Salah satu di antara sedikitnya seniman muda Bali yang masih memegang erat pakem tradisi seni lukis itu adalah Ida Bagus Sena asal Tebasaya Ubud. Nilai Tradisi tersebut tidak hanya berupa gerak estetik di permukaan atau stilistik, tetapi juga terbangunnya sebuah sistem dasar pengetahuan teknik melukis.
Sebagaimana tradisi melukis di Ubud yang bertahan sampai saat ini tetap memakai teknik yang sama seperti para pendahulunya sewaktu tahun 1930-an lalu. Tradisi teknik itu menjadi sebuah ’konvensi’ yang terus dipegang dari generasi ke generasi oleh seniman Bali khususnya di Ubud.
Ia lahir dari keluarga seniman (pelukis), kakeknya adalah Ida Bagus Made Kembeng salah pelukis era Pitamaha karyanya mendapatkan apresiasi internasional berupa Internasional Medali pada pameran Kolonial di Perancis tahun 1937.
Pamannya juga seorang pelukis yang sangat terkenal yaitu Ida Bagus Made (poleng), dikenal sebagai sosok dengan dedikasi tinggi penuh idealisme dan memilih hidup asketis. Orang tuanya sendiri juga seorang pelukis yaitu Ida Bagus Wiri dan pamannya yang lain adalah seorang dalang. Sehingga dapat dipastikan darah seni mengalir deras dalam dirinya, dan menghantarkannya menapaki jalan kesenimanan sebagai pelukis yang memiliki ciri rupa khas berkarakter filosofi.
Kekhasan dalam karya Sena ternyata tidak menurun begitu saja dari leluhurnya pun dari ayahnya sendiri, temuan estetik tersebut ia capai dari hasil pergaulan pribadinya yang begitu intens dalam ruang-ruang sepi kesehariannya; diselingi dengan menjalani tugas ngayah untuk upacara adat dan agama.
Sebagai bagian dari masyarakat Bali ia tidak dapat lepas dari kegiatan adat (sosial) dan ritual (agama), jika dilihat dari kaca mata modern aktivitas ngayah tersebut dapat menyita waktu-waktu produktif sehingga dianggap merugikan. Tetapi bagi masyarakat Bali, waktu (kala) adalah bagian dari sirkulasi kosmologi yang di dalamnya ada dimensi pribadi dan dimensi-dimensi soal yang tidak dapat ditolak dan harus dijalani sebagai bagian dari keharmonisan kosmos.
Baginya kondisi adat di Bali tersebut tidak dianggap sebagai beban, tetapi justru bagian dari jalan dan tantangan kehidupannya yang menempuh jalan seniman. Kesenian khususnya seni lukis menjadi sarana baginya untuk menuangkan nilai-nilai kehidupan yang tengah dijalani. Karyanya tidak hanya menampilkan keindahan (estetika) visual semata, tetapi sebuah ramuan dari interpretasi dan penghayatnya terhadap nilai-nilai kehidupan.
Proses berkarya bagi sosok eksentrik ini, adalah proses yang kompleks yang melibatkan pemikiran dan sensibilitas rupa. Sehingga proses yang dijalani selama menyelesaikan karya ini sangatlah panjang, menghabiskan waktu dua setengah tahun. Sungguh sebuah proses yang sangat lama, karena bagi Sena melukis bukan hanya perkara menggurat bentuk dan menggoreskan kuwas saja. Tetapi merupakan sebuah ritus yang dijalaninya secara khusuk sembari merenungi dan menghayati makna-makna kehidupan, melalui tuntunan nilai-nilai yang terkandung di dalam ajaran hidup yang bersumber dari ajaran agama Hindu yang senantiasa dikontekstualisasikan dengan fenomena yang terjadi di masyarakat.
Hal yang menarik tentang lukisannya adalah caranya mengkonstruksi narasi besar di dalam kanvas, yang disertai dengan upaya mengkontekstualisasikan narasi besar ajaran agama dengan kehidupan kesehariannya sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur adat dan budaya. Ia tidak bermaksud membuat pernyataan verbal yang memihak atau pun mengkritik berbagai silang penafsiran yang terjadi di masyarakat. Menyampaikan pesan mendalam yang melibatkan berbagai macam simbol, perihal pentingnya mempertahankan budaya tradisi dan nilai-nilai yang termaktub di dalamnya.
Sena menegaskan bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa, dan tidak berwenang untuk mengomentari apa pun selain memilih dengan cara berkutat dengan pemikiran melalui bahasa rupa dan simbol-simbol. Secara visual karya ini terbagi atas dua lapisan yaitu latar depan dan latar belakang, komposisi juga terbagi dua atas dan bawah.
Karyanya menerapkan teknik tradisional yang ketat dimulai dengan mensketsa (ngorten), membuat gelap terang (ngabur/banyuin), mencari dan menegaskan bentuk (ngucek, ngeskes), dan diakhiri dengan membuat detail (nyawi). Teknik melukis ini sudah mentradisi di daerah Ubud dan Batuan, walaupuan terdapat perbedaan dalam penekanan prosesnya.
Teknik klasik yang diterapkan dalam karya-karyanya tidak hanya sebatas perkara media untuk mengungkapkan gagasan, tetapi juga bagian dari konten yang tengah dibahasakan melalui bahasa rupa khas. Komposisi antara gelap dan terang tidak hanya berhenti menjadi permainan visual semata, tetapi memiliki maksud untuk mengungkapkan konten.
Pembagian gelap yang menjadi latar belakang (background) adalah refleksi dari narasi kehidupan yang tengah ia soroti. Sedangkan bagian depan (foreground) dibuat lebih menonjol secara visual melalui warna dan pencahayaan, adalah lapisan makna yang memiliki dimensi filosofi disadur dari kitab Itihasa yaitu Mahabarata.
Pola bercerita dengan metode dua lapisan dimensi antara foreground dan background, digabungkan dengan pola klasik pembagian ruang menjadi dua yaitu ruang bawah dan ruang atas. Ruang bawah adalah dimensi mikro kosmos alam manusia yang terikat nilai, dan ruang atas adalah dimensi makro kosmos alam yang maha agung yang bebas nilai.
Sebagai manusia biasa ia menyadari dirinya hanyalah setitik kecil yang berada di dalam lingkaran sosial, sehingga keterikatan diri dengan lingkungan dan bahkan alam adalah sebuah keniscayaan. Sebagaimana tercermin dalam motif khas yang menyerupai api atau awan (aon) yang ternyata berasal dari motif Patre Punggel. Sebuah motif klasik dalam khasanah seni ukir Bali. Berupa titik yang melingkar berbentuk spiral dan terhubung satu dengan lainnya, seperti itulah Sena memaknai dirinya menjadi bagian dari masyarakat dan bahkan alam. [T]
- Tulisan ini merupakan nukilan dari pengantar Kurator PameranTunggal Ida Bagus Sena “ Muter Tatwa” di Museum Puri Lukisan Ubud, Agustus 2018
BACA JUGA
Gurat Memoar | Ida Bagus Sena, Pelukis yang Mengaku Bodoh, yang Memetik Pelajaran dari Mana-mana