Suatu hari, dalam sebuah upacara besar di kampung saya di Marga, Tabanan, saya kaget dipanggil, rasanya dipanggil dengan sangat istimewa, oleh Ida Ratu Pandita Mpu Daksa Samyoga.
“De, sini dulu, De!” kata beliau, sambil menunjuk-nunjuk saya. Beliau baru saja turun dari bale pawedan saat itu.
Meski terhitung masih keluarga, saya termasuk tak terlalu akrab dengan beliau, sehingga saya gelagapan juga dipanggil seakan-akan ada sesuatu yang serius hendak beliau bicarakan. Apalagi, hampir semua orang tiba-tiba meminta saya agar cepat-cepat menemui beliau karena melihat saya melongo di tempat dan tak kunjung mendekat.
Saya memang tak bisa bergaul dengan sulinggih, meski sulinggih itu terhitung masih keluarga. Selain tak pasih berbahasa Bali alus, saya takut tak bakal nyambung jika diajak ngobrol, misalnya ngobrol hal-hal berkaitan dengan ritual dan agama.
Perlahan saya pun mendekat dengan agak gelisah. Dan begitu berada di dekat beliau, ajaib, perasaan saya menjadi sangat sejuk. Apalagi setelah obrolan mengalir. Di luar dugaan, beliau tahu saya suka menulis sastra, bergerak di dunia seni dan menjadi wartawan — yang artinya beliau memperhatikan saya selama ini. Obrolan pun mengalir tentang sastra dan dunia kesenian.
Beliau lebih banyak bertanya, saya lebih banyak menjawab, kadang dengan Bahasa Indonesia kadang Bahasa Bali biasa, dan sesekali Bahasa Bali sangat alus yang lidah saya sendiri sangat susah mengujarkannya.
Sangat kentara, beliau punya kehendak untuk memberi wejangan, namun bahasa yang saya tangkap adalah motivasi, selayaknya orang tua yang menyayangi anak-anaknya, selayaknya orang tua yang ingin anaknya lebih maju dari orangtuanya.
Dari obrolan yang cukup panjang itu, satu hal yang saya ingat adalah tentang sastra, sejarah dan lingkungan. Saya tak ingat persis bagaimana kata-kata beliau saat itu, tapi intinya sastra sebaiknya dekat dengan sejarah dan lingkungan sekitar.
Contoh yang beliau ungkapkan saat itu adalah Geguritan Margarana. Menurut beliau, orang yang dekat dengan sejarah perang itu, baik dekat secara emosional maupun jarak, tentu akan lebih baik dalam menceritakan sekaligus mengungkapkan perasaannya lewat karya sastra.
Saya mengingat kata-kata itu. Meski bukan kata-kata yang orisinal, namun tuahnya terasa hingga kini. Mungkin karena diucapkan oleh seorang sulinggih, bukan oleh seorang sastrawan murni. Beliau sendiri juga menulis sejumlah karya sastra berupa geguritan.
Dan, kata-kata beliau itu saya ingat kembali dengan perasaan sedih, ketika beliau lebar (berpulang), Kamis, 18 Maret 2021, sekitar pukul 09.00 pagi. Sedih, karena saya sebenarnya punya rencana untuk menerbitkan karya-karya beliau, tapi belum sempat membicarakannya kepada beliau.
Dalam sebuah kesempatan, mungkin sekitar dua tahun lalu, saya sempat menanyakan karya-karya beliau, tapi dijawab akan dicari-cari dulu. Karena karya-karya beliau banyak disimpan oleh adik beliau yang lebih dulu berpulang. Dan setelah itu, saya tak punya kesempatan lagi untuk mengobrol, sampai berita sedih itu saya baca di grup WA keluarga.
***
Tidak banyak yang tahu, Ida Ratu Pandita Mpu Daksa Samyoga. dari Griya Agung Kelaci, Marga, Tabanan, di masa mudanya adalah sosok yang bebas dan kreatif. Pada masa-masa awal kemerdekaan, beliau yang lahir 11 Desember 1937 itu, dikenal sebagai penari tonil dan janger. Ia sempat mendirikan sekaa arja di Banjar Ole, yang dikenal luas di desa-desa di Tabanan.
