Kamis pagi terasa lebih istimewa dari biasanya. Bukan saja karena bertepatan dengan Hari libur Nasional “Tahun Baru Hijriyah 1 Muhharam”, melainkan karena rencana perjalanan Saya menuju Kawasan Pegunungan Batur bersama Gus Oka, Tjok Piko, dan Edi. Sejak pagi hari, Ubud diguyur hujan dan angin terasa lebih dingin. Saya pun terlebih dahulu menuntaskan rutinitas pagi dengan menyuapi serta memandikan anak sulung Saya sebelum bersiap berangkat menuju Batur.
Jam menunjukkan Pukul 09:30 WITA, Gus Oka datang serta mengajak Saya untuk berkumpul di rumah Tjok Piko yang terletak tak jauh dari batas Desa Adat Ubud bagian utara. Sesampainya disana, Kami disuguhkan sarapan pagi Nasi Campur. Dalam hati,, “Wah Passs,,, kebetulan belum sarapan”. Tak sampai 15 menit Saya dan Gus Oka menyelesaikan sarapan, langsung saja Kami bergegas memulai perjalanan menuju Batur.
Seperti biasa, perjalanan dari Ubud menuju Batur dilalui melewati Kecamatan Tegalalang. Dalam perjalanan, Kami menyaksikan beberapa kali iring-iringan para penghobi motor konvoi menuju utara, sepertinya mereka memiliki tujuan yang sama ke arah Kintamani. Ya, semenjak memasuki era new normal banyak sekali masyarakat yang berkunjung ke Kintamani untuk sekedar meminum kopi sambil menikmati indahnya Gunung Batur terlebih di akhir pekan atau hari-hari libur.
Tak sampai 40 menit, akhirnya Kami tiba di Pura Ulun Danu Batur, Desa Adat Batur, Kecamatan Kintamani. Kami bergegas masuk menuju ke dalam Pura, karena Jero Gede Batur Duuran bersama beberapa kasinoman telah menunggu kami. Seperti halnya beberapa kali kunjungan ke Pura Ulun Danu Batur, Kami pasti menyempatkan waktu bercengkrama sambil berdiskusi tentang beberapa isu-isu aktual di Bali bersama Jero Gede. Obrolan tampak lebih bersemangat lagi pagi itu setelah hidangan “Kopi Kintamani” dan “Jajan Bali” hadir di depan tempat Kami bersila.
Tak lama setelahnya, Jero Penyarikan Duuran Batur juga tiba di tempat kami duduk dan obrolan menjadi makin bergairah. Pada kesempatan itu, Kami menyampaikan beberapa rencana agenda persembahyangan hari ini, yaitu: di Pura Ulun Danu Batur, di Pura Batu Sila Rupit, dan Pura Tirtha Mas Mampeh. Sungguh terasa beruntung, Jero Gede dan Jero Penyarikan meluangkan waktu juga untuk ikut bersama-sama dengan kami sampai selesai.
Di Utama Mandala Pura Ulun Danu Batur, terlihat tidak begitu ramai walau beberapa pemedek dari luar Desa Batur tampak juga hadir memanjatkan doa kehadapan Ida Bhatari. Jero Gede memberi tanda kepada Kami untuk segera memulai persembahyangan. Kami bersila sejajar didepan Gedong dan Pemangku dengan santun memandu sembah bhakti Kami kehadapan Ida Bhatari. Setelah selesai bersembahyang dan nunas tirtha, Kami bersiap menuju tempat tujuan Kami yang kedua yaitu Pura Batu Sila Rupit.
Jujur dari beberapa kali kunjungan Saya ke Batur, Saya belum pernah sekalipun nangkil ke Pura Batu Sila Rupit. Itu sebabnya, perjalanan hari ini sungguh sangat dinanti-nanti. Cuaca Batur kala itu cukup bersahabat walau sedikit terik. Kami melewati jalanan berbelok-belok dan turunan yang cukup tajam. Situasi yang sedikit membuat mual, terlebih Saya duduk di Kursi paling belakang. Namun tekad untuk hadir di Batu Sila Rupit sangat tinggi, belum lagi disuguhkan panorama Gunung Batur yang menggoda mata, membuat rintangan rasa mual selama perjalanan seakan tak berarti.
Di dalam mobil, Jero Gede bercerita tentang Desa Batur kuno bernama “Sinarata” dan “Tampurhyang” yang terletak tidak jauh dari tempat Kami melintas. Ditambahkannya bahwa dahulu menuju Batu Sila Rupit amatlah sulit, karena harus melewati jurang yang terjal. Beruntung, pembukaan akses jalan tidak saja memudahkan pemedek yang tangkil namun juga dalam usaha mempercepat perbaikan dan renovasi beberapa situs peninggalan Batur Kuno dahulu.
Tak terasa setelah 20 menit dalam perjalanan, Kami tiba di Pura Batu Sila Rupit. Pura yang jauh dari bayangan sebelumnya karena tak satupun Saya melihat adanya “Meru” layaknya di Pura Ulun Danu Batur. Bahkan, hanya ada cuma satu Pelinggih saja yang menyerupai Padma. Oleh Pemangku Pura yang menerima Kami disana, Kami dipersilahkan istirahat sejenak di sebuah Bale Panjang. Dari sana terlihat sangat jelas dan dekat sekali pemandangan Gunung Batur.
