Penulis: Desiana Astika Ratna K.
_______
Pariwisata menjadi salah satu sektor bisnis yang paling merasakan imbas ganasnya Covid-19. Pandemi yang melanda dunia dan masuk di Indonesia sejak pertengahan Maret 2020 lalu ini, meluluhlantakkan berbagai aspek bisnis di Pulau Dewata. Klimaks ini terjadi saat Bali menutup semua tempat wisata dan hiburan demi mencegah penyebaran Covid-19. Keputusan ini berdasarkan Surat Edaran Pemprov Bali per 20 Maret. Delapan Pemerintah Kabupaten atau Kota di Bali telah lebih dulu menutup destinasi wisatanya mulai 18 Maret. Larangan negara-negara dunia kepada penduduknya untuk melakukan perjalanan juga membuat pariwisata di Bali merosot.
Penurunan mulai dirasakan mulai Februari. Melansir CNN, pada 22 Februari Wakil Gubernur Bali Tjokorda menyatakan kawasan wisata favorit seperti Nusa Dua dan Kuta telah sepi. Imbasnya okupansi hotel di Bali turun 60 – 80 %. Padahal, menurut Tjokroda, penurunan okupansi hotel di provinsi yang dipimpinnya pada tahun sebelumnya tak lebih dari 18%. Berdasarkan data BPS Bali, hotel berbintang di seluruh kelas mengalami penyusutan okupansi dari 59,29% pada Januari menjadi 45,98% pada Februari. Penurunan okupansi paling tajam pada hotel bintang satu, yakni dari 62,06% pada Januari menjadi 29,32% pada Februari. Bahkan Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Haryadi Sukamdani menaksir kerugian perhotelan di Bali akibat pandemi Covid-19 mencapai Rp 1 triliun.
Ketergantungan Bali akan pariwisata mengakibatkan multi player effect pada berbagai sektor ekonomi. Pasalnya, hampir 70-80 persen perputaran ekonomi di pulau ini mengandalkan sektor jasa tersebut. Ratusan hotel gulung tikar, dan karyawan hotel di rumahkan hingga PHK. Banyak yang menjerit.
Hal tersebut tercermin dari fakta empirik di lapangan, pekerja pariwisata pada akhirnya putar haluan agar tetap bertahan di saat pandemi sebagai entreperenur dadakan. Ada yang memulai peruntungan menjajakan panganan dan kuliner, berjualan online hingga menawarkan jasa pengantar makanan dengan bergabung sebagai mitra aplikasi transportasi daring. Sangat miris memang.
Apapaun cara bertahan di saat pandemi, adalah lumrah dilakukan warga di berbagai belahan dunia. Krisis global menjadi hantu dan momok menakutkan. Meski demikian, kita tidak bisa berlama-lama dininabobokan dengan kondisi saat ini. Move on menjadi jawabannya. Semenjak Pemerintah melakukan pembatasan sekala besar di berbagai kota di Indonesia dan masifnya sosialisasi protokol kesehatan, telah memunculkan adaptasi dan kebiasaan baru di tengah masyarakat.
Buleleng sebagai salah satu destinasi wisata di Bali Utara sebenarnya bisa berbenah di tengah keterbatasan yang dimiliki. Meskipun tidak segelamor Bali Selatan yang rentan karena mobilitas tinggi yang mana memicu persebaran virus Covid-19. Seharusnya Buleleng bisa memaksimalkan dan memposisikan daerah sebagai destinasi atau kawasan wisata yang low mobiling sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang peduli dengan kesehatan.
Protokol kesehatan mengajarkan publik, kita semua tidak bisa lagi hidup dengan cara dan pola lama. Perubahan adalah keniscayaan. Semua pihak harus siap berubah. Termasuk dalam konteks bisnis pariwsiata di Bali. Membangun strategi survive di saat pandemi menjadi jawaban dan kunci, jika bisnis pariwisata ingin tetap eksis dan menghidupkan masyarakat pulau ini.
