Sabtu, 5 Desember 2020, merupakan hari berbahagia bagi Agus Wiratama, Devy Gita, Manik Sukadana, dan Jong Santiasa Putra. Pasalnya hari itu, buku pertama mereka diluncurkan. Agus dan Devy dengan buku kumpulan cerpennya, serta Manik dan Jong dengan buku kumpulan puisinya.
Malam itu pula ada acara diskusi dan bedah buku mereka, para pembedahnya ada Dharma Putra seorang pegiat lontar, Satyawati seorang penulis juga mahasiswa linguistik serta dimoderatori oleh Sidhiy seorang kurator dan penulis.
Menerbitkan karya sendiri ke dalam sebuah buku tentu menjadi impian bagi setiap penulis. Tulisan menjadi lebih tertata dengan dijadikannya sebuah buku. Terkadang kita sering membuat catatan atau tulisan lainnya, tetapi tercecer di mana-mana. Maka dengan dijadikannya sebuah buku, ceceran-ceceran itu lebih tersusun.
Buku juga menjadi catatan perjalanan kepenulisan atau barangkali menjadi sebuah arsip bagi penulisnya. Entah itu arsip bagi dirinya atau orang lain, karena dengan buku setidaknya kita telah mencatat sebuah peristiwa, ide atau gagasan. Dengan begitu penulis atau peristiwa itu akan hidup lebih lama dalam benak para pembacanya. Misal kita ambil saja contoh seperti Pramudya Ananta Toer yang sampai saat ini namanya bahkan masih didengungkan melalui karya-karyanya. Atau contoh lainnya seperti Vitruvius seorang penulis dan arsitek Romawi yang berasal dari abad ke-1 SM yang tulisan-tulisannya sangat berpengaruh di dunia arsitektur.
Bayangkan saja seseorang masih diingat dan dikenang meski sudah dua ribu tahun lebih berlalu pasca kematiannya. Tulisan juga bisa menjadi penentu ke mana arah dunia ini akan melaju. Itu adalah salah satu contoh dari manfaat menulis, tetapi yang lebih penting itu adalah bagi si penulis. Bagaimana ia mengolah isi pikirannya ke dalam sebuah tulisan. Dan bagaimana ia melihat sekitarnya lalu menuangkannya ke dalam sebuah tulisan.
Seiring berjalannya waktu tulisan akan terus berkembang juga seiring dengan bagaimana seorang penulis melihat sekitarnya dengan cara yang berkembang juga. Jadi menulis bukan hanya menggaris tinta di atas kertas atau memencet huruf di keyboard. Tetapi juga bagaimana seorang penulis mengolah buah pikirannya dan diceritakannya melalui huruf.
Maka dari itu proses kepenulisan seseorang sangat menarik untuk diulik. Bagaimana ia memandang, mengolahnya, lalu kemudian menjadikannhya sebuah tulisan. Semua itu menarik untuk disimak dan membuat pembaca juga bisa mengulik tidak hanya tentang karyanya tetapi juga penulisnya.
Dari karya pun kita bisa membaca bagaimana karakter penulis, bagaimana tendensinya dalam menulis, dan apa saja yang mempengaruhi tulisannya. Seperti cerpen Devy yang banyak menyeruakan kegelisahan bagaimana orang-orang memandang perempuan dan posisi perempuan di masyarakat.
Jong dengan catatan lukanya, sebagai pengingat bahwa luka itu pernah singgah dan menetap di tubuhnya. Manik dengan segala harapan serta angan-angan dan dokumentasi perasaannya saat menulis puisi. Serta Agus akan kegelisahannya yang dituangkan dalam cerpennya, serta bagaimana cerpen menjadi media belajar untuk proses kepenulisannya.
Saat ini Agus, Devy, Manik, dan Jong telah membuat sebuah langkah dari perjalanannya. Mengarsipkan perjalanan kepenulisannya serta membagikan apa yang selama ini dipikirkan, membagikan semua kegelisahannya. Karena saya yakin sebuah tulisan hadir untuk mengutarakan apa yang tak bisa disampaikan secara langsung oleh penulis.
Sama seperti pendapat Dharma Putra mengenai puisi Manik dan Jong. Ia berpendapat apa yang mereka sampaikan di puisi itu terasa sangat berjarak dengan penyairnya. Seakan-akan ia seperti diri penyair yang lain, diri yang berbeda dengan apa yang kita lihat ketika memandang mereka. Memang pada suatu titik kita tidak tahu mau dibawa ke mana apa yang kita rasakan atau dengan siapa mau diungkapkan. Maka menulis menjadi jalan keluar bagi hati-hati yang gelisah, menjadi media untuk mengungkapkan apa yang tak bisa diungkapkan. Jadi jangan heran jika terkadang tulisan memiliki image yang berbeda dengan penulisnya. Kertas menjadi ruang privat untuk penulis, tempat dia menorehkan setiap angka dan huruf, mengkurasinya dan membentuk sebuah pengarsipan gagasan. Bagaimana ia memandang ruang privat tersebut menjadi sebuah arena bermain atau arena peperangan dalam mengalih wahanakan gagasan dalam sebuah karya.
