Cerpen Supartika
Hingga Jumat Kliwon ini, sudah hampir seminggu Arjuna bertapa di Gunung Indrakila untuk mendapat anugerah panah yang maha sakti dari Dewa Siwa. Ia bertapa dengan khusyuk dan suntuk, duduk bersila di atas sebuah batu yang permukaannya agak rata dan mulutnya komat-kamit tanpa suara, entah mantra apa yang diucapkannya. Sementara di bawah kakinya, pada cekungan batu, dua ekor semuat bersaudara sedang gelisah. Dua ekor semut jantan-betina ini diutus Dewa Siwa untuk menggoda tapa Arjuna.
Untuk mempermudah dalam hal menuliskannya, mari kita sebut semut tertua atau semut betina dengan sebutan Semut I dan adiknya, semut jantan, dengan sebutan Semut II.
Titah Dewa Siwa terus terngiang di telinga mereka: Aku tak ingin panah sakti ini berpindah ke tangan Arjuna, kalian harus menggagalkan tapanya bagaimanapun caranya.
Bukan sembarang titah, seperti ada sebuah ancaman yang terkandung dalam titah itu. Mereka menafsirkanya sendiri, jika gagal melakukan titah itu bukan tak mungkin akan ada hukuman yang menunggunya. Namun bukan tak mungkin pula jika Arjuna melakukan sesuatu yang tak terduga saat mereka mengganggu tapanya. Menggencet tubuh kecilnya dengan jarinya misalnya hingga membuat kedua semut itu penyet serupa perkedel.
“Dari mana kita memulainya?” Semut II bertanya kebingungan.
Semut I hanya menggelengkan kepala.
“Apakah kita akan diam seperti ini dan tidak segera bertindak?”
“Ini keadaan yang serba sulit.”
“Kita harus memilihnya, ini titah.”
“Sebenarnya aku tak ingin memilih keduanya. Lebih baik aku pulang ke rumah dan menikmati remah beras yang tersisa.”
“Bagaimana kau masih bisa memikirkan makanan sementara kita sedang berada di posisi sulit?”
“Ayah dan ibu kita pasti sedang gelisah menunggu di rumah.”
“Bukankah mereka sudah merestui kita untuk melakukan tugas mulia ini?”
“Tugas mulia katamu?” Semut I kembali menggelengkan kepala, “menggagalkan usaha seseorang adalah tugas terkutuk.”
“Tapi ini titah, kita tak bisa melawan titah.”
“Entah apapun namanya, jika Arjuna benar-benar gagal menyelesaikan tapanya, kita akan dianggap sebagai makhluk yang tak bermartabat.”
“Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan?”
“Tak ada pilihan.”
“Maksudmu? Kau memilih pulang dan melalaikan titah yang diberikan?”
“Tentu tidak, kita harus menjalankannya,” Semut I diam sejenak. “Meskipun kelak jika tugas ini berhasil kita akan dianggap makhluk tak bermartabat karena menggagalkan usaha Arjuna.”
Mereka berdua diam sejenak. Semut II memandang ke sekeliling yang sedikit remang-remang karena tertutup kaki Arjuna. Hanya ada celah kecil yang tampak putih di sisi barat pada celah batu yang kecil, dan dari sanalah cahaya bisa masuk.
“Dari mana kita akan memulainya?”
“Kau mau dari mana?”
“Aku lebih muda darimu. Dan sebagai semut muda yang ada di sini, aku menyerahkan sepenuhnya padamu.”
Semut I berjalan mendekati telapak kaki Arjuna. Ia melihat telapak kaki yang ukurannya ratusan kali lipat dari ukuran tubuhnya. Ia membayangkan bagaimana jadinya jika telapak kaki itu menindih tubuhnya dan ia tak akan sempat berteriak atau sekadar merasakan sakit, karena dalam hitungan detik tubuhnya akan rata.
“Ternyata kaki pangeran yang dibilang tampan oleh bangsa manusia ini pecah-pecah,” celetuk Semut II.
“Hus, jaga bicaramu. Jangan keras-keras, nanti ia mengetahui kehadiran kita.”
“Bukankah nanti ia juga akan mengetahui bahwa kita yang mengganggu tapanya.”
“Tapi setidaknya, kita tidak kentara sebelum berbuat sesuatu.”
“Bagaimana kita memulainya?” seperti seorang anak kecil, Semut II terus bertanya dengan cerewet.
“Aku belum tahu, kita harus mencari celah yang tepat.”
“Kita gigit saja telapak kakinya!”
