Meskipun krisis pandemi global belum berlalu, sebuah peristiwa penting untuk lingkaran kerja film dokumenter Asia tetap berlangsung. Rangkaian lokakarya bertajuk Documentary Dojo 3 telah dimulai sejak 2 Februari dan akan berlangsung sampai 3 Maret 2021.
Penyelenggara utama lokakarya internasional ini adalah Documentary Dream Center, Jepang (www.ddcenter.org) dan Yamagata International Documentary Film Festival, yang bekerja sama dengan Minikino (minikino.org), Yayasan Kino Media (kinomediafoundation.org) di Bali, Indonesia. Kolaborasi ini juga merupakan pertama kalinya terjadi antara Documentary Dojo dan Minikino yang membawa nama Indonesia.
Documentary Dream Center (DD Center) berdiri di Tokyo, Jepang pada tahun 2008. Organisasi ini dipimpin oleh Asako Fujioka, yang juga dewan direksi Yamagata International Documentary Film Festival, Tokyo. Rekam jejak DD Center menjadikannya salah satu organisasi yang penting dan berpengaruh dalam perkembangan film dokumenter dunia. Mereka memberi perhatian pada para filmmaker (pembuat film)dokumenter dan penontonnya, melalui berbagai pelatihan, produksi dan kolaborasi. DD Center juga membangun jaringan globalnya untuk pendidikan dan berbagai bentuk pertukaran kreatif.
Sejak pertengahan tahun 2020, Asako Fujioka telah mengadakan rapat mingguan dengan Fransiska Prihadi sebagai direktur program Minikino. Koresponden ini bertujuan merancang sebuah kolaborasi antara Indonesia dan Jepang, melalui Minikino dan DD Center. Rencana awalnya adalah memilih seorang filmmaker dokumenter Jepang untuk berkegiatan di Bali pada musim panas 2020. Dan sebaliknya, Minikino memilih seorang filmmaker dokumenter Indonesia untuk mengikuti program lokakarya Documentary Dojo 3 selama 29 hari desa Hijiori, Jepang. Perencanaan ini bahkan sudah pada tahap penjadwalan sosialisasi di pertengahan tahun 2020.
Namun karena perkembangan krisis global pandemi yang tidak menentu, bentuk kolaborasi ini terpaksa disesuaikan. Akhirnya DD Center bersama Minikino membuat undangan terbuka kepada para filmmaker dokumenter Jepang dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pendaftaran terbuka pada bulan November sampai Desember 2020 lalu.
“Ibarat sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, Documentary Dojo yang dilaksanakan di Indonesia menawarkan kesempatan yang langka. Selain filmmaker Indonesia mendapat pengalaman lokakarya dengan standar kualitas dunia, Minikino juga mendapat kesempatan berkontribusi secara aktif untuk sebuah bentuk Documentary Dojo hybrid yang belum pernah dilakukan sebelumnya,” kata Fransiska Prihadi.
Hybrid ini maksudnya, walaupun online tapi tetap melakukan kegiatan residensi di lokasi tertentu.
Pada fase pendaftaran, DD Center dan Minikino menerima lebih dari tujuh puluh aplikasi dari filmmaker Indonesia, Jepang, Kamboja, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Taiwan, Thailand dan Vietnam. Jumlah yang cukup besar ini merupakan fenomena tersendiri, mengingat kondisi yang cukup berat karena pandemi global.
Proses seleksi meliputi pengajuan aplikasi dan proposal audio visual. Kemudian wawancara juga dilakukan dengan para filmmaker yang lolos saringan pertama. Seluruh proses seleksi ini berlangsung secara daring. Melalui proses ini, DD Center bersama Minikino mendapatkan materi yang diperlukan untuk mempertimbangkan dan memutuskan. Kemudian awal Januari 2021 para filmmaker terpilih diundang secara resmi untuk mengikuti residensi selama 29 hari.
Tahun iniWinner Wijaya dan Riani Singgih terpilih menjadi duta Indonesia. Keduafilmmakerini memiliki catatan prestasi di lingkaran kerja festival film, baik di Indonesia maupun festival internasional. Nama-namafilmmakerterpilih dari kawasan Asia lainnya yaitu Atiqa Kawakami (Jepang), Ananta Thitanat & Abhichon Rattanabhayon (Thailand). Selanjutnya 3filmmakerJepang, Fukudapero, Chiemi Shimada dan Yu Iwasaki juga terpilih sebagai partisipan yang akan mengikuti sesi lokakarya selama 4 hari pertama saja.
Kedelapan filmmaker ini dipertemukan dalam sebuah panel, untuk terlibat dalam Documentary Dojo 3 Workshop intensif selama 4 hari pertama. Mereka diberi asupan pengalaman dan referensi dari para mentor. Kegiatan juga termasuk menonton kurasi film-film dokumenter dan diskusi yang kritis dan terarah. Dengan bekal ini mereka diharapkan akan menyelesaikan sebuah karya dokumenter yang mampu berlaga pada panggung-panggung dunia.
DD Center dan Minikino memilih filmmaker dengan karya dokumenter yang berada dalam tahap produksi maupun pasca produksi. Kegiatan ini bertujuan memberikan ruang dan waktu kepada para filmmaker untuk bertemu dan bertukar pikiran. Mereka juga menerima masukan profesional yang kritis dan produktif. Seluruh rangkaian kegiatan berupa presentasi, sharing, serta diskusi terpimpin. Rancangan ini merangsang para filmmaker untuk secara mandiri menemukan jawaban atas tantangan mereka secara kritis dan kreatif.
Tahun ini, mentor pendamping yang terlibat adalah Tan Pin Pin (Singapura), Kaori Oda (Jepang), Reiko Thara (Jepang, USA), Takeshi Hata (Jepang), Fransiska Prihadi (Indonesia) dan Koyo Yamashita (Jepang). Kegiatan ini juga dipandu langsung oleh Asako Fujioka sebagai pimpinan lokakarya. Informasi lebih lengkap mengenai latar belakang para mentor dapat dilihat pada halaman web https://minikino.org/air
Walaupun acara bersifat daring, Riani Singgih dan Winner Wijaya tetap berkesempatan menjalani suasana residensi. Mereka diterbangkan ke Bali dan ditempatkan di MASH Denpasar. Selama 29 hari mereka akan melakukan pitching dan presentasinya menggunakan fasilitas tempat ini. Atiqa Kawakami dari Tokyo mengikuti kegiatannya dari kota Hijiori. Ananta & Abhichon yang sehari-harinya tinggal di Bangkok, memilih kota Chiang Mai untuk mengikuti lokakarya secara online. Semua mentor dan fasilitator juga tersebar di berbagai kota tempat tinggal mereka masing-masing.
Edo Wulia, sebagai direktur Minikino menyatakan, dalam kegiatan ini, Minikino mempertegas kembali komitmen organisasi. Minikino percaya bahwa budaya hanya bisa eksis dan berkembang dengan pertukaran, dan bukan isolasi.
“Secara konkret, Minikino memberi perhatian untuk pembentukan dan penguatan jaringan kerja internasional di bidang film. Selanjutnya menempatkan karya film sebagai karya seni dan budaya yang memiliki nilai-nilai literaturnya tersendiri, yang kekuatannya sebanding dengan karya literatur lainnya,” kata Edo.
Selain kolaborasi antara Documentary Dream Center dan Minikino, kegiatan ini juga didukung oleh The Japan Foundation’s Asia Center Grant Program, Yamagata International Documentary Film Festival, MASH Denpasar dan Yayasan Kino Media (Denpasar, Bali). [T][*]
_____