Surya Subratha, seorang perupa kelahiran Bali. Ia kuliah di ISI Yogya dengan mengambil jurusan seni murni. Setelah tamat, setelah kepulanganya ke Bali, sekitar akhir tahun 2019. ia mulai terusik oleh memori sewaktu berkarya di Bali saat belajar di SMSR. Ia mulai akrab lagi dengan suasana tradisi Bali.
Surya bergairah untuk berkarya, dengan menggali akar tradisi yang kemudian ditampilkan kedalam wujud visual. Keinginan untuk mencari ke akar tradisi ini, berhasil memberikan nuansa visual yang berbeda, terutama dapat diamati dari peralihan pilihan warna-warna cerah psychedelic, ke arah warna-warna yang monocrome. Warna monocrome ini sangat kental dengan nuansa visual tradisi Bali. Komposisi dan kombinasi itu yang akrab dikenal dengan sigar mangsi.
Sebuah capaian visual yang hibrid dan segar. Seperti kita melihat benih-benih baru dari perkawinan antara seni yang kental dengan unsur-unsur estetika tradisi dan sentuhan estetika kontemporer. Dari proses eksplorasinya itu, mengantarkan Surya, sebagai salah satu winner dari Titian Prize 2020 di Titian Art Space, Bali.
“Saya melihatnya sebagai sesuatu yang segar, karena walaupun pondasi estetisnya adalah dari akar-akar tadisi, tetapi dia mampu mengejawantahkan kedalam sebuah kesegaran, walau masih terlalu bombastis bila disebut sebagai sebuah kebaruan. Ya, sebuah presentasi visual yang segar dengan nuansa kekinian, yang dilandasi akarbtradisi, ” kata I Gede Jaya Putra penulis pemeran yang juga sejawat Surya Subratha.
Karya-karya yang dibuat dalam periode Desember 2019 – Desember 2020, inilah yang disajikan dalam pameran tunggal “Membentang Ruang” di Kulidan Kitchen Space, Bali.
Dari sekian percobaan, baik sketsa maupun gambar, tidak menutup kemungkinan di dalam menghadirkan sebuah lukisan Surya justru menambahkan figur ataupun karakter-karakter yang belum ada pada proses percobaannya.
Proses kreatif Surya juga meliputi medium teknis, yakni ada sebuah daya pembeda di da-lam melampiaskan goresan berupa garis, warna, bahkan bentuk, dengan orientasi men-coba untuk membebaskan diri, dari persoalan keterikatan atas pakem-pakem yang sela-ma ini ia telah pelajari.
Mengulik lebih dalam lagi, cara penyajian karya Surya termasuk katagori berbeda, karena apa yang diinginkan Surya, sudah jauh melampaui display sebuah lukisan. Surya mengupayakan penyajian karya seperti pembacaan ritual tradisi di Bali, di mana ia terinspirasi dari ider-ider, langse, leluwuran dan diolah secara kreatif serta disodorkan kepada publik untuk diapresiasi. Hal itu diniatkan, sebagai sebuah progress, apakah karya Surya masih bisa dibaca sebagai sebuah lukisan atau justru karya tersebut telah berevolusi? sekiranya persoalan itu adalah salah satu cara Surya untuk mencari penilaian publik terhadap dirinya, untuk menentukan di mana ranah keberadaannya di masyarakat dan medan seni.
Setelah dipahami Surya lebih condong dan Intens pada ranah imajinatif, karena persoalan imajinatif adalah persoalan yang begitu lu-as, begitu liar, nakal, terkait akan kemungkinan dan ketidakmungkinan, sebuah ruang yang transparan.
Dengan berbekal kesadaran itu dan proses olah rasa yang dilakukan selama perjalanan kuliah hingga kini, Surya berhasil menciptakan figur berupa karakter – karakter yang disimplekan, bahkan upaya transformasi dari wujud nyata merujuk pada wujud sederhana. Yang menjadi menarik dari karakternya, diluar kesan nyeleneh, karakter tersebut memiliki gestur yang mampu merepresentasikan situasi saat ini, baik berupa isu sosial, ekologi maupun persoalan budaya, yang mana peran karakter menjadi gambaran kegelisahan Surya terkait dengan peristiwa yang ia sadari.
Vincent Chandra dari Gurat Institute menilai karya-karya Surya Subratha, terlepas dari terbaca atau tidak terbaca muatan makna-makna dalam karyanya tidaklah menjadi sebuah persoalan. Sebaliknya, ini yang menjadi kekhasan wahana seni lukis Surya dan juga pelukis-pelukis lainnya.
Bila komik umumnya mengandalkan balon-balon dialog untuk berkomunikasi, maka karya Surya dapat mengandalkan simbol dan bahasa rupanya. Dalam seni lukis dan cabang seni rupa lainnya, tidak selalu makna itu hadir secara gamblang dan harus tersampaikan langsung pada saat dan detik itu juga. Biarlah karya seni itu selalu menghadirkan pertanyaan-pertanyaan, memberi kita ruang untuk merenung dan berkontemplasi. [T] [*]