Terkadang, kita mesti peka membaca tanda, meski bisa dipastikan tepat apalagi benar. Tanda itu, isyarat yang bisa datang dari mana saja, pun bisa berupa apa saja. Harum tanah halaman belakang Rompyok Kopi Komunitas Kertas Budaya selepas hujan, juga sandal jepit yang dikenakan Pak Bupati, misalnya, adakah itu menjadi isyarat arah pembangunan Jembrana pasca pesta demokrasi akhir tahun sebelumnya?
“Tujuan utama pemerintah menciptakan kebahagiaan masyarakat. Tapi kita tidak bisa sendiri. Ini akan membutuhkan partisipasi dan kerja kolaboratif tanpa terkecuali. Semua harus bergerak. So easy to say, but hard to do,” kata Bupati Jembrana Nengah Tamba saat menjadi narasumber dalam Jah Magesah Vol. 06: Jembrana Pasca Pesta, bersama Wakil Ketua DPRD Jembrana, I Wayan Suardika, Ketua Umum Indonesia Creative Cities Network (ICCN), Fiki C. Satari, dan Budayawan Dharma Santika Putra.
Pembawaannya santai, sandal jepit bertali hijau di kakinya. Pandangan pertama sebelum yang lain-lain, impresi yang (barangkali sengaja) dibangun Tamba dalam gelar wicara yang diinisiasi Jembrana Creative Cities Oriented (JCCO), Minggu (18/4/2021). Dalam perbincangan berikutnya, terasa benar ia memiliki perhatian besar terhadap potensi yang selama ini dipandang sebagai identitas Jembrana. Isyarat agar kembali pada tanah dimana kita bermula, pada kearifan lokal yang mengasuh kita. Berpedoman pada Tri Hita Karana, juga desa, kala, patra (waktu, tempat, keadaan). Kebudayaan yang kita jalani saat ini, menjadi hasil perjalanan waktu dari proses adaptasi pendahulu terhadap lingkungan tempat berdiam.
Bergerak, bekerja, dan kesadaran kembali pada kearifan menjadi kata kunci. Dari waktu ke waktu, Jembrana dipandang memiliki budaya agraris yang kuat. Makepung, juga jegog sebagai produk kesenian, misalnya. Jegog yang berkembang di kalangan masyarakat pedesaan agraris memiliki keunikan tersendiri dibandingkan alat musik tradisi lainnya. Warisan budaya tak benda ini memiliki nada antara; tidak pelog bukan pula slendro. Sementara jika dipandang secara kultural, ia (dianggap) mewakili spirit Jembrana yang adaptif dan egaliter. Bisa dipastikan, ini mengacu pada sejarah orang Jembrana sebagai yang terbuang.
“Kita memiliki jegog, tetapi kita tidak punya pohon bambu. Selama ini, kita membeli bambu dari Tabanan untuk bahan dasar jegog. Sebab itu kini kita gencarkan penanaman pohon bambu untuk bahan jegog, sekaligus melestarikan lingkungan. Selain itu, kita fasilitasi sekaha jegog dengan membentuk yayasan. Saya harap, tak ada lagi sekaha yang dibayar murah. Tak ada lagi yang naik truk dan kehujanan ketika pentas,” terang Tamba dalam diskusi yang dipantik penggiat seni budaya, Ibed Surgana Yuga.
Pembangunan dan pengelolaan infrastruktur juga menjadi perhatian Tamba. Sirkuit di Pengambengan, sentra tenun di barat terminal cargo, revitalisasi pasar Ijogading sebagai sentra UMKM dan wisata spiritual Loloan, pembenahan Tibu Kleneng yang memiliki 7 (tujuh) sumber mata air, membangun krematorium di bawah Perumda, hingga pengadaan gedung bioskop di TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Semua itu, katanya, adalah investasi. Krematorium diusahakan untuk memutus rantai hutang keluarga tak mampu akibat biaya ngaben yang tinggi. Sementara gedung bioskop menjadi upaya menumbuhkan kesadaran dengan mendekatkan diri pada persoalan sampah yang membelit.
“Lucu, gak? Kita akan menonton film di TPA yang dikelola secara modern. Setelah menonton, kita diajak untuk memilah sampah dan mendapat oleh-oleh berupa produk hasil pengolahan sampah,” ucapnya.
Ia juga melihat Gilimanuk sebagai potensi luar biasa yang perlu dikelola dengan baik karena menjadi sentra pelabuhan di Bali. Ia bayangkan, nantinya ketika memasuki Bali lewat jalur darat akan terasa seperti di Singapura dengan fasilitasnya yang lengkap. Tapi itu saja tidak cukup. Jika penataan Gilimanuk sudah bagus, apa kemudian manfaat yang diterima Jembrana?
“Kalau tidak ada manfaatnya untuk Jembrana, untuk apa? Karena itu kita sedang memantapkan master plan untuk pengembangan Gilimanuk. Seluruh penumpang, wajib masuk terminal yang dilengkapi fasilitas-fasilitas memadai. Hospitality-nya juga dijaga. Nantinya gak ada lagi Pol PP berwajah garang. Kita telah bentuk tim kerja untuk percepatan pembangunan,” terangnya dalam kegiatan hybrid (offline dan online) yang juga dihadiri Wakil Bupati Patriana Krisna, jajaran SKPD, pengusaha, media dan komunitas kreatif Jembrana.