Dari Bale tersebut, sesekali Kami pun melihat beberapa truck pengangkut Batu dan Pasir sedang lalu lalang. Setelah segala persiapan persembahyangan selesai disiapkan, Jero Gede mengajak Kami menuju tempat persembahyangan. Lagi-lagi tidak seperti yang terbayangkan sebelumnya, karena tempat Kami bersila dihadapan Padma tersebut hanyalah sebuah Batu yang cukup bagi 5-6 orang saja. Menurut beberapa cerita tetua Desa yang masih dipercayai sampai saat ini di Batur, Batu tersebut merupakan tempat memutuskan sebuah kesepakatan di masa lalu antara Dalem Waturenggong dengan para tokoh karaman untuk bersama-sama membangun dan membesarkan Batur. Lantas, dari atas Batu itulah, Kami semua menghaturkan sembah dipimpin oleh Jero Gede.
Setelah nunas tirtha, Kami kembali ketempat duduk sebelumnya dan tiga orang pengayah Pura menyuguhkan Kopi dan Jajan Bali. Angin siang kala itu cukup kencang dan beberapa kali kertas beterbangan dihadapan Kami. Dua diantara Kami terlihat sigap menggunakan Jaket Penghangat yang sebelumnya sempat dilepasnya. Tak berselang lama, kembali tiga orang pengayah tampak hadir didepan Kami membawakan beberapa talam berisikan Ikan Mujair Nyatnyat dan Nasi Putih.
Dalam hati Saya berucap,, “Yahhh akhirnya,,,,,,,” Jam waktu itu menujukkan Pukul 13:30 WITA, perut sudah berbunyi kencang. Jero Gede mempersilahkan Kami menyantap hidangan yang telah diparkir satu persatu dihadapan Kami. Tanpa menunggu lama, Saya langsung tancap Gasss, hahaha… Sambil menikmati hidangan , Kami melanjutkan topik pembicaraan tentang perjalanan Batur Kuno dan Sila Rupit sebagai awal mula penyatuan kesepekatan antara Penguasa Bali Majapahit dengan orang-orang Batur Kuno sambil lebih dalam mengulas relevansi kejadian tersebut dengan pemadegan Jero Gede dijamannya yang masih diwarisi hingga saat ini.
Sesekali perbincangan bergeser ke arah tradisi pertanggungjawaban “Ngusabha Kadasa” serta pelaksanaan “Matiti Suara” sebagai ajaran pendidikan anti korupsi dan etika dagang bagi masyarakat Batur. Jero Penyarikan yang duduk disebelah Saya pun sepakat bahwa Batur menyimpan banyak sekali mutiara tradisi dan ajaran etika kehidupan bagi masyarakat Bali, tinggal bagaimana ajeg dalam implementasi serta senantiasa mengabadikannya dalam bentuk “narasi”. Lebih lanjut, Kami juga banyak berdiskusi tentang sejarah hangat antara romantisme antara Ubud dan Batur dari perspektif Air, Negara dan Tradisi.
Setelah santap siang selesai, Kami bergegas menuju tempat tujuan Kami yang terakhir yaitu Pura Tirtha Mas Mampeh. Jarak tempuh menuju area tujuan ketiga Kami tidaklah jauh. Kami melewati beberapa perkebunan bawang warga sebelum akhirnya Kami sampai di Beji Pesiraman Sudamala Mas Mampeh. Mendengar Beji Sudamala, Saya sempat teringat akan salah satu Beji di areal Munduk Gunung Lebah Ubud dengan nama yang sama yaitu Beji Sudamala. Tirtha Sudamala diyakini melebur segala bentuk kotoran manusia terlebih bagi para petani diyakini dapat menghilangkan gering atau wabah di areal sawah.
Satu orang dari Banjar terdekat, telah menungu Kami di parkiran Beji. Jero Gede memimpin jalannya sembahyang serta memulai pertama kali mesiram (mandi) di Kucuran Tirtha Mas Mampeh yang jatuh dari Tebing setinggi kurang lebiih 35 meter. Saya yang mendapat giliran keempat, untuk pertama kali merasakan dingginya Tirtha mas mampeh, padahal siang itu panas matahari cukup terik. Dalam hati saya berteriak “Ini es atau air, dingin sekali,,,”. Segera, setelah selesai melukat, Kami mengganti pakaian lalu melakukan persembahyangan terakhir kalinya di Pura Beji. Waktu menujukkan pukul 15:00 WITA dan Kami pun kembali balik ke Pura Ulun Danu Batur. Perjalanan menuju Pura Ulun Danu Batur ditempuh dengan waktu yang lebih cepat, karena Kami memilih jalur terdekat walau tampak lebih riskan dengan kontur jalan yang berbelok tajam.
Sesampainya di Jaba Pura, Kami menghaturkan pamit kehadapan Jero Gede dan Jero Penyarikan sekaligus mengucapkan terima kasih atas perjalanan rohani hari ini. Menjadi lebih sangat berkesan lagi,di akhir perjalanan Jero Penyarikan menyempatkan memberikan Saya salinan buku dari Brigitta Hauser-Schaublin yang berjudul “Pura Ulun Danu Batur dari segi historis: Sumbangan Tanah dan Karunia Air-pada pertuantanahan Pura dan Pertanian Irigasi di masa pra kolonial Bali” sebagai bekal menambah kajian literatur dalam usaha penyelesaian penelitian akhir di Kampus. Saya merasa sangat puas dengan perjalanan hari ini menuju sebuah Desa yaang memberikan banyak pesan-pesan kehidupan. Saatnya sekarang kembali menuju “Usadhi Desa Graha Pawitra” berkumpul bersama keluarga.
-Salam-