Selain itu dalam acara diskusi malam itu juga merupakan pembukaan dari program Siar Siur Kalangan. Sebuah program di mana karya-karya Agus, Devy, Manik, dan Jong dibaca, direspon, dan dialih wahanakan dalam sebuah medium lain. Bisa berupa pembacaan, respon atau menjadi lagu dan musik. Dalam program ini selain mengalih wahanakan juga menjadi alternatif bagi para pendengar dalam menyerap atau mendengarkan karya sastra.
Selain itu dalam program ini juga dapat mempertemukan dua titik. Di mana mempertemukan bagaimana musisi dan penulis dalam melihat karya sastra. Bagaimana musisi membaca sebuah cerpen atau puisi lalu memindahkannya ke medium bunyi. Tentu saja kesejarahan tubuh seorang musisi dan jenis musik yang digelutinya akan menciptakan hasil yang berbeda. Menjadikan respon mereka terhadap karya cerpen dan puisi menjadi beragam dengan taste dan melodi musiknya berbeda pula.
Hasil ciptaan musisi akan respon mereka terhadap cerpen dan puisi tersebut akan memberikan warna baru atau mungkin pemaknaan lain. Musik juga meenghadirkan pemaknaan yang berbeda, bagaimana sebuah melodi menghasilkan perasaan tertentu. Apakah respon tersebut akan memperkuat makna dari karya sastra atau malah memberikan pemaknaan yang berbeda. Tetapi terlepas dari perdebatan antara memperkuat atau menghadirkan makna lainnya, dengan mengalih wahanakan dapat memberikan kemungkinan-kemungkinan baru. Misalnya saja dalam efisiensi waktu dalam membaca karya sastra. Dalam kecepatan dunia sekarang, terkadang banyak orang memilih sesuatu yang instan.
Mengalih wahanakan karya ini bisa menjadi solusi bagi mereka yang tak sempat untuk membaca. Atau saat bersamaan ketika mendengarkan bisa juga melakukan aktivitas lainnya. Misal mengerjakan tugas atau kerjaan lainnya. Itu adalah salah satu contoh bagaimana keuntungan dari pengalih wahanaan karya sastra tersebut. Tetapi yang jelas dengan adanya pengalih wahanaan ini membuat penyebaran karya sastra bisa lebih luas. Bisa memiliki kemungkinan-kemungkinan baru, entah adanya jalinan kolaborasi lebih lanjut antara penulis dengan musisi atau kemungkinan lainnya.
Pengalih wahanaan karya sastra ini ke medium lain juga menurut saya menjadi cara pengarsipan yang lain. Tidak hanya buku tetapi juga menjadi sebuah musik yang bisa didengar kapanpun dan di manapun. Tentu kita bisa menikmati sebuah karya lebih praktis dengan hanya memutarnya dalam kanal youtube di layar gawai. Jika suatu ketika lupa membawa bukunya atau ingin mengingat kembali apa yang pernah dibaca, dalam hal ini menjadi pemantik dalam mengingat kembali memori yang lalu. Memori akan buku yang telah usai dibaca.
Tetapi dari sekian banyaknya kemungkinan yang hadir, acara bedah buku serta respon cerpen dan puisi ini menjadi sebuah ruang pertemuan. Di mana penulis, musisi, dan sahabat bertemu kembali. Berincang-bincang setelah sekian lama tak melihat wajah satu sama lain. Berbincang akan rencana-rencana masa depan serta karya yang baru saja dibaptis pada malam itu.
Kehangatan terasa menyambar seluruh sisi Warung Men Brayut yang menjadi tempat acara bedah dan perilisan buku tersebut. Membawa serta merta percakapan yang telah lama tertunda serta rindu untuk saling bertemu yang telah mengendap dalam setiap jengkal tubuh. Buku tidak hanya menjadi pengarsipan akan sebuah gagasan pikiran atau dokumentasi hidup seseorang. Juga tidak hanya menjadi sebuah pertemuan bagaimana pandangan seorang musisi dan penulis dalam memandang karya sastra. Tetapi juga menjadi alasan untuk berkumpul kembali, berincang kembali. Melebur rindu dalam setiap halaman waktu. [T]