Sejak zaman dahulu dan sepanjang sejarah peradaban, manusia (dan juga spesies lainnya) di planet ini telah berinteraksi dengan alam. Ada satu perintah utama dalam interaksi dengan alam tersebut yang mesti diiikuti yaitu: “bertahan hidup”.
Dalam kurun waktu yang sangat panjang, keharusan bertahan hidup ini tidak hanya didasarkan pada kemampuan melindungi dirinya dari kondisi lingkungan yang (mungkin) sangat merugikan, tetapi juga pada kemampuannya untuk memenangkan tantangan makan atau diimakan.
Pada zaman purba kita dapat menyimak bahwa manusia telah menempatkan kelangsungan hidupnya dalam dua prinsip praktis yaitu pengumpulan segala sesuatu yang dapat dimakan dan berburu. Bahkan dikatakan bahwa “Manusia telah hidup sebagai pemburu-pengumpul selama 99 persen dari sejarahnya, dan ini mungkin telah membentuknya secara biologis”. Bentuknya dapat dalam bentuk mengumpulkan buah dari pepohonan ataupun membunuh mangsanya, hubungan manusia dengan lingkungan disekitarnya didasarkan pada transformasi itu.
Perkembangan selanjutnya adalah ketika nenek moyang kita mengembangkan pendekatan yang semakin canggih terhadap alam, jauh sebelum munculnya pertanian sekitar 15.000 tahun yang lalu. Di zaman paleolitik, manusia telah menemukan dan mulai menggunakan api.
Selama periode yang sama, mereka menciptakan semakin banyak alat-alat untuk berburu, memancing, pertahanan dan juga bangunan penampungan. Peralatan-peralatan ini awalnya dari kayu, batu kemudian dari semakin berkembang dengan menggunakan logam.
Karena keterbatasan-keterbatasan fisiknya jika dibandingkan dengan hewan lainlah, manusia si pemburu-pengumpul mengembangkan hal itu. Berangkat dari sumber daya mental dan keingintahuannya yang luar biasa.
Pola konsumsi makanan beberapa populasi manusia juga mengikuti apa yang tersedia dan menjadi sumber daya di lingkungannya. Sehingga sampai saat ini kita banyak menemukan pola konsumsi makanan masyarakat yang tinggi konsumsi dagingnya, ada juga yang dominan dari ikan dan kerang atau bahkan beberapa kelompok dengan pola vegetarian.
Bagaimana lantas pola budaya konsumsi makanan ini diturunkan kepada generasi selanjutnya? Apakah memang karena kondisi alam yang tidak menyediakan sumber daya yang cukup? Tetapi kenapa mereka tidak berpindah untuk mencari tempat yang lebih banyak sumber daya makanannya? Ataukah hal tersebut memang merupakan hasil pemikirannya? Karena perkembangan semakin besarnya volume otak manusia?
Akibatnya, upaya “budaya” pertama manusia sebagian besar melibatkan masalah tentang cara menemukan makanan dan membuka jalan bagi dorongan luar biasa omnivora-nya. Pollan, dalam karyanya yang terkenal, “Dilema Omnivore”, menyetujui sepenuhnya dengan pandangan kaitan volume otak dengan pemilihan makanan ini. Dalam catatan Pollan, hewan lain mengikuti strategi yang berlawanan, yaitu pola makan yang sangat selektif dan, sejalan dengan ini, mereka pada umumnya memiliki otak yang sangat kecil.
Seperti sempat disebutkan di awal, bahwa penemuan api menandai langkah besar dalam kemampuan manusia untuk memanipulasi alam. Digunakan bergantian untuk panas, cahaya, perlindungan dari binatang buas, mengirim pesan dan mengeringkan pakaian, api memungkinkan perkembangan budaya progresif yang sangat penting, terutama dalam hal diet. Bagi Levi Strauss, memasak makanan menggunakan api adalah “penemuan yang membuat manusia menjadi manusia”. Sebelum belajar memasak, makanan (terutama daging) dimakan mentah atau busuk.
Penggunaan api membawa perubahan yang menentukan. Dalam karyanya Levi Strauss menyatakan bahwa memasak secara simbolis menandai transisi dari alam ke budaya, dan juga dari alam ke masyarakat, mengingat bahwa ketika mentah itu asli dari alam, dimasak berarti suatu langkah yang bersifat kultural dan sosial.
Konsep-konsep ini dijabarkan lebih lanjut dengan menggunakan analisis “segitiga kuliner” yang membagi “memasak makanan” menjadi tiga kategori berbeda: dipanggang, direbus, dan diasap. Di semua masyarakat, pemanggangan adalah bentuk memasak pertama, yang paling dekat dengan tatanan alam. Penggunaan api yang paling kuno didasarkan pada langsung mengekspos makanan ke api – makanan yang diletakkan di atas tongkat hanya “dibakar”.
Mengasap dan merebus adalah dua bentuk perkembangan budaya yang membedakan diri dari memanggang dalam penggunaan kreatif dua elemen terpisah untuk memasak. Udara dan asap untuk kegiatan mengasap, serta air dalam beberapa jenis wadah atau wajan untuk merebus. Penggunaan peralatan untuk memasak, persyaratan untuk merebus, tentu saja merupakan bukti evolusi budaya, tetapi demikian juga kemampuan untuk mengasap dalam rangka memperluas kemampuan makanan untuk menahan pembusukan untuk jumlah waktu yang jauh lebih lama dibandingkan metode memasak lainnya.
Hubungan antara alam dan budaya dapat dijelaskan oleh Levi Strauss berdasarkan perbandingan berbagai metode yaitu : “Mengukus dan merebus berbeda dalam hal sifat elemen perantara antara api dan makanan, yaitu udara atau air. Mengasap dan memanggang dibedakan oleh peran yang lebih besar atau lebih kecil yang diberikan udara; dan memanggang dan merebus dibedakan dengan ada atau tidak adanya air. Batas antara alam dan budaya, yang dapat dibayangkan sebagai sejajar dengan poros udara atau poros air, menempatkan pembakaran dan mengasap di sisi alam, merebus di sisi budaya dalam hal cara yang digunakan; atau mengasap di sisi budaya dan memanggang dan merebus di sisi alam dalam hal hasil “. [T]