Bahkan ketika sudah menjadi sulinggih pun beliau tetap memiliki perhatian yang besar pada dunia kesenian dan sastra. Dalam sebuah wawancara dengan Nyoman Budarsana (adik saya), sebagai bagian dari tugasnya sebagai seorang wartawan, Ida Pandita sempat mengkritisi ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) yang beliau sebut hanya mengutamakan kemeriahan saja, dan melupakan jiwa dari kesenian itu sendiri..
“Kekurangan generasi kita sekarang dalam penjiwaan dan pendalaman terhadap seni yang mereka sajikan. Generasi sekarang cenderung mengutamakan kemeriahan, rame-rame dan terkesan ngeranyig (tak sungguh-sungguh),” kata beliau saat itu.
Pandita yang bernama lahir I Nyoman Santha ini mengenang penyajian kesenian pada awal PKB yang menurutnya amat sederhana. Para seniman memperkenalkan ketokohan dirinya serta bergerak sederhana di atas panggung, namun spirit dari pesan itu sampai kepada penonton.
Satu bentuk kesenian, menurut beliau, tidak hanya mengedepankan keindahan saja, yang terpenting adalah pendalaman dari isi dan makna yang terkandung dalam seni itu. Semua materi khususnya seni tradisi yang ditampilkan dalam ajang PKB mesti mencerminkan nilai-nilai ke-Bali-annya.
Untuk itulah beliau selalu berharap seniman hendaknya jangan pelit ilmu. Keahlian yang dimiliki mesti diturunkan kepada generasi, walau bukan merupakan generasi keturunananya. Hal itu untuk menjaga kesenian Bali agar terus hidup dan berkembang, bukan lantas dibawa mati kalau penarinya meninggal.
“Bali itu memiliki beraneka jenis kesenian yang adi luhung, sayang kalau salah satu di antaranya punah karena enggan mengajari pada orang lain,” kata beliau.
Beliau menekankan, para seniman sebagai pendukung kesenian itu mesti tetap menanamkan jiwa ngayah, tulus dan ikhlas mengabdikan seni pada leluhur. Kepercayaan orang Bali, segala sesuatunya disertai dengan upacara termasuk dalam penyajian seni ini. Belakangan ini orang sering campah (menyepelekan) yang kurang memperhatikan nilai-nilai sacral dari kesenian itu.
“Ingat, pregina (seniman) itu memiliki sesuhunan yaitu Sanghyang Taksu yang memberikan kekuatan, sehingga gerak dan bunyi bisa memiliki jiwa dan hidup,” ujar beliau.
Ida Pandita bukan sekadar berkomentar karena kesenian bagi beliau adalah juga laku. Beliau sendiri adalah juga pelaku dalam dunia kesenian. Selain menari sejak kecil, pada saat Gubenur Bali Ida Bagus Mantra menggagas PKB tahun 1978, beliau sempat tampil sebagai penari dramatari arja.
Saat itu, beliau mendukung Sekaa Dramatari Arja Marga yang memerankan tokoh Penasar. Saat itu, ia tidak pernah membedakan pentas dalam PKB dengan pentas ngayah. Ia merasa betul-betul tulus dan iklas menari, tak memikirkan dana, bahkan tetap bersemangat memajukan kesenian yang digeluti sejak kecil.
“Jiwa ngayah dan tulus itu mesti tetap ada, walau itu pentas dalam ajang PKB. Sebab itu yang akan memunculkan spirit,” tegasnya.
***
Selasa, 9 Maret 2021, saya sempat bertemu dengan Ida Bhawati Pitana (Prof. Pitana) di Mekarsari, Baturiti, Tabanan, untuk urusan penerbitan buku. Kami ngobrol tentang Ida Ratu Pandita Mpu Daksa Samyoga, yang menurut Ida Bhawati Pitana adalah sulinggih yang arif dan bijaksana.
