Semoga tidak ada halangan. Ada dua jilid naskah berjudul Raja Purana Pura Ulun Danu Batur Kintamani Bangli. Kedua jilid itu dikerjakan oleh Putu Budiastra dan kawan-kawan. Kawan-kawan yang dimaksudkan, barangkali adalah Tim Peneliti yang ditugaskan untuk meneliti Raja Purana Batur. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1979. Pertanyaannya, Siapa yang menugaskan penelitian itu? Darimana Tim Peneliti itu berasal? Dan atas dasar apa penelitian itu dilakukan?
Tidak ada pernyataan yang menyebutkan siapa yang menugaskan mereka membentuk sebuah Tim. Tapi berdasarkan keterangan mereka sendiri, tampaknya Tim ini berasal dari Museum Bali. Saat pembacaan dilakukan, konon turut hadir pula perwakilan dari beberapa Lembaga seperti Kanwil Depag Prov. Bali, Bidang Permuseuman Sejarah dan Kepurbakalaan Kanwil Dep. P dan K Prov. Bali, dan Kantor Depag Kab. Bangli. Pemuka-pemuka desa juga hadir saat itu.
Menurut keterangan yang kita peroleh dari Jilid I, penelitian itu berawal dari sebuah surat yang disampaikan pada tanggal 26 Mei 1979 oleh pangemong Pura Ulun Danu Batur. Setelah surat diterima, Tim tersebut melakukan pembacaan dari tanggal 4 sampai dengan 7 Juni 1979. Itu artinya, Tim tersebut mulai bekerja kira-kira seminggu setelah surat diterima.
Pekerjaan mereka adalah mengidentifikasi, membaca, dan mengalihaksarakan beberapa naskah yang mereka temukan. Ada 13 cakĕp naskah lontar yang harus mereka periksa. Sayangnya, karena waktu yang mereka dapat tidak banyak [kira-kira 4 hari saja], Tim tersebut baru berhasil menyelesaikan 6 cakĕp. Banyaknya lembar lontar, huruf dan bahasa yang asing konon menjadi penyebab pekerjaan itu baru dapat diselesaikan setengahnya.
Menurut Tim itu, beberapa huruf dan bahasa yang digunakan dalam Raja Purana Batur konon asing bagi mereka. Tapi pada saat yang sama, mereka menyebut huruf yang digunakan adalah ‘huruf Bali yang muda usianya’. Istilah ‘muda usianya’ digunakan, barangkali karena dibandingkan dengan huruf atau aksara yang biasa digunakan dalam prasasti-prasasti Bali Kuno. Sedangkan bahasanya menggunakan bahasa Bali Lumrah diselingi bahasa Jawa Tengahan. Jika mereka dapat mengidentifikasi huruf dan bahasa yang digunakan, lalu apa maksud pernyataan ‘huruf dan bahasa yang asing’ itu? Pertanyaan ini, hanya dapat dijawab dengan melakukan peninjauan ulang pada naskah yang mereka teliti.
Apa isi keenam cakep lontar yang telah berhasil diteliti? Menurut keterangan yang diberikan, topik yang dibicarakan oleh keenam cakep lontar tersebut secara umum meliputi:
- Beberapa ketetapan yang harus dipenuhi penduduk selama dilangsungkan upakara pada kahyangan di desanya;
- Beberapa ketetapan yang harus dilaksanakan pemuka-pemuka desa. Pemuka desa yang dimaksud antara lain: Kubayan, para hulu, kasinoman dan lain-lain. Ketetapan itu menyangkut upakara kahyangan di Desanya;
- Awig-awig yang harus dilaksanakan untuk menjaga ketentraman serta keamanan desa dan sekitarnya [Budiastra, dkk. 1979: 3].