“Telapak kakinya keras, gigimu bisa copot. Juga sangat berbahaya. Jika ia terkejut dan berdiri, kita bisa langsung tergencet.”
“Lalu kita harus bagaimana? Bukannya jika kita naik ke atas dan menggigit tubuh lainnya juga berbahaya? Bisa saja ia menggunakan tangannya lalu memencet kita hingga penyet. Sama-sama berbahaya.”
Dua ekor semut yang gundah duduk kembali di antara cekungan batu. Pikiran mereka penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga dan tentu saja membahayakan.
“Nasib bangsa semut memang kadang kebanyakan tak mujurnya,” celetuk Semut I.
“Tapi setidaknya ini titah mulia, dari Dewa Siwa. Bukan tidak mungkin jika tugas kita berhasil, hidup kita akan bahagia. Dan mungkin kelak kita bisa terlahir kembali menjadi manusia karena kita dianggap berjasa.”
“Kemungkinan selalu ada, termasuk kemungkinan kita mati dalam tugas ini dan orang tua kita di rumah akan menangis sepanjang hari meratapi kepergian kita dan ternyata kita tetap lahir kembali sebagai seekor semut.” Mata Semut I berkaca-kaca. Ia berpikir, mungkin saja saat ini mata orang tuanya juga tengah berkaca-kaca menantikan kepulangannya.
Dalam keadaan seperti ini, ia tentu saja sangat menyesal dilahirkan sebagai seekor semut. Sejak jaman manusia pertama, bangsa semut selalu dijadikan tumbal untuk menggagalkan sebuah pertapaan. Bahkan tak jarang dalam sekali menggagalkan pertapaan, dikerahkan hingga ratusan semut. Dan tak jarang pula, setengah bahkan lebih dari jumlah mereka mati karena si pertapa marah akibat tapanya gagal dan membunuh semut yang dilihatnya. Diinjak, ditepuk, digilas, digencet, bahkan yang lebih sadis lagi dibakar hidup-hidup.
Belum lagi ribuan semut tewas dibantai manusia di gubuk-gubuk saat mereka memungut sisa-sisa nasi, remah beras, atau potongan kelapa yang dijatuhkan atau dibuang manusia. Saat mereka kentara bergerombol mengangkut sisa makanan itu, mereka malah diinjak-injak, dibakar dengan seenaknya tanpa rasa bersalah, padahal bangsa semut tak mencuri, hanya memungut yang sudah tak diperlukan lagi.
“Aku kira, sekelas anak Raja Pandu tak mungkin membunuh kita sembarangan,” Semut II mencoba menghibur kakaknya.
“Arjuna itu manusia!”
“Tapi, aku melihat dia sangat khusyuk melakukan tapa. Dia seperti patung, tak bergerak sedikitpun. Walaupun kita menggigitnya, aku kira ia tak akan memedulikan kita.”
“Kalau dia tak terganggu saat kita menggingitnya, artinya kita gagal. Tetap saja ada hukuman yang menunggu karena kegagalan kita.”
Mereka kembali terdiam. Samar-samar mereka mendengar suara burung dari luar sana. Sementara Arjuna tetap mematung menjalankan tapanya.
“Apapun risikonya, kita harus jalankan titah ini!” Semut II bangkit dan ingin segera menggigit bagian kaki Arjuna yang tampak olehnya. Namun Semut I buru-buru menarik dan mendudukkannya.
“Jangan lakukan hal yang sia-sia.”
“Tidak ada yang sia-sia, bagaimana kita tahu ini sia-sia jika tak mencobanya.”
Semut I terdiam.
“Aku akan menggigitnya!” Semut II keras kepala. Ia beranjak dan mendekat ke kaki Arjuna. Berkeliling mencari bagian yang sekiranya tidak keras untuk digigit. Ia melihat bagian atas telapak kaki belakang Arjuna yang berkerut. Ini tidak begitu keras, pikirnya.
Perlahan ia naik lewat telapak kakinya. Satu langkah, ia menghentikan langkahnya untuk melihat reaksi Arjuna. Ada degup jantung ketakutan yang dirasakannya. Semut I sedikit ketakutan melihat apa yang dilakukan adiknya.
“Turun kau, jangan gegabah!” dipanggilnya adiknya dengan suara seperti orang berbisik namun sampai ke telinga Semut II.
