Makhluk kursi adalah manusia yang tidak Iagi hadir atas namanya sendiri, tetapi pribadi makhluk kursi, sesuai dengan jenis kursinya. Meskipun namanya sama- sama kursi, ada seribu satu macam kursi.
Kursi malas, kursi untuk para pemalas. Kursi makan, kursi buat orang kemaruk makan. Kursi pengantin, kursi yang menyulut pertumpahan darah. Kursi goyang, buat nenek yang masih ingin digoyang. Kursi tamu, kursi untuk memamerkan gengsi. Kursi listrik, kursi buat penghuni neraka.
Kursi anggota DPR, nah ini kursi best seller yang paling laris diperebutkan, karena siapa yang duduk di atasnya akan paling cepat jadi makhluk kursi.
—-
Kursi barangkali adalah benda yang ada dimana-mana, di rumahmu, di sekolahku, di kampusnya, di penampungan kita atau di gedung mereka. Kursi adalah benda mati yang pada dasarnya adalah untuk diduduki, atau barangkali dijadikan tempat souvenir. Biasanya kursi hanya akan dianggap benda mati yang keberadaannya kerap dilupakan. Kecuali mungkin kita baru saja berdiri sepuluh jam, maka keberadaan kursi barangkali menjadi sebuah surga kecil di dunia. Namun, jika diberikan konteks ‘pemerintahan’, tiba-tiba kursi itu jadi rebutan, perdebatan, bahkan percekcokan.
Pada Sabtu, 19 September 2020 telah berlangsung sebuah pementasan monolog dari Teater Ilalang (SMA LAB Undiksha Singaraja) dengan naskah “Kursi” karya Putu Wijaya. Pementasan monolog ini merupakan pementasan monolog kedua dari rentetan acara dari Parade Teater Muda Bali Utara (PTMBU) yang diadakan oleh UKM Teater Kampus Seribu Jendela Undiksha Singaraja.
Seperti yang sudah kita ketahui bersama, rasanya memang mustahil untuk mengadakan parade teater yang melibatkan banyak orang dari berbagai komunitas di masa pandemi ini. Maka kegiatan secara virtual, yang sudah dilakukan oleh UKM Teater Kampus Seribu Jendela merupakan salah satu upaya yang sangat bagus untuk tetap menumbuhkan semangat berteater, khususnya pada komunitas-komunitas teater yang berada di Buleleng.
Menonton pementasan yang berdurasi kurang lebih 15 menit ini, membuat saya tertawa sendiri menangkap maksud dari naskah Putu Wijaya melalui penyampaian yang dilakukan oleh Ni Ketut Santi Sucita Dewi , aktor yang membawakan naskah “Kursi” ini. Bagaimana tidak, sindiran keras bagi pemerintah yang merupakan golongan “makhluk kursi” , begitu terasa dalam pementasan monolog kali ini. Pembawaan Santi yang terus menerus serius dari awal hingga akhir pementasan, menambah kesan lucu lagi bagi saya sendiri karena menggambarkan “makhluk kursi best seller”yang mungkin memang terlihat serius, namun siapa tahu bila sebenarnya memiliki maksud terselubung di dalamnya. Hahaha.
Pementasan yang disutradarai oleh Anggara Surya ini juga menarik perhatian saya melalui pengadaan orang lain yang turut membantu meramaikan pementasan monolog kali ini. Orang-orang yang jumlahnya berkisar 3-4 orang ini, mengambil peran sebagai asisten dari aktor utama yang tetap sibuk memainkan lakonnya.
Dengan hadirnya beberapa orang lainnya, menambah kesan bos pada tokoh yang dimainkan Santi menjadi semakin kuat. Hal ini menjadi semakin menarik, ketika salah satu asisten yang begitu sibuk dengan kegiatan merias wajah Santi.
Namun bukannya menjadi cantik, sang aktor malah dirias menyerupai badut yang bisa dikatakan berparas seram. Entah apa sebenarnya maksud yang ingin disampaikan oleh sutradara pada adegan ini. Namun berspekulasi jelas tidak dilarang disini, sehingga saya pun membentuk spekualasi saya sendiri bahwa “makhluk kursi best seller” adalah seorang badut yang tidak sadar telah dibaduti.
Ada juga adegan perebutan satu kursi yang dibangun dengan suasana yang cukup mencekam. Suara kegaduhan dari orang yang berebut kursi, suara Santi yang tengah menjelaskan keadaan yang berlangsung, serta suara pukulan beberapa benda yang semakin mendramatisir adegan tersebut, sungguh berhasil untuk membangun emosi penonton khususnya saya yang masih asyik menghayati adegan demi adegan. Dan memang bukan suatu rahasia lagi bahwa perebutan kursi memang tak jarang sebagai cikal bakal kerusuhan seperti emosi yang dibagun pada adegan ini.
Namun, pementasan yang dilakukan secara virtual nyatanya memang tak melulu bisa berjalan sempurna seperti yang diharapkan. Pengambilan video serta setting panggung untuk gerakan yang cukup banyak berpindah tempat, sekiranya perlu untuk dipikirkan secara serius agar penonton yang menonton pementasan secara virtual ini, merasakan kenyamanan seperti menonton secara langsung.
Dalam pementasan dari tetaer ilalang ini, masih cukup sering bayangan kameramen yang nampak dalam frame sehingga menutupi aktor yang tengah asyik memainkan perannya. Selain itu juga, dikarenakan pengambilan video yang cukup sering berpindah tempat, menjadikan fokus kamera sedikit terganggu dan membuat video yang diambil menjadi tidak stabil. Alhasil, bberapa adegan terlihat kurang jelas.
Tentunya hal-hal kecil seperti itu akan menjadi pengalaman untuk pementasan virtual selanjutnya di masa pandemi ini. Pementasan virtual memang tak bisa selalu persis sama dengan pementasan yang diadakan secara langsung, baik bila dilihat dari segi pembangunan emosi, dan juga teknis panggung. Namun, sekali lagi pementasan virtual ini tentunya salah satu upaya yang bagus untuk tetap bisa meningkatkan gairah bertetaer pada komunitas-komunitas tetaer di masa pandemi yang mengharuskan untuk tak berkumpul dengan banyak orang seperti yang kita alami sekarang ini. [T]