Lalu bagaimana dengan 7 lontar yang lain? Ketujuh cakĕp lontar itu diterbitkan beberapa bulan kemudian pada tahun yang sama [Jilid II, September 1979]. Rombongan itu datang untuk keduakalinya pada tanggal 11 sampai 15 Juli 1979. Agar waktu dapat dimanfaatkan lebih efisien, mereka membagi tugas. Hasil dari kedatangan rombongan ini yang kedua dapat dilihat pada Jilid II. Isi ketujuh cakĕp lontar tadi hampir sama dengan enam naskah sebelumnya. Tetapi, ada keterangan yang menarik disampaikan oleh Tim tersebut, begini:
Dengan adanya isi pokok yang hampir bersamaan pada cakep lontar satu dengan lontar lainnya, kami pun menghubungi beberapa pangemong pura menanyakan apa sebab isi lontar di atas hampir bersamaan? Oleh mereka dijelaskan bahwa beberapa cakep lontar di atas pernah diperbaharui karena kondisinya amat rusak dan sukar dibaca kembali. Bahkan pada suatu saat beberapa tali pengikat cakep ini putus sehingga pada waktu mengikat kembali, lembaran lontar satu diselipkan ke lontar lainnya. Hal ini pulalah yang menyebabkan bahwa pada satu cakep lontar terdapat dua lembar lontar yang bernomer sama tetapi isinya agak berbeda dan berasal dari kelompok lain pula. Atau beberapa lembar lontar lainnya terselip pada salah satu cakep tanpa nomer dan tidak ada hubungannya dengan urutan penempatan lembaran tersebut [Budiastra, 1979: 1—2].
Kutipan di atas, sengaja saya kutip agak panjang agar maksud dari Tim bisa kita pahami. Berdasarkan informasi tersebut, dapat kita ketahui bahwa: 1] beberapa cakep lontar pernah rusak; 2] karena rusak, kemudian diperbaharui; 3] ada lembar yang tidak sesuai posisinya karena tali pengikat sempat putus; 4] kuat dugaan ketidaksesuaian itu yang mengakibatkan lembar lontar tidak runut.
Pada naskah terbitan yang saya jadikan sumber tulisan ini, setelah kutipan panjang di atas, masih terdapat keterangan yang tidak kalah penting. Isinya: ‘Untuk tidak mengelirukan serta tidak membingungkan pembaca, kelompok lembaran di atas kami sisihkan dan kami kumpulkan pada bagian terakhir transkripsi tiap-tiap cakep lontar tersebut.’
Dengan demikian, keterangan lanjutan tersebut bermaksud memberikan informasi bahwa lembar-lembar lontar yang diduga tidak sesuai posisinya, disisihkan oleh Tim. Penyisihan tersebut dilakukan dengan pertimbangan agar tidak membingungkan pembaca di kemudian hari. Anehnya, pada sumber yang saya baca, bagian keterangan ini dicoret dengan suatu alat tulis. Saya sebut demikian karena tidak jelas alat tulis apa yang digunakan, berhubung naskah yang saya jadikan sumber dalam tulisan ini ada dalam bentuk copyan. Jika ada pembaca yang mungkin kebetulan memiliki kedua jilid Raja Purana Batur ini, bisa memeriksa kembali pada Jilid II halaman 2. Apakah sama-sama tercoret?
Itulah sedikit gambaran yang dapat saya kemukakan perihal suatu sumber penting yang dimiliki Bangli, khususnya Batur. Tulisan selanjutnya, saya akan mulai masuk pada isinya. Saya bermaksud merunutnya sesuai dengan hasil pekerjaan dari Tim Penyusun. Tujuannya, agar saya sendiri mendapat pengetahuan yang runut. Tujuan lainnya, agar para pembaca yang budiman, turut memeriksa hasil bacaan saya terhadap sumber Raja Purana Pura Ulun Danu Batur Kintamani Bangli ini.
Perlu saya informasikan sekilas, bagian pertama dari Raja Purana Batur [Jilid I], berjudul Prasasti Wedalan Ratu Pingit. Jadi tulisan selanjutnya, saya akan mulai dari sana. Di lain pihak, saya harap dengan melakukan pembacaan pada dua jilid Raja Purana Batur ini, kita mendapatkan informasi, siapa yang dipercaya untuk “memperbaharui” cakepan yang rusak sebelumnya? [*]
Catatan:
- Isi kedua Jilid terbitan Raja Purana Batur ini ialah: Jilid I [Wedalan Ratu Pingit, Pangeling-eling Wong Batur, Pangeling-eling Klian Tumpuk [1], Pangeling-eling Klian Tumpuk [2], Purana Tattwa, Usana Bali]. Jilid II [Babad Patisora, Pangeling-eling Dane Saya, Pangeling-eling Gaman Desa, Gama Patĕmon, Pratekaning Usana Siwa Sasana, Pangacin-acian Ida Bhatara, Pungga Habanta, Lontar-lontar Lepas dan Lampiran Penjelasan].