[Catatan Harian Sugi Lanus 23 Pebruari 2021]
Banyak hal di Bali tinggal nama, di Jawa masih tergambar dalam citra wayang. Katakanlah padmanaba, nama pelindung suci dalam mantra suci yang tercatat dalam lontar kuno di Bali, ternyata bisa kita jumpai dalam “bayang” citra wayang Solo bernama Rsi Padmanaba.
Ada juga tokoh suci Rsi Jayawilapa, dikenal sebagai seorang rsi dari pertapaan Yasarata (Patala), punya putri bernama Dewi Ulupi. Ia diperistri oleh Janaka. Jayawilapa adalah nama lain dari Rsi Kanwa. Ini hampir lenyap dari ingatan pewayangan Bali. Namun di Jawa masih diabadikan dalam guratan wajah, busana bertekstur indah, warna yang matang dan simbolik.
Kenapa Rsi Kanwa bergelar Rsi Jayawilapa?
Siapapun yang mendalam basah kuyup dalam memperdalam Sastra Kawi atau Kakawin tentunya akan mengkaitkan sosok suci ini dengan sebuah kata yang menduduki pedalaman sastra Kawi: Wilāpa.
Lebih basah kuyup lagi dalam seni kakawin maka berjumpa dengan metrum atau persajakan yang dikenal dengan nama Citrawilāpa. Persajakan kakawin ini termasuk Prakṛti: ∪∪∪|∪∪|∪∪|∪∪∪|∪∪|∪∪|∪∪⩂
Wilāpa punya makna mendalam dalam konteks sastra Kawi. Mpu Kanwa barangkali yang berjaya di bidang ini. Barangkali Rsi Kanwa diberi gelar Rsi Jayawilapa sebab dikenal sebagai sosok yang tiada tanding menulis dalam menulis wilāpa (madah pujian).
Ada empat pokok istilah yang mau tidak mau harus dipahami jika seseorang ingin masuk ke pedalaman Sastra Kawi. Selain wilāpa, 3 pokok istilah lain yang bisa dijadikan penuntun dalam merenangi kolam Sastra Kawi adalah: pralāpita, bhāṣa dan palambang.
Mpu Panuluh memakai istilah wilāpa. Mpu Tanakung memakai istilah bhāṣa. Mpu Tanakung sempat memakai istilah pralāpita dalam Siwaratrikalpa, tapi berkibar luas dikenal bhāṣa Tanakung. Kakawin Sumanasantaka berkali menyebut palambang, demikian juga Wrttayana. Wrttasancaya menyebut Tanakung palambang: Ndan hantusakena damel Tanakung palambang… ring kalangwan kawy…
Wilāpa itu bisa berarti ocehan, bisa berarti ucapan, jika dilihat dari akar katanya Sansekertanya lap. Namun wilāpa di kancah karas pengawi adalah ‘madah pujian’, ‘rintihan’, ‘ratapan’, dan menjelma ke beberapa kasus adalah ‘syair keindahan alam’ dan ‘puitika cinta’.
Wilāpa dan pralapita tidak jelas garis segragasinya. Keduanya dari akar kata lap. Keduanya kadang secara umum berarti ‘ratapan’, kadang ‘kisah cinta’, dan entah kenapa akar kata lap ini dekat sekali pengucapannya dengan ‘love’. Dengan mengutip kamus besar Sanskerta Monier Williams, Romo Zoet mengartikan pralāpita berarti ‘omongan antara dua kekasih atau ocehan’.
Hariwijaya menyebut pralāpita: gurit pralapita talen kidung serta gurit kidung pralapita umunggwing lepihan.
Lalu dimana kejayaan Rsi Kanwa sehingga bergelar Rsi Jayawilapa?
Berkeliling dan hilir mudik “membaca Jawa”, yang tidak masuk akal — atau akal saya belum bisa masuk ke sana — kenapa sayur-sayuran segar, berbagai ragam bentuk lauk pauk yang dibungkus dengan daun pisang, daun tales, daun pandan, daun kelapa dihidangkan dalam bentuk sajian utuh, adapula arem-arem, ketupat, sukun disayur, salak yang disayur, kulit buah melinjo yang dikupas kemudian dijemur lalu ditumbuk dengan gula pasir, dibuat menjadi makanan semacam manisan, kesemuanya itu disebut sebagai Citrawilapa?