Pemerintah dengan berbagai cara sudah berupaya kuat untuk tetap menghidupkan “kenormalan” pariwsata di tengah ketidaknormalan ini. Dengan kucuran dana insentif yang fantastis untuk memberikan suntikan pada pihak hotel hingga mulai mensimulasikan protocol kesehatan pada destinasi pariwisata di beberapa titik strategis. Tak lain adalah upaya Pemerintah pro aktif menstimulus kondisi pariwisata yang hampir setahun ini tiarap.
Kondisi turunnya daya beli dan pendapatan daerah juga sangat dirasakan di Kabupaten Buleleng yang selama ini mulai membuka sektor wisata baru di daerah yang potensial. Pada akhirnya pemerintah harus siap dengan kondisi diluar kendali ini untuk memberikan dukungan kepada masyarakat yang akhirnya terdampak terutama sektor wisata dan perdagangan. Disisi lain penulis melihat justru Buleleng bisa bangkit dengan tidak bergantung kepada sektor pariwisata dan beralih ke pertanian dan perdagangan. Kehidupan masyarakat mulai menggeliat kembali, sehingga seolah pandemic bisa mereka kalahkan dengan tetap optimis agar dapat menghasilkan sesuatu untuk melanjukan kehidupan.
Berikut penulis menjabarkan strategi yang memungkinkan untuk dapat diterapkan dalam sektor pariwisata di Buleleng di tengah pandemi seperti saat ini.
Strategi Survive
Penerapan social distancing, isolasi diri, dan kerja jarak jauh telah menjadi kenormalan baru sejak terjadi pandemi covid-19, yang juga menyebabkan terjadinya pergeseran pasar dari sisi penawaran dan permintaan, berujung pada pergeseran dalam paradigma pemasaran. Hal ini harus dipahami oleh pembisnis wisata. Upaya pemulilahan eknomi di tengah krisis seperti saat ini membutuhkan partisipasi semua pihak, termasuk stakeholder di bidang pariwisata. Mengandalkan Pemerintah taka da artinya jika tidak disambut dengan ide dan strategi oleh para pelaku wisata.
Untuk itu adapun beberapa ide dan gagasan strategis penulis untuk merancang back survive akomodasi wisata di Buleleng yakni bisa ditenmpuh dengan upaya-upaya berikut.
Pertama, Staycation. Bagi pengusaha hotel dan praktisi wisata istilah ini sangat lumrah. Secara sederhana bisa dimaknai sebagai adalah berlibur dalam satu kawasan/kota. Atau bisa disebut juga berlibur yang tidak jauh-jauh dari kota tempat tinggal wisatawan. Sasarannya jelas. Wisatawan domestic yang jenus dengan rutinitas work from home (WFH) atau penduduk lokal yang ingin melarikan diri dari rutinitas, menjauhi kebisingan dan orang yang ingin sekadar dimanja dengan harga yang terjangkau. Ini bisa dirancang pihak hotel mulai dari fasilitas dan tawaran paket yang menarik. Selain tamu yang tinggal satu kota, boleh juga menyasar tamu dari kota lain. Untuk tamu domestik dari kota lain ini, pihak hotel harus bisa memberikan pengalaman yang mengesankan.
Kedua, Kerja sama lokal. Bukan hanya pengalaman pelayanan di area hotel, melainkan pengalaman menyeluruh destinasi atau kota tersebut. Untuk itu hotel harus bekerja sama dengan sektor lainnya di industri wisata, seperti pengusaha travel dan penyewaan mobil, restoran yang unik, sasana kebugaran, atraksi wisata, dan pemandu wisata.
Tentu saja kerja sama tersebut bersifat business to business yang artinya setiap pihak memperoleh untung. Bagi tamu sendiri, dia akan mendapatkan pengalaman paripurna selama liburan tersebut. Dan, tidak repot-repot lagi akan melakukan pemesan sesui dengan kebutuhan selama berwisata. Karena sudah disiapkan oleh pihak hotel yang sangat terintegrasi.
