawa.
Memang banyak hal muram hadir dalam Mahabharata, banyak hal ganjil terdengar di sana. Tetapi yang paling getir tentu apa yang telah berlangsung di ruangan ini. Anak-anak Pandawa, yang cerdas dan menjunjung nilai-nilai kebenaran serta sifat-sifat ksatria, harus berhadapan dengan kenyataan pahit: mereka kalah dalam pertaruhan judi dan kehilangan segalanya serta disingkirkan ke dalam pembuangan 13 tahun di hutan.
Sejumlah pertanyaan sempat menggantung di sana yang tak mudah dicarikan jawaban: Apa yang membuat Yudhistira rela mempertaruhkan masa depannya dan saudara-saudaranya di meja dadu yang tak lebih lebar dari satu meter persegi itu? Sekalipun sebagai putra sulung, berhakkah Yudhistira bertindak sejauh itu, bahkan menjadikan Drupadi sebagai taruhan? Adakah ia membayangkan kemenangan dalam judi itu yang akan memberinya kehormatan? Entahlah! Bahkan para orang tua yang menyaksikan peristiwa itu tak ada yang mampu memberi jawab. Mereka hanya tertunduk, terkubur dalam perasaan tak terlukiskan, sebagaimana Kunti, Drestarasta, atau Widura.
Kecuali Bima yang menunjukkan ketidaksukaannya atas permainan yang dirancang Sakuni itu. Maka, ketika Kurawa mempermalukan dan menelanjangi Drupadi, putri terhormat dari Pancala itu, Bima tak bisa lagi menahan diri. Dia turun ke gelanggang dan meradang dengan sumpahnya, “Hai, Duryadana, Dursasana, Sakuni, kalian boleh menang taruhan dan mengambil negeri ini, tapi apa hakmu menghina Drupadi? Dengar, aku telah menyaksikan semuanya, dan di hadapan kalian kuucapkan sumpahku, kelak aku akan datang dengan pembalasan. Akan kurobek tubuhmu, dan kuminum darahmu!”
Rupanya kehidupan telah memaksakan sisi nisbinya di sini. Karena itu Yudistira, Arjuna, Nakula dan Sadewa memilih diam. Juga Bhisma. Senapati agung nan bijaksana itu hanya memandang datar dari balkon dengan mulut terkatup terhadap semua hal yang berlangsung. Juga Durna. Tak ada yang dapat ia lakukan. Permusuhan antara Pandawa dengan Kurawa tampaknya telah tiba di puncak.
Ketika sebuah peristiwa terjadi, saat pilihan telah diambil, kita pun hanya bisa menunggu apa gerangan setelah itu. Maka Pandawa yang kalah harus segera angkat kaki, meninggalkan masa-masa indah di Astina menuju satu takdir baru: hidup dalam pengasingan. Sementara Duryudana dan saudara-saudaranya, bersama sang penasihat Sakuni, boleh merayakan kemenangan dan bersuka cita.
Demikianlah satu babakan hidup berlangsung. Saat semuanya tiba, maka yang kemudian terlihat adalah ada yang keluar sebagai pemenang dan ada pula yang kalah. Hingga di bagian ini sepertinya tak ada yang perlu diperdebatkan lagi. Mungkin mereka tahu kemenangan itu dicapai melalui cara yang curang. Tapi bagi yang memilih bertindak murni, seperti Yudhistira, juga sadar akan berhadapan dengan risiko: entah akhirnya menang atau kalah. Siapa yang tahu? Karena itu kita agak jadi mengerti kenapa Yudhistira memilih diam saat dikalahkan. Ia tak mempersoalkan bagaimana ia kalah.
Yudhistira memang bukan pemenang. Bahwa antara kalah dan menang itu kadang jaraknya sedemikian tipis, sekalipun tak juga mudah buat digenggam. Tapi toh dengan demikian tak berarti segalanya telah berakhir.
Tiga belas tahun selepas pesta judi di ruangan itu, dua keluarga keturunan Bharata ini, Pandawa dan Kurawa, dipertemukan kembali oleh takdir. Tidak dalam reuni keluarga tetapi di jalan yang pilu. Mereka harus saling angkat senjata dan baku bunuh, lewat perang saudara, perang Kuru, yang dikenal dengan Bharatayuda.
Kita kemudian paham perang itu pun ternyata bukan pertanda berakhirnya suatu riwayat. Sebab, sesudahnya banyak hal tragis masih akan berlangsung. Mungkin karena itu, Astina dengan segala cekam misterinya, tetap hadir membayang di tengah kerajaan hidup kita hari ini. Darinya orang-orang dapat menilai sejenak tentang keteguhan hati, seperti Bhisma. Dengan kata lain, ini adalah soal risiko dan hikmah dari pilihan hidup.
Sebelum perang pecah, Bhisma berkata kepada Drestarasta, “Yudistira dan saudara-saudaranya akan memenangkan perang ini. Mereka dipayungi keberuntungan, sebab Pandawa meneguhkan kekuatannya dengan kebenaran dan keadilan, sesuatu yang tak pernah bisa dimengerti oleh Duryudana.”
Di sana Bhisma hendak menegaskan bahwa sekalipun segalanya tampak nisbi, orang tetap perlu menggamit keyakinan tentang sesuatu sebagai pegangan hidup. Misalnya berteguh dengan nilai-nilai moral. Juga sebagaimana sikap yang diambil Bhisma dalam Bharatayudha: Orang seharusnya tetap menjadi ksatria meski tahu akan berada di pihak yang kalah.
Bagaimana pun setiap peristiwa, setiap pergulatan, akan hadir dengan wajahnya yang subtil, tak pernah mudah dipahami. Sebagaimana kita tahu satu kemenangan ternyata tak seluruhnya berarti menang. Begitu juga dengan kekalahan.
Bharatayuda memang kemudian berakhir. Dimenangi lima putra Pandu, Pandawa, yang mengantarkan Yudhistira memegang tahta Astina. Sedangkan Kurawa, keturunan Drestarasta, yang seratus orang itu, karena itu ia jadi mayoritas, adalah pihak yang kalah. Duryudana, Dursasana dan Sakuni dirajam habis oleh Bima, sesuai sumpahnya dulu. Tapi setelah itu apa? Yang kita tahu, meski keluarga Kurawa, lambang sifat-sifat buruk manusia itu, tumpas dari Astina ternyata mereka tak serta merta kehilangan otoritasnya atas kerajaan dunia kita. Mereka seakan terus bereinkarnasi di dalam diri kita, di tengah kehidupan kita, sampai hari ini. [T]