Di masyakat Kejawen di Jawa, Citrawilāpa itu hampir tidak pernah diingat sebagai metrum tembang Kakawin. Malah tersangkut di tukon pasar atau belanjaan pasar yang menduduki posisi penting dalam sesaji Kejawen.
Slametan Suran, yang diselenggarakan pada bulan Sura, memasukkan Citrawilāpa sebagai daftar wajib.
Citrawilāpa masuk bersama Kitripadra, Wanausala, Driyatmaka, dan Tandyatnya. Kelimanya bukan nama metrum atau persajakan Sastra Kawi, tapi tukon pasar atau jajanan pasar. Di sinilah saya mabok membaca Jawa.
Driyatmaka dari driya + atmaka. [Driya artinya: hati/perasaan. Kamus Dasanama memberi padanannya : hrêdaya, ambêk, angên-angên, nala, cita, driya, drangsa, twas, tyas, sota. Sementara atmaka artinya nyawa. Dengan arti Dasanamanya: suksma, jiwa, jiwita]. Namun jajanan pasar yang keluar kalau menyebut Driyatmaka adalah terdiri dari buah-buahan, kacang-kacangan, biji-bijian dijadikan jajanan jenang (jenang pelok dari biji mangga), biji buah (klungsu, pelok), asem Jawa dibuat param.
Kitripadra sesuai dengan padanan Sansekertanya yaitu hasil bumi yang dipetik dari kebun yang dipetik langsung dari kebun.
Wanausala adalah kelompok sajian yang sebagian direbus, dan yang lain digoreng. Digoreng bukan dengan pasir tapi dengan periuk tanah dengan pasir atau kerikil. ‘Wana’ itu ‘hutan’, ‘sala’ itu pondok. Mungkin bermakna ‘olahan rumahan dari hasil hutan?’
Sajian yang dibuat dengan dikukus disebut sebagai Tandyatnya. Apakah asal katanya tāṇḍya? Tāṇḍya adalah nama seorang guru, dalam śatapatha Brāhmana, berkaitan dengan Agniciti, atau tumpukan api suci. Dia disebutkan dalam Vamśa Brāhmana. Tāndya Mahābrāhmana atau Pañcavimśa Brāhmana dari Sāmaveda mewakili aliran Tāndin. Tidak jelas keterkaitannya dengan jajanan pasar jenis dikukus yang dikenal di Jawa dengan nama tandyatnya.
Citrawilāpa, Kitripadra, Wanausala, Driyatmaka, dan Tandyatnya adalah lima kelompok pembagian jajanan pasar dalam cara pikir Kejawen. Jika Citrawilāpa adalah nama metrum atau persajakan dari Sastra Kawi, apakah yang lainnya juga nama persajakan Sastra Kawi? Saya tidak memukan nama keempat lainnya ini sebagai metrum Kakawin. Yang jelas kelimanya punya dasar serapan bahasa Sansekerta yang sangat mendalam. Ini mengagumkan.
Hilir mudik di pasar Jawa, nama irama kakawin masuk daftar nama jajanan — seperti metrum atau persajakan karya sastra yang tergantung nuasa keharuan, basah kering musim, gelap terang bulan, dengan bunga-bunga bermekaran aneka warna tergantung gelagat perbintangan dan kuasa bulan — jajanan pasar ditata dengan nama apik berdasar asal-muasal dan cara sajinya.
Belajar dari Citrawilāpa di pasar Jawa, saya terhentak, ternyata pasar bukan hanya sebatas lapangan jual-beli, bukan sebatas riuh lalu-lalang urusan perut, tapi ruang yang punya daya ingatan jauh sampai ke masa silam. Di pasar tradisional Jawa ada rekaman panjang Sansekerta pernah masuk ke sumsum peradaban Jawa. [T]
___