Genap satu bulan umat Islam di Indonesia menunaikan ibadah puasa Ramadan, menahan rasa lapar, dahaga, dan mengendalikan hawa nafsu⸺walaupun yang satu ini kadang luput-luputan. Bahkan, karena posisinya masih di tengah pandemi Covid-19, umat Islam juga harus menahan diri untuk tidak beraktivitas dan beribadah di luar rumah. Semua terjadi dalam suasana penuh keterbatasan.
Kini Idulfitri telah tiba, miliaran umat Islam sedunia merayakan hari istimewa tersebut dengan cara berbeda. Dalam konteks tradisi masyarakat Indonesia, Idulfitri merupakan hari yang sangat penting. Tak heran jika mudik ke kampung halaman menjadi euforia tersendiri.Tidak hanya itu, berbagai pakaian baru serta beraneka ragam makanan dan minuman mulai dipersiapkan.
Namun, di masa pandami seperti ini, kebiasaan-kebiasan yang sering masyarakat Indonesia lakukan terpaksa harus dijeda. Dalam upaya mencegah penularan Covid-19, pemerintah membuat kebijakan tentang larangan mudik ke kampung halaman. Tentu, kebijakan ini juga berlaku untuk diri saya sebagai warga negara Indonesia yang merantau jauh dari kampung halaman.
Ya, saya tidak mudik tahun ini. Terasa berat memang. Walaupun mungkin bagi sebagian orang, tidak mudik ke kempung halaman adalah hal yang biasa saja, tapi hati orang siapa yang tahu. Siapa tahu ada orang yang diam-diam menangis di toilet atau di kamar tidur yang lampunya dimatikan. Diam-diam mengenang kampung halaman.
***
Mudik ke kampung halaman itu sudah menjadi budaya. Perayaan Idulfitri tidak bisa dipisahkan dengan mudik, seakan⸺meminjam istilah M. Hasanuddin Wahid, Sekjen DPP PKB⸺ “belum merayakan Idulfitri kalau belum mudik ke kampung halaman”.
Tetapi apakah benar bahwa Idulfitri⸺baik secara harfiah maupun maknawiyahnya⸺hanya tentang mudik ke kampung halaman? Tentu saja tidak. Idulfitri (kembali ke kesejatian) sangat berbeda dengan Idulqoryah (kembali ke kampung halaman). Walaupun setiap kali Idulfitri tiba, umat Islam Indonesia selalu sibuk memikirkan bagaimana caranya bisa mudik dan berkumpul dengan keluarga. Hal ini memang tidak salah, hanya saja, dalam kondisi seperti ini, kita perlu adanya pemahaman komprehensif tentang subtansi Idulfitri itu sendiri.
Idulfitri itu artinya kembali suci. Sedangkan menurut Mbah Nun⸺sapaan akrab Emha Ainun Nadjib⸺ “mudik adalah perjalanan menuju diri sejati. Sejatining roso, sejatining jiwo, sejatining sukmo.” Idulfitri adalah kembali (mudik) ke kesejatian, ilaihi roji’un, lillahi ta’ala bukan liyane. Dan kesejatian itulah yang abadi. Sementara di dunia, kita menjalani kesementaraan, budaya instan, fastfood, segala sesuatu yang serba pendek, sempit, dangkal. Kita tidak terbiasa mencakrawalai keabadian dan kesejatian⸺karena hobi manusia adalah ketidak-sejatian, alias kepalsuan.
Esensi Idulfitri itu bukan hanya di kampung halaman, akan tetapi di mana pun tempatnya selagi kita benar-benar menghayati makna “fitri”. Karena itu mudik ke kesejatian jauh lebih penting daripada hanya sekadar mudik ke kampung halaman. Apa artinya kita bisa mudik ke kampung halaman, sementara pada saat bersamaan jiwa dan hati kita tidak sedang mudik ke kesucian yang sesungguhnya.
Ada satu hal yang menarik dalam tulisan Mbah Nun, Mudik ke Rumah Fitri. Tahap paling awal dari mudik adalah kembali menjadi manusia, manusia saja, atau manusia thok, tanpa embel-embel. Kalau kita menteri, kata Mbah Nun, mudik adalah belajar tidak menjadi menteri. Kalau kita penguasa, bersimpuh di lutut ibu di kampung harus dengan terlebih dulu melepas baju penguasa. Jabatan, pangkat, reputasi, prestasi, status dan macam-macam lagi, adalah pakaian, jas, jaket, dasi, emblim, bahkan banyak yang fitri-nya sekadar bedak, pupur, gincu, kosmetika⸺sekadar topeng.
Jika Idulfitri adalah mudik ke kesejatian, maka selama bulan puasa kita belajar untuk menjadi manusia yang Tuhan⸺manusia spiritual, manusia yang wali. Dan Idulftri juga akan menjadi bukti, apakah kita memang sungguh-sungguh belajar menjadi manusia spiritual atau hanya pura-pura menjadi. Jangan sampai setelah Idulfitri kita kembali menjadi manusia material; kembali kedonyan (gila harta); kembali berkelahi setelah maaf-maafan; kembali mengujar kebencian; kembali saling memaki; kembali menghamba kepada hawa nafsu, maka jangan-jangan, bulan puasa bukan bulan untuk belajar “menahan”, belajar untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, tapi bulan puasa adalah bulan untuk belajar melatih kepura-puraan kita. Jika iya, maka Idulfitri bukan bentuk mudik ke kesejatian, tapi bentuk kepura-puraan. Semoga tidak demikian.
Kepada kawan-kawan yang tidak bisa mudik ke kampung halaman, jangan terlalu bersedih. Saya juga tidak bisa pulang. Tidak apa-apa. Saya harap kita bisa mudik ke kesejatian. Selamat berlebaran, jangan menyerah dan jangan terserah, mari rayakan dengan menebar kebaikan dan kerja-kerja kemanusiaan.
Siapkan bekal ketakwaan, kehambaan, ketaatan, dan iman. Mari kita mudik ke kesejatian. [T]