Berangkat dari sebuah kewajiban untuk mengerjakan sebuah tugas penulisan opini oleh seorang dosen tempo waktu, mau tak mau saya yang seorang pemalas ini mencoba mengobrak-abrik kembali pemikiran kritis yang sudah setahun lebih tak pernah dibuka lagi. Maklum, pasca setahun setelah lulus kuliah dan selama beberapa bulan berdiam diri di rumah saja, saya sangat jarang berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Perasaan nyaman berada di dalam kamar dan berbaring di atas kasur membuat saya membunuh insting berpikir kritis secara tidak langsung. Hingga tiba pada momen ini, saya harus kembali mencari informasi terkait perubahan, tema besar dalam tulisan ini.
Oleh karena saya seorang pemalas; malas membaca, malas googling, malas membersihkan kamar dan malas-malasan lainnya, maka saya memutuskan untuk pergi ke sebuah coffee shop di pusat kota. Saya cukup sering berkunjung ke coffee shop itu. Pelayannya ramah dan situasinya tak ramai dan tak sepi, pas untuk saya yang mencoba mencari inspirasi. Setiap sudut ruangan mulai terisi dengan pengunjung. Ada yang datang sendirian, ada yang datang berpasangan, ada yang mahasiswa, ada juga yang pegawai kantoran. Mata dan telinga ini mencoba mengamati keadaan sekitar. Banyak topik pembicaraan yang terdengar jelas di telinga. Mulai dari tugas kuliah, keluh pegawai kantor dan masalah pribadi salah seorang pengunjung.
Samar-samar, ada ingatan masa lalu yang melintas dalam benak saya. Sebuah memori manakala saya masih seorang mahasiswa S1 tingkat akhir yang sedang menyusun skripsi. Suasana kafe saat itu telah membawa saya bernostalgia kembali ke masa-masa sulit tersebut. Kala itu, saya yang seorang pemalas sangat kesulitan mencari titik terang di perpustakaan untuk bahan penelitian saya. Alhasil, saya lebih sering berkunjung ke kantin saat yang lain berkunjung ke perpustakaan kampus. Namun, dari sanalah semua pencerahan menulis skripsi saya dapatkan. Sejak saat itu saya percaya bahwa Kantin adalah “Perpustakaan” versi mahasiswa pemalas seperti saya ini.
Kejenuhan akan suasana perpustakaan terlepas dari pribadi saya yang seorang pemalas, membuat saya betah berdiam lama di Kantin kampus. Yang mulanya hanya ingin sekadar nongkrong sembari ditemani segelas kopi dan 2 buah pisang goreng, tapi lama kelamaan hal itu tidaklah cukup.
Pada suatu siang, kantin kampus terlihat lebih ramai dari biasanya. Tampak terlihat beberapa dosen, mahasiswa-mahasiswa semester akhir yang serumpun dengan saya, petugas kebersihan dan satpam serta supplier yang menyerahkan barang dagangan ke penjaga kantin. Semua kelompok tersebut nampak asyik membicarakan sesuatu. Kelompok mahasiswa akhir yang membicarakan kekesalannya atas dosen pembimbing mereka, petugas kebersihan dan satpam yang membicarakan tentang kehidupan rumah tangga mereka serta 2 orang dosen yang mendiskusikan tentang jam tangan yang baru saja dibeli oleh salah seorang dari mereka.
Saya yang notabene nya seorang diri di pojok kantin mencoba nimbrung dengan kelompok mahasiswa tadi yang kebetulan sepertinya sedang diberi wejangan oleh salah seorang dosen. Saya ingat betul apa yang dikatakan oleh dosen tersebut
“Kalau kalian mau cari kerja nyaman, cari saja PNS. Tapi kalau mau cari yang bisa mengembangkan potensimu, cari kerja di swasta”
Sungguh singkat pesan beliau namun sedikit tidaknya membuka mata kami yang masih bingung setelah wisuda mau kemana. Selanjutnya, dosen tersebut memberikan pandangannya tentang hidup yang ia dasarkan dari pengalamannya semasa muda. Perbincangan pun lanjut kepada sebuah diskusi antara mahasiswa dan dosen. Sungguh luar biasa pembelajaran hidup yang kami dapatkan yang mungkin tak bisa kami temukan dalam perpustakaan. Selepas hari itu, kantin menjadi salah 1 TOP List saya jika berkunjung ke kampus.
