Setahun telah berlalu, Pandemi Covid-19 ini masih menghantui dan menyelimuti setiap aktivitas masyarakat di muka bumi. Khususnya aktivitas masyarakat Hindu di Pulau Bali. Iya, pulau yang begitu indah dengan julukan Pulau Dewata, pulau dengan seribu pura. Dihiasi adat tradisi yang masih kental dari daerah pegunungan hingga ke tepian pantai. Salah satu perayaan yang paling terkenal adalah Perayaan Hari Raya Nyepi.
Nyepi merupakan hari pergantian tahun menurut penanggalan Kalender Saka Bali yang jatuh tepat sehari setelah tilem kesanga. Tentunya upacara ini dilaksanakan setahun sekali. Sesuai dengan asal katanya, Nyepi mengandung makna sepi, hening atau sunyi. Khususnya di Bali, saat Nyepi tidak diperkenankan melakukan aktivitas kehidupan seperti pada hari-hari biasanya, Umat Hindu wajib mengikuti Brata Penyepian, serta masyarakat/umat lain yang tidak melaksanakan Penyepian, wajib menghormati Brata Penyepian tersebut. Tujuannya tiada lain agar tercipta suasana yang sunyi, sepi dan hening sebagai bentuk penyucian terhadap Bhuana Agung (Alam Semesta) dan Bhuana Alit (Alam Manusia).
Hal yang berkesan terlihat pada penyambutan Tahun Baru Saka adalah pada saat kita semua berkumpul, bersenda gurau dengan teman, sanak saudara serta krama untuk mengikuti rangkaian Hari Raya Nyepi. Khususnya bagi kalangan anak muda, momentum menyambut Nyepi merupakan ajang yang baik dalam menguatkan tali persaudaraan serta kerjasama melalui organisasi Sekaa Truna Truni (STT) dalam membuat ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh ini merupakan karya tiga dimensi sebagai gambaran dari tokoh Para Raksasa dan Bhuta Kala yang dibuat dengan mempergunakan anyaman dari bambu ataupun sterofoam. Ketika proses membuat ogoh-ogoh inilah budaya gotong royong serta kreativitas dan inovasi dari anak muda di banjar akan kelihatan. Mulai dari kerjasama ketika mencari bambu ke lahan perkebunan, membawa bahan, mempersiapkan hingga menganyam bilah bambu hingga terbentuk ogoh-ogoh di Bale Banjar ataupun Wantilan sebagai tempat para anak muda maupun seniman dalam berkarya untuk menyambut Hari Raya Nyepi.
Seperti yang diketahui dan telah lumrah dibicarakan di berbagai media, Nyepi memiliki berbagai rangkaian. Pertama, Melasti/Mekiis yakni ngiring atau mundut benda-benda sakral (Pratima) serta Petapan Ida Bhatara untuk disucikan di sumber mata air (Pantai, Danau ataupun Sungai). Biasanya di desa yang terletak di pegunungan yang jauh dengan pantai serta danau, akan melasti ke sumber mata air di sungai yang disebut dengan beji atau pasiraman. Rangkaian kedua sebelum Nyepi adalah Tawur Kesanga yang dilaksanakan di Catus Patha ataupun Perempatan jalan yang terdapat di Desa Adat, serta di pamerajan dan pekarangan rumah umat masing-masing. Upacara ini digelar tepat pada hari Tilem Sasih Kesanga. Dalam Upacara Tawur Kesanga ini dimeriahkan dengan pengarakan ogoh-ogoh yang dilaksanakan pada malam pengerupukan.
Ogoh-ogoh melambangkan sifat buruk atau kekuatan negatif. Ogoh-ogoh ini diarak dari perempatan jalan atau Catus Patha dan mengelilingi wilayah banjar pada waktu sandikala, yakni memasuki waktu malam. Biasanya dimeriahkan dengan gambelan baleganjur serta kulkul yang dibawa dan ditabuh oleh para krama adat. Alunan gamelan serta suara-suara bising pada malam pengerupukan diyakini dapat mengusir pengaruh buruk dari para Bhuta, melalui nyomya (menetralisir) sifat-sifat negatif dari para Bhuta agar tercipta keserasaian dan keselarasan di alam semesta ini. Setelah selesai prosesi pengerupukan ini, dilanjutkan dengan prosesi pralina dengan membakar ogoh-ogoh yang telah selesai diarak sebagai bentuk mengalahkan kekuatan buruk serta sebagai bentuk Nundung Kala, yakni agar para Bhuta Kala kembali ke alamnya dan tidak mengganggu pelaksanaan Nyepi esok hari. Ogoh-ogoh yang ingin disimpan, biasanya diperciki tirtha pralina agar ogoh-ogoh tersebut tidak dirasuki atau didiami oleh para Bhuta Kala.
