Pandemi lagi pandemi lagi, kata yang sering muncul di banyak tulisan. Kata yang sering hadir di setiap obrolan. Entah kata pandemi bagitu mudah ditemukan, apakah itu bagus atau tidak? Aku bukan bertanya pada orang lain, tapi hanya mencari jawaban pada diriku sendiri. Di satu sisi aku senang karena bias meluangkan banyak waktu di rumah. Biarpun gaji sedikit, tapi waktu untuk diriku lebih banyak. Makan-masak sendiri, berkebun, bersih-bersih rumah, dan lain sebagainya. Sampai aku merasa pada beberapa bulan di awal pandemi aku bukan performer lagi.
Ada sisi yang menurutku gak oke. Ada rasa yang hilang. Sebelum pandemi aku sudah ditinggal orangtuaku pulang ke kampong. Alasannya ya pasti jelas, karena pekerjaan tidak jelas, biaya hidup di Bali yang lumayan tinggi, apalagi peraturan yang malah jadi beban. Aku sadar sebenarnya hal itu memberi keuntungan karena aku dituntut untuk belajar mandiri. Mulai dari mengurus rumah, kebun, dan diri sendiri.
Tapi banyak sisi lain yang sepertinya hilang. Aku perlu berinteraksi dengan panggung, dengan kursi penonton, dengan musik yang mempengaruhi frekuensi otak, dengan pakaian yang aku pakai, dengan langkah-langkah yang aku sadari betul, gerak tangan yang bukan seperti nyatanya menyapu, dan nafas yang iramanya selalu berubah ubah. Ya, begitulah sisi lain yang hilang dari diriku.
Aku tidak tahu, apakah keadaan pendemi ini bisa dikatakan buruk atau baik untuk diriku. Lalu kuhabiskan kegiatan di rumah untuk ajang latihan. Latihan sadar. Aku sadar betul sedang menyapu misalnya. Saat aku pegang sapu yang seukuran kurang dari satu meter di kebun, lalu aku meniadakan sapu itu secara fisik. Sapu kuubah jadi imajiner. Gerakan demi gerakan aku lakukan seperti pentas sungguhan. Terus begitu sepanjang ada kesempatan.
Keadaan ini ternyata juga ada hasilnya. Pada bulan Agustus, dibukanya acara dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan acara Jejak Virtual Aktor. Beberapa pengalaman latihan yang selama ini aku lakukan diuji di sini. Aku mulai merangkainya dalam bentuk cerita. Mulai dari ditinggal pulang kampung oleh orangtua, pekerjaan yang tidak jelas sampai sulitnya bertemu teman saat dibutuhkan.
Juni 2020, aku dengan kawan-kawan Kalangan juga menggelar diskusi. Kala itu membicarakan apa yang sebaiknya dilakukan dalam mengisi kekosongan aktivitas saat pandemi. Fitur Live instagram dibuka. Pertunjukan dimulai. Kata-kata sambutan terucap. Komentar bermunculan bertuliskan “hai, halo”, “Ingat chager hpnya!” Program alternatif dilangsukan melalui layar smartphone. Dini Ditu Kalangan. Kegiatan yang kami lakukan dari bulan juni ini menjadi penting. Masak sih karena pandemi kita gak bisa gerak?”
Banyak hal yang aku dapatkan dari program Dini Ditu Teater Kalangan ini. Aku mendapat bagian mengisi acara Tari(K) Jack! Berkolaborasi dengan beberapa grup music, mulai dari musik darkdeep, music doom dan yang salah satu musisi sebagai kolaborator ini susah menamai jenis musikya apa. Aku belajar menyikapi keadaan, bagaimana musik doom misalnya, dikolabrasikan dengan tari. Begitu juga yang lainnya. Diluar pertunjukan ternyata juga harus diperhatikan. Masalah teknis, waktu, komunikasi, dan gagasan si musisi. Selain pertunjukan dan manajemen, aku belajar memahami ego. Bagaimana upaya agar bisa fleksibel dengan berbagai macam orang. Bagiku menarik.
Teater kalangan liburan! Itu adalah kalimat yang aku tunggu-tunggu pada awal 2021. Tiga hari dua malam. Waktu yang cukup lama untuk merayakan liburan tahun baru. Liburan yang gak sekadar liburan. Di sela-sela libur kami melakukan rapat akhir tahun yang anehnya dilakukan di awal tahun. Skip dulu deh isi rapatnya. Yang jelas, rapat kami sangat padat. Saking padatnya, kepalaku pusing. Tapi aku yakin, rapat ini kan untuk jangka satu tahun ke depan, memang ga bisa diselesaikan beberapa hari. Begitu pembelaanku pada saraf di kepala supaya bisa tenang.
Ada masa lalu semoga ada masa depan. Tapi memang aku belum akan berkisah tetang masa depan sekarang. Semua itu butuh proses, butuh perjuangan. Supaya ga hanya jadi sekadar mimpi dan cita-cita!
Amin… [T]