Berpijak dari yang Ada
Jika Bali Pulau surga, maka Jembrana harus bisa menjadi surga yang tersembunyi. Penguatan identitas mesti dilakukan untuk meneguhkan karakteristiknya, dan harus diyakini memiliki daya tawar kultural. Sejak awal, menurut Budayawan Dharma Santika Putra, Jembrana telah menjadi antitesa Bali Selatan. Ini bisa dilihat dari kelahiran jegog ataupun tari leko. “Leko itu, pepayasan-nya (riasannya) persis Legong Keraton, tetapi menggunakan hasil bumi. Dalam banyak hal, Jembrana harus berani tidak seperti Bali, menjadi Bali yang lain,” terangnya.
Jembrana adalah bangunan peradaban yang unik, semisal Bahasa Melayu Loloan yang mengakomodir Bahasa Bali. Unikum ini penting untuk dipertahankan di dalam membangun rumah besar bernama Jembrana. Karena bagi Jembrana, sejarah bukan milik pemenang. Sejarah adalah milik petarung yang berjuang terus mempertahankan eksistensi diri sebagai “yang terbuang”. Sebab itulah keberanian untuk pulang itu menjadi penting. “Kita harus berdiri di kaki tradisi, tapi dengan pemikiran modern. Jangan coba-coba melakukan lompatan kreatif tanpa kuda-kuda tradisi,” tegasnya.
Fiki C. Satari, Ketua Umum ICCN yang memiliki jejaring di hampir 210 kabupaten/kota di Indonesia, satu pandangan mengenai kembali pulang. Sebab, pengembangan sebuah kota/kabupaten harus berakar pada potensi dan karakteristiknya masing-masing sehingga bisa menjadi pembeda positif dari kabupaten/kota lainnya. Ambon menjadi kota musik, Bandung kota design, kemudian Pekalongan dikenal dengan kriya dan kesenian rakyat. Untuk Jembrana, banyak potensi yang bisa menjadi dasar pijak pengembangan kabupaten kreatif.
“Pembangunan harus menghadirkan spirit Jembrana yang dikelola secara kreatif. Kreativitas menciptakan pembangunan yang tidak berhenti sebatas infrastruktur saja, tetapi menghadirkan inovasi sosial melalui akselerasi hexa helic untuk mencapai kemaslahatan bersama. Dari 17 subsektor ekonomi kreatif, tinggal kita rumuskan dan tetapkan navigasinya, dari arah mana Jembrana bergerak agar mencerminkan nilai, karakteristik dan identitas lokal,” tuturnya secara virtual melalui zoom meeting.
Terkait berbagai hal yang mengemuka, Wakil Ketua DPRD Jembrana, Wayan Suardika, siap mengawal berbagai kebijakan dan program yang akan dijalankan. Ia pun sepakat, kreativitas bisa menjadi solusi di berbagai kondisi sehingga memerlukan satu lembaga seperti Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) yang fokus pada pengembangan ekonomi kreatif di Jembrana. Dilengkapi dengan berbagai fasilitas, hal ini akan menjadi stimulasi pengembangan kabupaten kreatif, sekaligus mitra pembangunan pemerintah bersama kelembagaan lainnya yang telah ada. “Yang dibutuhkan hanyalah sinergi yang kuat antar komunitas kreatif yang difasilitasi pemerintah. Ini bisa dimulai dari desa dengan berfokus pada pemberdayaan masyarakat desa dan potensi yang dimiliki,” ujarnya.
Video Call Masmen
Kegiatan jeda sejenak ketika Tamba menerima video call dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno. Dalam percakapan singkat tersebut, Masmen menitipkan salam bagi masyarakat Jembrana dan memberi dukungan total terhadap program-program yang akan dijalankan di Jembrana. “Tetap semangat dan optimis menatap masa depan. Saya menunggu dijadwalkan oleh Pak Bupati untuk ke Jembrana, Saya ikut saja perintah Pak Bupati,” ucapnya.
Segala program yang bermuara pada kebaikan bersama mutlak mendapat mendapat dukungan dari seluruh kalangan. Oka Wijaya dari Gerakan Budaya Kreatif pun sepakat akan kerja kolaborasi dan memulai segalanya dari desa. Namun faktanya, saat ini masih ada aparatur desa yang tidak mendukung kegiatan positif yang dilakukan komunitas. Ini mesti menjadi perhatian serius agar sinergi dapat berjalan baik. Sementara Nanoq da Kansas, pengampu Komunitas Kertas Budaya dan Rompyok Kopi berharap penuh adanya dukungan penuh terhadap kreativitas anak muda meski dengan cara sederhana.
“Cara paling sederhana memberikan kebahagiaan anak muda adalah, berikan mereka tempat, tonton karya-karyanya. Anak-anak muda kita memiliki potensi, skill dan karya yang berkualitas. Saat ini, mereka memanfaatkan youtube. Karya-karya mereka luar biasa tapi tidak pernah mendapatkan subscriber yang bagus. Tolong support dengan subscribe dan mengabarkannya kepada yang lain. Bisa melalui group WA atau lainnya. Sederhana sekali, dan itu akan membahagiakan mereka. Saya juga ingin memberi saran agar Pemda memberikan souvenir bagi tamu daerah berupa buku tentang Jembrana sehingga bisa menjadi nilai yang berbeda. Saya punya materinya, ditulis dengan indah oleh penulis pengembara dari Padang. Tinggal diterbitkan saja. Buku ini murni tentang Jembrana dari sudut pandang orang luar. Jadi jujur banget,” katanya.
Pada akhirnya, sinergi dan kolaborasi mesti hadir dalam berbagai kebijakan dan program yang dijalankan. Sekali lagi, butuh keikhlasan dan komitmen bersama di dalam membangun rumah besar bernama Jembrana. Seperti kata Pak Bupati, so easy to say, but hard to do. Maka, semuanya harus bergerak, meski dengan cara paling sederhana sekalipun.
Semuanya harus kembali pada tanah. Semuanya harus kembali pada kearifan yang mengasuh kita. [T]