Sehari setelah malam Pengerupukan inilah yang dinamakan Hari Raya Nyepi, yang jatuh pada penanggal apisan (hari/tanggal pertama) sasih kedasa. Terdapat Catur Brata Penyepian di dalamnya, yakni: Amati Gni yang artinya tidak berapi-api atau tidak boleh menyalakan api (tungku, kompor untuk memasak sesuatu), Amati Karya yakni tidak melaksanakan pekerjaan, Amati Lelungan yakni Tidak Bepergian, serta Amati Lelanguan yang artinya tidak mendengarkan suatu hiburan untuk kesenangan atau kepuasan nafsu. Pada hari ini, seluruh aktivitas dihentikan sebagai bentuk menyambut masa baru, penyucian alam semesta beserta alam manusia. Dan tidak lupa bagi umat yang mampu ada baiknya melakukan tapa, brata, yoga dan samadhi. Semua ini dilaksanakan agar memiliki suatu kesiapan jiwa dan raga, sekala maupun niskala dalam menyambut tahun saka yang baru. Nyepi dilaksanakan secara penuh dimulai saat pagi hari ketika matahari baru terbit hingga pagi hari besoknya.
Keesokan harinya adalah acara Ngembak Geni. Umat Hindu melaksanakan persembahyangan untuk memulai pekerjaan dan aktivitas di tahun yang baru serta memohon anugrah agar segala cita dan harapan bisa tercapai. Kemudian dilanjutkan dengan mengunjungi, kerabat, sanak saudara, keluarga besar ataupun tetangga untuk memperkuat tali silaturami atau disebut dengan istilah Dharma Shanti. Setiap aktivitas kehidupan akan berjalan normal seperti biasa, memasak, bepergian ataupun memakai akses internet untuk bersosial media.
Seperti itulah gambaran umum dari rangkaian Hari Raya Nyepi. Namun, apakah tahun ini kegiatan Nyepi akan semenarik dan semeriah seperti tahun-tahun yang telah berlalu sebelumnya? Saya rasa kata meriah itu masih sangatlah jauh. Tahun ini adalah kali kedua, pelaksanaan Hari Nyepi diselimuti Pandemi Covid-19. Memang akan serasa berbeda dari perayaan dua atau tiga tahun yang lalu. Pandemi memang membawa dampak yang begitu besar bagi setiap bidang kehidupan manusia, salah satunya yakni kehidupan beragama. Masyarakat Bali yang memang dikenal memiliki sikap sosial yang tinggi dengan sistem adat serta budaya yang kental, menjadi terganggu. Sistem budaya suka duka menyama braya tidak dapat berjalan dengan baik akibat dari Pandemi Virus selama setahun ini. Pandemi menciptakan celah, karena kita harus menjaga jarak dengan sesama, membuat rasa ramah menjadi samar akibat senyum manis di bibir tertutup oleh masker. Tentunya yang terpenting adalah tidak bisa berkumpul beramai-ramai akibat dari pembatasan peserta dalam suatu kegiatan. Semua itu demi keselamatan dan kebaikan kita bersama.
Bulan Maret tahun lalu, rasa keluh kesah masyarakat terhadap situasi Pandemi Covid-19 lebih sedikit terdengar. Hal itu mungkin saja dikarenakan pada Maret 2020 adalah awal mula wabah virus ini sampai di negara kita. Akan tetapi, kita telah alami bersama bagaimana Pandemi ini menghancurkan perekonomian kita. Satu tahun adalah waktu yang sudah cukup lama bagi bagi wabah merusak tatanan kehidupan kita. Masyarakat tidak dapat bekerja dengan baik. Lalu darimana mendapatkan penghasilan? Tentunya tidaklah mungkin kita semua harus menunggu suatu bantuan karena kita semua telah Krisis.