Semut II tak menghiraukan panggilan itu, dan karena pada langkah pertama Arjuna bergeming, ia terus melangkah selangkah demi selangkah, tentu saja dengan degup jantung yang semakin tak teratur. Ia tetap waspada jika kemungkinan buruk terjadi semisal Arjuna merasakan kehadirannya dan membalikkan telapak kakinya yang bisa membuatnya tergencet. Sesekali dilihatnya tekstur batu di bawah walaupun agak remang. Apabila Arjuna sadar dan membalikkan telapak kakinya, ia bisa menggulingkan tubuhnya dan bersembunyi pada cekungan batu.
Telapak kaki terlewati dan kini ia telah berada di atas telapak kaki belakang Arjuna yang berkerut. Ia memulainya dengan gigitan ringan. Arjuna bergeming. Lebih keras, Arjuna juga bergeming. Digigitnya lebih keras, sangat keras bahkan sampai bergelantungan sambil menggigit. Tetap saja usahanya tak berhasil. Karena beberapa kali menggigit dan tak mempan, ia memutuskan untuk turun dan menemui kakaknya.
“Kau melakukan sesuatu yang sia-sia,” Semut I berkata dengan nada mengejek saat Semut II kembali. “Aku sudah memikirkan dengan matang, dan ini aku kira akan berhasil.”
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Kita naik ke atas. Cari telinganya. Kita masuk ke dalam telinganya, lalu kita gigit.”
“Bagaimana caranya kita sampai ke telinganya?”
“Kita harus keluar dari sini. Kita harus naik lewat pakaiannya, jangan naiki tubuhnya. Jika kita menaiki tubuhnya, ia pasti menyadarinya. Aku kira Arjuna sudah tahu dan merasakan sakit saat kau menggigitnya, hanya saja ia menahannya.”
Mereka berjalan mengikuti lubang cahaya yang kecil hingga sampai di luar. Lubang cahaya itu mengarah ke samping kiri Arjuna. Kedua semut itu mendongakkan kepala melihat letak telinga Arjuna yang tinggi. Terlihat olehnya rambut Arjuna yang dibiarkannya terurai sedikit bergerak-gerak karena hembusan angin yang cukup kencang.
“Ini terlalu tinggi, apalagi naik lewat pakaiannya. Jika angin kencang saat kita berada di atas, tubuh kita akan terlempar,” kata Semut II.
“Kita naik lewat belakang. Angin tak akan menyentuh kita.”
Semut I berjalan ke belakang tubuh Arjuna, memilih lokasi yang cocok dan mulai naik. Semut II mengikutinya. Mereka mulai dengan menaiki kemben Arjuna kemudian meraih kain putih yang diselempangkan pada tubuhnya. Kain itu ternyata agak licin sehingga mereka harus benar-benar mencengkeram kain agar tak terpeleset dan jatuh. Dengan perjuangan yang cukup melelahkan menaiki kain yang licin, mereka pun sampai di pundak kanan Arjuna.
“Bagaimana sekarang?” Semut II bertanya.
“Mau tidak mau kita harus lewat lehernya. Tak mungkin kita menaiki rambutnya. Angin bisa saja menghempaskan tubuh kita.”
“Kau yakin ini berhasil?”
“Kita harus cepat. Berlari lalu masuk ke dalam lubang telinganya.”
Setelah mengambil nafas panjang, untuk mencegah kemungkinan terburuk, mereka berdua berlari zig-zag. Kiri, kanan, kiri, kanan, mereka zig-zag menaiki leher samping kanan Arjuna, menuju ke pipinya, lalu berbelok dan masuk pada lubang telinga kanannya. Arjuna bergembing bak patung dan hanya rambut dan kain bagian depan tubuhnya saja yang bergerak-gerak diterpa angin.
Lubang telinga Arjuna begitu gelap. Semakin ke dalam semakin tak ada cahaya. Mereka hanya bisa melihat cahaya jika menoleh ke belakang.
“Bagaiama sekarang?”
“Kita masuk sampai ke ujung. Ikuti saja aku.”
Dan sampai di tempat yang ditentukan, kedua semut itu berhenti. Semut II duduk menunggu perintah, sementara Semut I meraba-raba dalam kegelapan mencari tempat yang sekiranya bisa digigit. Karena jika salah, ia hanya akan menggigit kotoran telinga Arjuna dan tentu saja tak akan berpengaruh apapun. Dalam kegelapan ia mengorek-ngorek dan mencoba membedakan kotoran telinga dengan kulit telinga.
“Kita gigit di sini!”
“Di mana? Aku tak melihatmu.”
“Ikuti arah suaraku.”
Dan Semut I menyanyi pelan agar Semut II bisa menemukan keberadaannya.
“Kita gigit di sini!”
“Sekarang?”
“Ya sekarang!”
“Satu, dua, yaa…..”