Di lain hari, sekedatangan saya dari perpustakaan, saya kembali singgah ke kantin. Kali ini, kantin tidak terlalu ramai. Beberapa teman seangkatan yang saya kenal dan seorang dosen sedang berdiskusi di pojok kantin. Sebut saja Raka, salah seorang teman saya. Raka menceritakan keluh kesahnya tentang ia yang sulit sekali mencari waktu bimbingan dengan dosen pembimbing. Raka bercerita dengan wajah berapi-api menandakan ia sangat kesal dengan perlakuan dosen pembimbingnya tersebut.
Seusai ia bercerita, sang dosen yang ada di hadapannya mencoba menjawab dengan pelan dan tenang apa yang menjadi alasan mengapa seorang dosen terkadang sulit untuk dihubungi. Sembari menyiup segelas kopi dan menikmati sebatang rokok ditangan kanannya, ia mulai bercerita. Diskusi antara Raka dan dosen kami itupun mampu membuat Raka termenung sesaat mencoba memahami situasi yang terjadi.
Raka sadar bahwa ternyata dunia tak hanya berpusat kepadanya. Bukan Raka seorang yang menjadi prioritas dari dosen tersebut dan bukan hanya 1 tugas dari seorang dosen. Setelah mendengar penjelasan tersebut, Raka meminta maaf dan obrolan berlanjut dengan Raka yang meminta saran untuk penelitian yang sedang dikerjakan dengan dosen kami tersebut.
Hari ke hari, minggu berganti minggu, akhirnya saya menemukan sebuah pola yang selama ini tak pernah saya sadari khususnya tentang para pengunjung kantin di kampus. Bahwasannya para pengunjung kantin adalah rata-rata mereka yang jenuh dengan keruwetan pembelajaran di dalam kelas dan mencari sedikit angin segar di kantin. Entah itu berupa obrolan santai bersama teman atau seperti yang dilakukan teman saya Raka atau sekelompok mahasiswa yang diberikan wejangan kehidupan oleh seorang dosen beberapa hari lalu. Ini bukan tentang bahwa nongkrong di perpustakaan itu buruk dan nongkrong di kantin itu baik. Akan tetapi ini hanya tentang bagaimana seseorang yang merasa dirinya pemalas, mampu mencari tempat dimana rasa malasnya tersebut dapat ia kurangi pelan-pelan.
Di samping itu, saya melihat bahwasannya memang benar kalau perpustakaan yang kita miliki saat ini memang minim sekali dengan ruang untuk berdiskusi. Alih-alih berdiskusi, berbicara sedikit saja bisa langsung ditegur oleh petugas perpustakaan. Perpustakaan harusnya menyediakan sebuah ruangan khusus untuk berdiskusi agar para pengunjung bisa bertukar pikiran dengan orang lain terkait literature yang baru saja mereka baca. Hal inilah yang menjadi point plus yang dimiliki oleh kantin kampus.
Tak jarang saya temui beberapa mahasiswa menggunakan kantin sebagai tempat belajar atau bahkan bekerja kelompok membuat tugas kuliah. Ini mungkin sebuah “alih fungsi lahan” dari Kantin yang awalnya sebatas tempat bersantai kini juga menjadi tempat belajar. Kantin memiliki ruang diskusi yang bebas bisa dimasuki oleh siapa saja dan dilakukan sampai kapan saja.
Bahkan, diskusi yang dihadirkan pun tak sebatas tentang teori dalam buku saja namun juga diskusi tentang situasi yang terjadi disekitar kita. Sebuah wadah bertukar pikiran yang mengedepankan sisi holistik didalamnya. Meskipun perlu diakui bersama bahwa terkadang suasana kantin kurang kondusif dalam berdialog, namun itu bukanlah kendala besar bagi mahasiswa yang juga disaat yang sama memang mencari “hiburan” saat melihat banyak orang yang bertransaksi atau sekadar berlalu lalang di sekitar kantin.
Sekali lagi, di mana pun tempatnya bukanlah masalah asalkan itu bisa membuat kalian nyaman dan syukur syukur bisa memberikan pandangan baru dalam menjalani hari. Akhir kata, saya tetap menganggap bahwa kantin adalah “perpustakaan” yang sangat baik bagi mahasiswa pemalas. Itu bukan hanya “perpustakaan buku” namun juga “perpustakaan kehidupan sosial”.
Oleh karena ternyata kopi yang saya minum di coffee shop saat itu sudah habis terminum tanpa terasa, maka itu waktunya saya kembali ke rumah, sebuah “perpustakaan kehangatan”. Salam perubahan. [T]