Krisis dalam artian keuangan/penghasilan umat yang berkurang, yang mengakibatkan adanya krisis moral yang dialami beberapa orang. Mengapa saya katakan demikian? Kita lihat fenomena di masyarakat, akibat dari adanya Pandemi dan tidak adanya pekerjaan yang bisa dilakoni untuk mendapatkan penghasilan, banyak terjadi kriminalitas di berbagai tempat. Kita bicarakan di Bali saja contohnya, demi untuk memenuhi kehidupan banyak terjadi aksi pencurian. Ataupun salah satu oknum mengambil jalan pintas dengan mencuri hewan ternak warga sebagai sarana banten upakara yadnya. Hal yang sedemikian tentu saja sangatlah tidak sesuai dengan konsep beryadnya kita. Bagaimana cara kita melakukan korban suci yang tulus ikhlas jika moral kita seperti ini? Apakah dengan jalan mencuri? Tentu saja tidak. Pencurian tidaklah dibenarkan dalam agama manapun. Niat ingin beryadnya, justru harus berurusan dengan hukum akibat perbuatan yang menyimpang.
Jangankan untuk memeriahkan malam Pengerupukan. Dalam situasi Pandemi ini, untuk makan saja umat sudah banyak yang mengeluh. Terutama dari kalangan ekonomi menengah kebawah seperti buruh serabutan ataupun petani. Ketika bisa membuat jajan dan banten sederhana untuk menyambut Nyepi tahun ini saja sudah sangatlah bersyukur. Memang, Yadnya adalah persembahan yang didasarkan pada rasa tulus ikhlas dan sujud bhakti kita kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ingat, Jangan pernah memaksakan diri dalam beryadnya. Yadnya tidaklah harus mewah, tapi didasarkan pada rasa tulus ikhlas. Lalu, untuk apa sesajen mewah namun didasari dengan pikiran dan hati yang pamrih?.
Selanjutnya, walaupun pelaksanaan upacara dan upakara umat Hindu Bali selama satu tahun ini selalu diselimuti oleh Pandemi Covid-19, harapannya tidak memudarkan ataupun menghilangkan rasa syukur dan sujud bhakti kita pada Sang Maha Pencipta. Marilah kita tetap memaknai pergantian tahun saka ini dengan penuh rasa bhakti dan juga harapan. Harapan bagi kita semua, tiada lain agar Pandemi ini cepat lenyap dari Pulau yang kita cintai, negara serta planet tempat kita bernaung. Sebagai umat Hindu, penting bagi kita untuk tetap melaksanakan Tawur Kesanga walaupun dilakukan pembatasan sosial. Tawur dan Caru di pamerajan, pekarangan rumah serta lingkungan banjar dan desa adat sangat penting. Di dalam situasi pandemi inilah kita sepatutnya lebih meningkatkan iman dan sradha bhakti kita. Caru dan Tawur Kesanga bertujuan untuk membersihkan jagat dalam hal ini alam semesta beserta isinya berdasarkan konsep Tri Hita Karana, yakni Parahyangan, Pawongan dan Palemahan dalam melakukan suatu penyeimbangan. Parahyangan yakni hubungan antara manusia dengan Sang Maha Pencipta/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Pawongan yakni hubungan antara manusia dengan sesamanya. Serta Palemahan adalah hubungan manusia dengan alam sekitar. Ketiga elemen ini harus seimbang dan selaras.
Kemudian, ketika Nyepi ada baiknya kita memanfaatkan satu hari penuh makna ini dengan baik untuk merenungi serta memperbaiki diri. Melaksanakan Catur Brata Penyepian dengan baik. Walaupun mungkin beberapa umat telah bosan berdiam diri di rumah akibat dari himbauan ʺdi rumah sajaʺ. Mari kita senantiasa bersabar dalam menjalani cobaan hidup ini. Tiada kata lain selain Sabar. Melalui momentum Nyepi, kita sepatutnya melakukan introspeksi diri, selalu berada di jalan Dharma serta memperkuat benteng pelindung agar kita tidak terhanyutkan oleh hawa nafsu yang melempar kita ke jalur Adharma. Selalu bersyukur karena kita semua masih diberikan nafas sampai detik ini, menjaga kesehatan dan berusaha semampu kita untuk tetap bertahan hidup di masa sulit ini dengan pekerjaan dan hal-hal yang positif sesuai norma. Di akhir tulisan ini saya ingin mengucapkan Selamat Menyambut Hari Raya Nyepi, Tahun Baru Saka 1943. Semoga di Tahun Baru ini kita dapat kembali menjalankan kehidupan secara normal terbebas dari belenggu Virus Covid-19. Rahayu. [T]