Ida Bhawati Pitana bercerita, pada suatu malam di suatu tempat Ida Pandita diganggu “orang-orang sakti” di sekitar beliau menginap. Tapi Ida Pandita tidak melawan. “Tak apa-apa, yang begitu-begitu tak perlu dilawan,” kata Ida Pandita sebagaimana dikutip Ida Bhawati Pitana. Padahal, Ida Bhawati yakin sekali kalau Ida Ratu Pandita Mpu Daksa Samyoga adalah sulinggih yang sakti, bukan hanya dalam ilmu pengetahuan sekala, melainkan juga dalam ilmu-ilmu “yang tak kelihatan”.
Saya tentu saja tak banyak paham tentang ilmu-ilmu yang “tak kelihatan”, tapi saya percaya bahwa Ida Ratu Pandita Mpu Daksa Samyoga memang sakti luar-dalam, dan sangat arif menerapkan kesaktiannya di dunia nyata. Jadi, tentang arif dan bijaksana, saya tak akan membantahnya.
Di keluarga saya, hampir semua upacara besar dipuput oleh Ida Ratu Pandita Mpu Daksa Samyoga. Mulai saya dan adik saya menikah, dan otonan anak-anak kami. Dan, sungguh, dipuput oleh beliau, upacara jadi terasa ringan, baik dari segi materi maupun dari segi mental dan spiritual. Bahkan, lebih sering, beliau turut menyumbang secara materi, ketimbang saya yang “membayar” beliau. Untuk itu, saya benar-benar berutang pada beliau.
Terakhir, Agustus 2018, beliau muput upacara ngaben ibu saya, Ni Nyoman Mandri. Saat itu, saya tak sempat banyak ngobrol, tapi saya merasa Ida Pandita saat itu benar-benar menjadi bagian dari keluarga saya, bukan sebagai sulinggih yang sedang menyelesaikan upacara ibu saya. Tentu saja, karena Ida Pandita adalah teman masa kecil dari ibu saya. Dan bukan hanya itu, di dunia kesenian, Ida Pandita punya hubungan yang sangat dekat dengan keluarga saya.
Ketika membangun grup arja di Banjar Ole sekitar tahun 1960-an, Ida Pandita berperan tetap sebagai penasar. Ibu saya menjadi mantra manis, dan ayah saya menjadi kartala. Penasar dan kartala adalah satu pasang punakawan dalam kesenian arja. Jadi, bisa dibayangkan betapa akrab Ida Pandita dengan ayah dan ibu saya di masa remaja mereka.
Ketika malinggih menjadi Ida Pandita, beliau tetap punya peran yang besar untuk menyebarkan keakraban antarkeluarga kecil di Banjar Ole dan Banjar Kelaci, selain menyebarkan rasa kekeluargaan dalam wilayah yang lebih besar, misalnya dalam Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi. Pada setiap upacara agama, beliau selalu meposisikan diri sebagai orang tua biasa, terutama ketika ngobrol tentang banyak hal dengan umat.
Dengan sikap semacam itu, bukan hanya keluarga kami dan keluarga pasek yang sedih dan merasa sangat kehilangan dengan kepergian beliau nujur sunialoka, melainkan rasa kehilangan juga dirasakan semua pecinta kearifan dan kebijaksanaan pengetahuan, baik yang mengenal beliau maupun yang tak mengenal beliau secara lebih dekat.
Selamat jalan, Palungguh Ida Ratu Pandita Mpu Daksa Samyoga, orang tua kami, orang tua semua umat….
***
Dudonan Upacara Ida Ratu Pandita Mpu Daksa Samyoga di Griya Agung Kelaci, Marga Dauh Puri, Tabanan, Bali:
- 28 Maret 2021: upacara ngelelet
- 6 April 2021: palebon
- 8 April 2021: nyekah
- 9 April 2021: majar-ajar
- 11 April 2021 ngalinggihang