Dua pendekar masa kini di bidang seni-budaya, khususnya seni-budaya dari kerajaan akademisi dan birokrasi, Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha dan Prof. Dr. I Wayan Adnyana alias Kun Adnyana, resmi tukaran kursi, tentu juga tukaran pedang.
Arya Sugiartha secara resmi dilantik menjadi Kepala Dinas Kebudayaan Bali oleh Gubernur Wayan Koster, Senin 3 Mei 2021. Ia meninggalkan kursi Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Maret 2021. Kursi Rektor ISI yang ditinggalkan Arya Sugiartha diduduki oleh Kun Adnyana.
Sebelum menjadi rektor, Kun Adnyana duduk di kursi Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali yang kini diduduki Arya Sugiartha.
Kun Adnyana yang memang akademisi ISI Denpasar itu menjadi Kepala Dinas Kebudayaan Bali sejak April 2019. Selama sekitar dua tahun di kursi Kepala Dinas Kebudayaan, ia sudah sempat merintis Festival Seni Bali Jani dan melanjutkan penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali, serta sempat menyelenggarakan Simposium Internasional Sastra Indonesia (SISI) pada Oktober 2019.
Di tengah-tengah kesibukannya menjadi Kepala Dinas ia ikut pemilihan Rektor ISI, dan terpilih. Maka, Senin 22 Maret 2021 ia pun dilantik secara resmi menjadi Rektor ISI periode 2021-2025 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim di Jakarta.
Arya Sugiartha, sebelum menjabat Kepala Dinas Kebudayaan adalah Rektor ISI selama dua periode. Ketika Kun Adnyana jadi Kepala Dinas Kebudayaan, Arya Sugiartha yang masih rektor tampak selalu semangat “membantu” Dinas Kebudayaan, secara pikiran maupun tenaga, dalam berbagai kegiatan seni-budaya. Boleh dikata, sebelum menjadi Kepala Dinas Kebudayaan, Arya Sugiartha sudah belajar banyak bagaimana cara menjadi Kepala Dinas.
Maka, ketika Kun Adnyana terpilih menjadi Rektor ISI, sejumlah seniman bisik-bisik agak keras, nanti Arya Sugiartha yang akan menggantikan Kun Adnyana di Dinas Kebuayaan. “Sepertinya mereka akan tukaran,” kata seorang seniman di sela-sela pelaksanaan Festival Seni Bali Jani 2020 di Taman Budaya Denpasar.
Dan, benar. Mereka tukaran. Tentu saja pertukaran tidak terjadi seperti seorang siswa laki-laki SMA tukaran bangku (tempat duduk) dengan siswa lain, misalnya untuk urusan mendekati siswa perempuan. Kedua tokoh seni itu mengikuti proses formal dengan benar sesuai dengan standar pemilihan seorang rektor dan seorang kepala dinas.
Sederhananya, boleh dikata, Kun Adnyana dan Arya Sugiartha akhirnya bertukar kursi. Meski sama-sama duduk untuk mengurusi seni-budaya, khususnya seni budaya Bali, keduanya mau tak mau harusnya bertukar pedang juga agar dunia persilatan seni budaya Bali tetap bisa menyelenggarakan “pertandingan” dengan seimbang, tanpa terjadi kekacauan.
Ya, pedang memang harus ditukar. Pedang bisa dianalogi sebagai alat bertempur (alat menjabat, alat memimpin) termasuk juga alat untuk menjalankan taktik, teknik, dan siasat, dalam dunia persilatan seni-budaya.
Pedang untuk bermain di Dinas Kebudayaan adalah pedang sosial-kemasyarakatan, bersifat birokratik, kadang politis. Untuk urusan seni, pedang ini biasa dimainkan dalam arena-arena seni budaya yang heterogen, campur-baur, yang diisi oleh pemain dari kalangan seniman desa, seniman sebunan, seniman jalanan, dan seniman tanpa jurusan, tanpa fakultas dan tanpa prodi. Yang dihadapi lebih banyak sekaa gong dari desa, desa adat dan sanggar seni di masyarakat luas. Juga terdapat pemain lepas tanpa lembaga.
Berbeda dengan pedang di ISI yang lebih bersifat akademik karena urusannya adalah soal pendidikan, riset dan penelitian. Pedang ini digunakan untuk bermain dalam arena yang lebih homogen, terukur, dan punya standar yang lebih baku. Yang dihadapi adalah seniman dan budayawan akademik. Meskipun seniman-budayawan akademik itu awalnya banyak yang berasal dari sekaa seni sebunan di desa-desa, tapi urusan mereka di kampus memang urusan akademik, di mana dengan pendidikan yang didapat, mereka punya tugas pokok dan fungsi untuk mengembangkan pendidikan seni-budaya, bukan semata-mata menjadi pregina atau tukang tabuh sebagaimana pregina dan tukang tabuh di desa-desa.
Jadi, meski sama-sama berurusan dengan dunia kesenian, tugas mereka berbeda, arena permainan mereka berbeda, sehingga pedang (alat tempur lainnya) juga berbeda. Kun Adnyana yang kini masuk pada arena akademik sudah pernah memegang pedang birokratis (juga politis), Arya Sugiartha yang kini masuk ke arena birokratis pernah memegang pedang akademik.
Apakah mereka bisa sukses di tempat yang baru? Ah, jangan pertanyakan itu. Saya sendiri percaya mereka akan menjadi “pemain pedang” yang andal untuk kemajuan seni-budaya. Kun meskipun tak pernah pegang pedang tertinggi dalam arena akademik, ia juga seorang dosen dan sempat menjabat sejumlah jabatan di ISI Denpasar. Arya Sugiartha pun bukanlah orang asing di Dinas Kebudayaan karena kerap terlibat dalam banyak event budaya di Dinas Kebudayaan.
Setelah dilantik bahkan Arya Sugiartha sudah menyatakan program rutin semisal pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB), Festival Seni Bali Jani yang sudah sempat terselenggara 3 kali juga akan dilanjutkan. Yang paling monumental disiapkan adalah agenda Festival Budaya Dunia di Bali.
“Festival Budaya Dunia di Bali ini dengan mengundang negara-negara yang memiliki budaya unik, seperti Jepang dan Korea Selatan. Festival Budaya Dunia rencananya akan digelar setahun sekali di bulan September. Festival ini tentunya baru bisa digelar nanti setelah pandemi Covid-19 berlalu,” kata Arya Sugiartha sebagaimana dikutip dari Nusa Bali.
Selamat, menjalankan tugas Prof. Arya Sugiartha. [T]