— Catatan Harian Sugi Lanus, 20 Pebruari 2021
1. Bapak I Gede Ardika telah merekomendasi saya “secara diam-diam” untuk ikut program belajar di The Massachusetts Institute of Technology, di Cambridge, Massachusetts, United States. Dekannya pun secara khusus ingin bertemu dan memanggil saya untuk interview.
Saya keras kepala, menolak, tidak berangkat, karena merasa toh saya telah menangkap pesan beliau: Wisata budaya itu bukan semata-mata untuk ekonomi. Tapi yang utama adalah jiwa semangat merah putih, Bhinneka Tunggal Ika, menjaga ketahanan nasional.
Sebagai “siswa” saya telah menangkap dari diagram kebudayaan beliau, lewat presentasi dan percakapan, pesan-pesan kebudayaan beliau yang berbasis kebangsaan dan kebhinnekaan bernegara tentu tidak akan terlontar dan dibahas di kelas MIT. Saya merasa sangat terhormat “belajar mendalam” lewat pesan-pesan WA, makan pagi, makan siang, makan siang, dan berbagai seminar dengan beliau — beliaulah sejatinya guru kebudayaan dalam konteks kebangsaan dan kepariwisataan Indonesia. Jelas sekali dalam berbagai pemaparan beliau menjelaskan bahwa kita harus benar-benar paham falsafah kebudayaan Indonesia agar bijak tidak ujug-ujug “membuat paket wisata” yang tercerabut dari konteks Bhinneka Tunggal Ika dan semangat kebangsaan Indonesia.
2. Wasiat Kebudayaan Menteri I Gede Ardika untuk Bali ada beberapa hal pokok. Namun, saya sampaikan 2 hal pokok sangat mendasar, berdasar catatan saya, sebagai berikut:
A. Kepariwisataan Bali harus berbasis ekologi.
Budaya dalam konteks Pariwisata Budaya bukan budaya yang lepas dari konteks ekologi tetapi terintegrasi dengan aspek lingkungan (ekologi) mendalam yang menjadi jiwa nurani masyarakat Bali. Kepariwisataan Bali — seingat dan dari apa yang saya catat dan pahami dari penjelasan beliau — adalah wahana untuk menjamin kelestarian ekologi pulau Bali. Bukan sebaliknya. Pariwisata bekerja untuk menjamin ekologi Bali, bukan merongrong dan menghancurkan.
Beliau menjelaskan dalam berbagai skela bahwa pemikiran ekologi ini secara terintergrasi bisa dirunut dan diturunkan rumusan dan implementasinya dari falsafah dan konsepsi mendalam segara-gunung, Tri Angga/Tri Hita Karana.
Artinya masyarakat Bali sepatutnya menjaga diri dan menjamin relasi dirinya untuk tetap kukuh terhubung harmoni dengan bentang alam Bali yang hijau dan berkualitas, berkesadaran penuh menjaga harmoni ekologi Bali Dwipa, secara integrated. Pengembangan kepariwisataan basis konsepsinya dikembangkan dari titik ini.
Saya menangkap salah satu implementasi penjabaran dari konsepsi tersebut di atas telah dijalankan dengan sangat baik dan mendasar oleh sebuah inisiatif gerakan yang sangat serius yang terumus dalam sebuah gerakan kepariwisataan ekologis yang dikenal sebagai JARINGAN EKOWISATA DESA (JED). JED berkembang di Bali dengan keseriusan pertama-tama melakukan pendataan “kekayaan ekologi” masing-masing desa sebelum mendeklarasikan diri sebagai desa tujuan wisata. Pendataan dengan satelit, dengan mapping terintegrasi dengan peta desa pakraman dan subak, serta hutan sekitar, daerah sempadan sungai, dan seterusnya. Rumusan JED sangat jelas bahwa salah satu aset terbesar dari sebuah desa adalah “kekayaan ekologi” — sumber air, beji, hutan desa, jalan air, sungai, perkebunan, persawahan, ketahanan pangan desa, subak atau organisasi pertanian dan seterusnya — yang harus pertama-tama ditegakkan sebelum “terjun atau membuka diri” menerima “ideologi pariwisata” yang umumnya bersifat massal dan tidak berbasis kualitas.
B. Perda dan regulasi Bali harus berbahasa Bali.
Dalam sebuah makan siang di Sanur, beliau memberikan wasiat kebudayaan agar Perda dan perundang-undangan di Bali di-bahasa-Bali-kan.
“Perda dan perundang-undangan di Bali berbahasa Bali?” Saya hampir tidak percaya mendengar wasiat itu. Sebagai sarjana Sastra dan Bahasa Bali saya cukup kaget beliau mempresentasikan pemikiran ini ketika membuka seminar di pembukaan Sanur Village Festival, beberapa tahun lalu.
Setelah berbincang di belakang layar, beliau di mimbar membahas hal ini, yang intinya berpesan bahwa pemikiran dan perundang-undangan di Bali mesti dirumuskan ke dalam bahasa Bali. Pemikiran kebahasaan ini tidak muncul dari profesor Bahasa Bali, tapi oleh seorang pemikir purnabakti Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.
Ketika saya sampaikan kalau agak berat rasanya mengajak persidangan dewan, atau katakanlah pembahasan ranperda atau perda dirumuskan dengan bahasa Bali, beliau menjawab, memberi solusi. Singkatnya, jalan keluarnya mesti dibentuk tim penerjemah yang bekerja untuk membahasa-Bali-kan semua Perda, Pergub, Perbud, dan semua turunan peraturan di Bali, dari tingkat Pemda Provinsi, Kabupaten dan Kota, sampai ke bawah mesti dijiwai semangat kebahasaan berbahasa Bali.