Ketiga, Nilai tambah (value added). Pengusaha hotel wajibmemberi nilai tambah kepada produk layananya. Pemilik hotel dan tim yang mengelola harus fleksibel dan lincah dalam membuat skenario perencanaan, dan memonitor pergerakan pasar.
Cara pertama adalah membuat situs pemesanan menjadi lebih mudah diakses oleh masyarakat lokal dan wisatawan domestik, sehingga mereka mudah melakukan pemesanan.Langkah berikutnya adalah membuat paket yang bernilai tinggi bagi konsumen. Untuk itu mereka bisa bekerja sama dengan sektor lainnya di industri wisata. Bukan berarti menurunkan harga, tapi menciptakan paket dari harga tertinggi dalam pentarifan. Kemudian menambah beberapa pilihan seperti makan, penggunaan sasana kebugaran, atau paket minuman, sehingga harga tersebut terlihat sangat ekonomis dan bernilai. Namun harus dievaluasi paket mana yang bekerja dengan baik dan mana yang tidak
Keempat, Gift voucher. Upaya lain yang bisa dilakukan oleh pengusaha hotel adalah mulai membuat gift voucher yang menarik. Selama ini voucher-voucher itu menghasilkan tambahan pemasukan instan bagi hotel. Pembelian voucher menginap, spa, dan makan di restoran.
Kelima, Layanan pesan-antar Peluang lain yang bisa ditangkap pengusaha hotel adalah penjualan makanan dengan layanan pesan-antar. Fenoena pemesanan daring telah mengubah gaya hidup masyarakat saat ini. Hal ini harus ditangkap oleh pemilik hotel. Layanan pesan-antar makanan menurut analisa penulis tidak akan berhenti selama pandemi, namun berlanjut seiring mobilitas masyarakat yang tinggi. Hal ini sebenarnya juga menjadi strategi marketing pihak hotel kepada konsumen, yakni untuk menikmati santapan hotel tidak harus menginap di hotel.
Keenam, Kreatif berinovasi. Pengusaha hotel harus kreatif dan fleksibel dalam menjalin kerja sama dengan rekan-rekan baru di sekitar mereka. Dengan begitu ada peluang memperoleh profit kembali, dari cara-cara baru yang tak terpikirkan sebelum wabah merebak. Ini semua tergantung dari pihak hotel untuk berinovasi, mengantisipasi, dan beradaptasi dengan perubahan.
Ketujuh, Digitalisasi. Saat ini, tantangan untuk merek dan pemasar terjadi bahkan pada tahap sekadar untuk menjangkau pelanggan. Dalam kondisi ini, pemasar perlu mengubah cara mengelola penjualan dengan berdasarkan data perubahan pola konsumsi konsumen sehingga dapat mendorong perkembangan positif bisnisnya untuk jangka panjang.
Fokus pengelolaan krisis saat pandemi, yang tidak dapat diprediksi kapan akan berakhir, adalah dengan mengandalkan saluran digital dan virtual. Semua cara kerja, pengambilan keputusan, pengelolaan rantai pasok, dan model bisnis perusahaan perlu mengadaptasi penggunaan teknologi informasi untuk menopang perkembangan perusahaan. Pergeseran ini akan berdampak pada budaya organisasi, strategi penetrasi pasar, model bisnis, basis biaya perusahaan, dan perspektif manajemen resiko di mana mendatang.
Di sisi lain, kebiasaan setiap orang di masa pandemi juga akan menuntut pengelola wisata dan pemilik properti penunjang industri ini untuk lebih memerhatikan aspek kebersihan dan kesehatan. Tanpa memberi perhatian pada masalah kesehatan, siap-siap ditinggal pengunjung. Bagaimanapun, wabah Covid-19 memunculkan kebiasaan-kebiasaan baru. Standard-standard baru yang lebih berorientasi pada aspek kesehatan.
- Desiana Astika Ratna K., Mahasiswa S2 Ilmu Manajemen Undiksha