— Catatan Harian Sugi Lanus, 21 Maret 2021
1. Sanggah-Mrajan atau tempat pemujaan keluarga kami ada Pelinggih Surya — demikian juga umumnya pemujaan keluarga Bali lainnya. Karena keberadaan pelinggih tersebut, dari kecil saya pikir keluarga saya pemuja Dewa Surya. Ternyata, saya belakangan baru sadar, yang dipuja di sana adalah Bhatara Śiwa, tepatnya Śiwaraditya.
2. Surya dan Śiwa di Bali kelihatannya bisa saling menggantikan, ini yang kadang membuat anak-anak kecil tidak paham. Saya dulu juga mikir kenapa orang dari luar griya menyebut warga griya sebagai “Surya”. Ada juga menyebut sebagai “Siwa”.
“Masurya” sama artinya dengan “masiwa”.
Ungkapan dari seseorang terhadap pendeta atau sulinggih keluarganya: “suryan titiang” (sulinggih/pendeta kami yang saya muliakan), atau juga kadang diganti dengan ungkapan: “siwan titiang”. Kedua artinya sama.
3. Kembali ke Pelinggih Surya, belakangan baru saya paham, kalau itu adalah Palinggih Śiwaraditya.
Setelah saya membaca berbagai sumber sistem pemujaan di lontar-lontar, dan juga lebih jauh bertanya ke Ibu saya, saya baru sepenuhnya paham keluarga saya adalah pemuja Bhatara Śiwaraditya. Demikian juga banyak keluarga Hindu di Bali, sebagian besar pemujaan keluargannya ada Pelinggih Surya.
4. Puja pagi dalam tradisi sulinggih di Bali disebut Suryasewana.Yang di-sewana adalah Bhatara Śiwa.
Bhatara Śiwa yang dimaksud bukan Dewa Śiwa, tapi yang di level Nirguna Brahma. Bhatara Śiwa adalah Tuhan Yang Tiada Terbayangkan, atau dalam ungkapan di Bali disebut sebagai Sang Hyang Acintya.
Saya pun di masa kecil tidak paham bedanya antara Bhatara Śiwa yang dipuja dalam Suryasewana dengan Dewa Śiwa yang berperang dalam banyak kisah Purana.
Belakangan baru paham jika Bhatara Śiwa adalah Brahman, Sang Hyang Embang, Sang Hyang Licin, Sang Hyang Paramaśiwa — Tuhan Yang Tiada Terbayangkan. Sementara Dewa Śiwa adalah sinar suci-Nya. Ini sebabnya dalam lontar-lontar berpaham Saiwa disebutkan bahwa Bhatara Śiwa turun kedunia sebagai Tri Murti: Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Śiwa — ini dipuja di Sanggar Kamulan. Bhatara Śiwa dalam sinar sucinya yang memberkati seluruh alam turun sebagai Sang Hyang Śiwaraditya.
Tingkatan dari Śiwa yang dipuja di Bali, atau yang ditemukan dalam tradisi Jawa Kuno, terbagi menjadi 3 level: Śiwa, Sadaśiwa, dan Paramaśiwa. Pemujaan ini tercermin dalam berbagai puja-stawa-stuti kepanditaan Saiwa di Bali. Di kalangan masyarakat umum, terutama saya di masa kecil, ini tidak dijelaskan, hanya setelah memasuki bacaan kepanditaan seseorang baru mendapatkan kejelasan puja-stawa di Bali ditujukan kepada Śiwa yang mana yang dituju.
Di masa kecil saya penuh tanya memikirkan kenapa Dewa Śiwa yang dalam film India itu, dimana terlibat peperangan dan masuk dalam banyak kisah yang tidak dikisahkan di Bali. Apakah Beliau yang dipuja di pagi Suryasewana? Ternyata Dewa Śiwa dalam film-film itu adalah kisah purana, yang memang bersifat puranic, artinya dalam kisah-kisah smrti, yang beda level dengan Bhatara Śiwa yang dipuja dalam tradisi suci Suryasewana.
5. Melalui Pelinggih Surya pemeluk Hindu di Bali “nunas tirta” disebut “Tirta Surya” — kenapa demikian? Pemujaan Suryasewana menjelaskan bahwa Hyang Paraśiwa yang tidak tersentuh dan Acintya yang tiada terbayangkan hanya bisa “diturunkan anugraha-Nya” dengan melalui “perantaraan pemujaan “yang terbayangkan dalam mata batin” melalui pemujaan Śiva-Āditya, yang lebih dikenal di Bali sebagai Sang Hyang Śiwaraditya.
Tidak salah jika selalu dituturkan dalam keluarga kami jika tidak bisa mendapat tirta dari pendeta keluarga ketika ‘nyuryasewana’, bisa sendiri atau lewat pemangku nunas tirta di Pelinggih Surya, yang mana disebutkan “nilainya sama”.
Dalam tradisi keluarga kami, dalam penyiratan tirta, atau sebagai penutup tirta adalah Tirta Surya, yang sama dengan artinya Tirta Śiwa. Inillah tirta tertinggi.
Tirta Śiwa dan Tirta Śurya bisa saling menggantikan. Tergantung mana yang tersedia atau terjangkau. Sehari-hari kami di rumah selalu ada Tirta Śiwa. Ini yang dipercikkan ketika persembahyangan harian kami.
Demikianlah, dalam keluarga kami, dalam pewarisan tradisi puja yang saya terima secara turun temurun dari orang tua kami, dijelaskan bahwa Surya/Śiwa adalah sama. Memuja Sanghyang Śiwa-Àditya dilakukan di hadapan Pelinggih Surya.
6. “OṂ Āditya-hṛdayaṃ namaḥ, sarva-śatru-vināśanam toya-vaha jagat-pūrṇaṃ, pavitraṃ paramaṃ Śivam. Śiva-pūjā[ṃ] karṣyeta, pavitraṃ pāpa-nāśanam dīrghâyuṣyam eva śāntiṃ, bhukti-lābham avâpnuyāt”.
Demikianlah penegasan bagaimana memuja Āditya=Surya adalah memuja Śiwa. Dalam stawa Āditya-hṛdayaṃ itu terlihat jelas jika diterjemahkan:
“Jantung hati yang adalah Sūrya, sembah; peleburan segala musuh; aliran [-nya air-suci] yang mengisi dunia, Penyuci, Sang Hyang Śiwa Yang Agung. Jika orang melaksanakan kebaktian pada Śiwa, Penyuci yang menghancurkan semua kepapaan; orang akan memperoleh umur-panjang, ketenangan dan suka-cita lahir-batin.”
7. Dengan memahami Pelinggih Surya sebagai tempat pemujaan Hyang Śiwa-Āditya, dan memahami pedoman puja Suryasewana, HRĀṂ HRĪṂ SAḤ, seseorang akan mendapat kejelasan hanya lewat sinar suci Hyang Śiwa-Āditya kemahasempurnaan Hyang Paramaśiwa (Brahman) bisa terbayangkan — “Śiwa Sakala-Niskala”. Menjadi terjelaskan kenapa Pelinggih Surya ada simbol Sang Hyang Acintya. Di sanalah cahaya suci Brahman atau Sang Hyang Acintya (atau Paramaśiwa) di puja dalam cahaya Hyang Śiwa-Āditya.[T]
___