Beliau punya pandangan dengan menterjemahkan semua perda, himbauan, dan semua regulasi pemerintahan ke dalam Bali akan memicu dan memuncul-tumbuhkan kesadaran dalam masyarakat Bali untuk bersungguh-sungguh memasuki pemikiran mendalam “sebagai orang Bali” dalam bahasa Bali. Khususnya untuk generasi muda masa kini dan masa depan, arsip regulasi daerah yang berbahasa Bali ini akan menjadi wahana pembelajaran memasuki pemikiran Bali dalam bahasa Bali. Tentunya beliau sadar bahwa pemikiran Bali wajib diarsip dan diabadikan dalam bahasa Bali. Bukan bahasa yang lain.
Dari wasiat kebahasaan beliau inilah, saya diperteguh dan terpicu untuk mendorong para aktivis pelestari bahasa Bali untuk mendesak melakukan revisi Perda Bahasa Bali. Tentunya senang sekali revisi Perda Bahasa Bali telah berhasil, dan berhasil menghasilkan Penyuluh Bahasa Bali dan kerja-kerjanya sangat membanggakan, namun ada yang belum tercapai dari wasiat kebudayaan beliau: Kapan Perda & Regulasi Bali kita bahasa Bali-kan?
3. Banyak WASIAT KEBUDAYAAN dari beliau. Namun 2 hal tersebut di atas yang saya timbang mendasar bagi Bali. Yang lain bisa dibaca dalam banyak makalah dan atau presentasi beliau yang isinya selalu mendasar dan mendalam, dalam skema konsepsi ekologi, Bhineka Tunggal Ika, ketahanan bangsa, dan kesejahteraan bersama yang salah satunya melalui kepariwisataan yang berbasis pada pelestarian ekologi dan keragaman seni kreatif Nusantara.
4. Masuknya di ITB, terhantar ke Akademi Perhotelan, Institut International Glion, Swiss.
Sekilas tentang beliau saya rangkum sebagai berikut:
Beliau (I Gede Ardika) tercatat sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia dalam Kabinet Gotong Royong di era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri ini.
Lahir 15 Februari 1945, di Banjar Dukuh, Desa Sudaji, Singaraja, Bali, ayahnya seorang Sedaan (penata kelola pertanian subak dan pajak) bernama I Made Arka dan ibunya Ni Made Sandat. Dari ayahnya beliau mendapat kesadaran pertanian dan ekologi yang sangat mendalam.
Sejak kecil Ardika mendapat siraman cerita-cerita pewayangan Bali dari neneknya, yang dikisahkan menjelang ia tidur, yang beliau tertarik pada dunia sastra dan kesenian. Hobi menonton seni Arja dari masa kecilnya.
Menteri Ardika mengenyam pendidikan Sekolah Rakyat di Desa Sudaji, selama 3 tahun, kemudian kelas empat dilanjutkan di Sekolah Dasar Negeri 2 Singaraja, berlanjut ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Singaraja, kemudian bersambung ke Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Singaraja.
Setelah tamat SMA, beliau diterima di di Institut Teknologi Badung dengan jurusan Fakultas Seni Rupa.
Tanggal 28 Agustus 1963, beliau mulai hidup di Bandung sebagai mahasiswa seni rupa ITB, namun akhirnya karena alasan mahal biaya kuliah melukis dan lain-lain, beliau pindah ke Akademi Perhotelan di Bandung, yang sesungguhnya “tidak sesuai dengan kehendak hati”, namun akademi ini memberikan ikatan dinas, lengkap dengan asrama, ditanggung makan, beserta keperluan uang saku. Pada tahun 1967 lulus gemilang di akademi ini dan mendaulatnya sebagai asisten dosen.
Setelah menjadi asisten dosen di Akademi Perhotelan, punya uang saku cukup, mengikuti kursus bahasa Perancis yang ditempuhnya sampai tahun 1969, dan muncul kembali niat beliau menekuni seni rupa. Kembali mendaftar di seni rupa ITB. Diterima kembali, namun akhirnya harus keluar lagi.
Sekitar Juni 1969 beliau lulus ujian seleksi beasiswa dari pemerintah untuk menempuh pendidikan di Akademi Perhotelan, Institut International Glion, Swiss. Sampai tahun tahun 1972, belajar di Swiss, dan kembali ke tanah air sebab kembali ke APN Bandung. Dari sanalah karirnya bergerak mulus, sampai akhirnya menjadi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI.
Beliau pencinta seni rupa yang sangat serius, paham mendalam kisah-kisah pewayangan, penikmat arja yang antusias dengan berbagai kisah-kisahnya.
Jika pagi ini, Sabtu, 20 Februari 2021, beliau berpulang, sampai kapan pun sesungguhnya beliau tetap bersama mereka yang pernah berdialog mendalam dengan beliau — setidaknya itu yang saya rasakan.
Saya dengan segala kekurangan diri meminta maaf karena telah mengabaikan pesan dan rekomendasi Bapak untuk ikut program belajar di MIT (Massachusetts Institute of Technology). Entah kenapa saya yakin bahwa jalan hidup saya tidak mesti berkelok ke Massachusetts. Bapak pasti tahu kalau saya selalu memilih berkelok ke tempat lontar-lontar, dimanapun ada waktu luang.
Bapak, terima kasih atas segala tuntunannya. Salam hormat saya yang tiada terhingga. [T]