Ada berbagai definisi tentang Bali di masa ini tak cukup mampu menggambarkan konsep-konsep peradaban purba. Satu diantaranya konsep tentang Pura Puseh.
Pura Puseh bersama Pura Desa dan Pura Dalem merupakan bagian dari pura kahyangan tiga desa adat. Pura Puseh dalam konsepsi Bali kekinian merupakan stana dari manifestasi Tuhan sebagai Dewa Wisnu. Di sanalah pusat kehidupan dijaga dan diputar untuk menjamin harkat martabat hidup semesta.
Demikian konsep-konsep itu telah dikonsumsi sedari kita mengenyam pendidikan di bangku sekolah dasar. Merujuk konsep-konsep itu, kahyangan tiga selalu mengacu pada pemujaan terhadap Dewata Tri Murti. Konon, Mpu Kuturanlah yang mencipta konsep tersebut sesaat setelah “perang ideologi” berkecamuk pada paruh abad terdahulu. Kini, konsepnya dianggap telah final, sehingga tak banyak diperbincangkan. Wacananya pun berhenti hanya sampai pada titik itu.
Suatu ketika pemahaman saya tentang kahyangan tiga digugat oleh penjelasan teks Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul. Teks ini terbilang komprehensif mengungkapkan tatanan konsep pemujaan ala Bali, dimana paparannya relatif dekat dengan praktik berbudaya masyarakat yang saya temui. Teks ini masih dapat ditemui berupa lontar yang disimpan di Perpustakaan Universitas Hindu Indonesia Denpasar. Wujud alih aksaranya dapat pula dibaca di Gedong Kirtya Singaraja, hanya saja ada satu lembar aliha ksara yang hilang.
Tentang konsep kahyangan tiga desa, Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul tak mengungkapkan nama Dewa Brahma, Dewa Wisnu, maupun Dewa Siwa sebagai kekuatan-kekuatan suci yang dipuja di kahyangan tiga desa. Dari awal sampai akhir, teks ini memang bercita rasa Siwaistik. Akibatnya, segala hal tentang Siwa mendominasi penjelasan. Dalam hal dewa pujaan di kahyangan tiga, Bhatara Guru, Bhatara Ganapati, dan Bhatari Umadewi disebut sebagai entitas-entitas suci yang masing-masing dimuliakan di Pura Desa, puseh, dan dalem.
Mengapa Bhatara Guru bukan Dewa Brahma, Bhatara Ganapati bukan Dewa Wisnu, Bhatari Umadewi bukan Dewa Siwa yang dipuja di pura kahyangan tiga? Teks ini tak memberi penjelasan secara tersurat. Namun, asumsi saya ini terkait dengan legitimasi Siwaisme di Bali. Pada tiga bab sebelumnya, Hyang Pasupati ditasbihkan sebagai dewata utama, yang kemudian memunculkan dewa-dewa dan rsi penjaga—yang kemudian dipuja—Bali. Mulai dari penurunan Bhatara Buncing Hyang Putrajaya dan Hyang Dewi Danuh, penurunan Dewata Nawasanga, Panca Rsi, hingga Dewata Sad Kreti. Semuanya mengacu sebagai legitimasi pada entitas Pasupati sebagai Hyang Parameswara.
Jejak Persahabatan
Semasa mahasiswa, saya dan sejumlah rekan diajak berkunjung ke Desa Les di Tejakula, Buleleng oleh dosen saya. Kebetulan, beliau adalah putra asli Desa Les, yang secara tidak langsung memiliki relasi ekologis dan ideologis dengan Batur melalui tuturan Ida Ratu Ayu Mas Membah.
Sembari beristirahat menahan panas Agustus yang begitu menyengat, dosen saya menceritakan sejarah desanya kepada kami. Poin obrolan yang begitu saya ingat terkait dengan keberadaan Pura Puseh Panjingan. Pura ini bernilai begitu penting bagi masyarakat di sana, sebab menjadi simbol penyatuan Desa Les dan Penuktukan.
Di masa silam, nama Desa Les adalah Desa Panjingan. Sebagai desa pesisir, desa ini sering dilalui oleh pedagang dari luar Bali. Suatu ketika digelar hiburan sabung ayam. Pesertanya warga desa dengan orang-orang perahu atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Wong Bajo. Ketika itu Wong Bajo kalah, hingga akhirnya terjadi keributan. Pada tahun-tahun setelahnya, desa ini sering diserang hingga membuat penduduknya berpindah-pindah. Lama kelamaan, adalah Desa Les dan Penuktukan. Pura Puseh Panjingan disungsung oleh kedua desa ini sebagai simbol jalinan lampau.
Konsep Pura Puseh Panjingan sebagai tanda jalinan persahabatan antar Les-Penuktukan juga dapat dilihat di desa kami. Pura Puseh Batur yang dimuliakan saban Purnama Kasa—bulan pertama tahun Saka—tak hanya dipuja oleh masyarakat adat Batur. Situs ini juga menjadi orientasi pemujaan lima desa lain, yakni Desa Sangkaduan, Bonyoh, Belatungan, Blancang [Belancan], dan Petak Cemeng atau Selulung.
Dalam sebutan masyarakat kami, komunitas-komunitas tersebut disebut sebagai Batun Sendi Ida Bhatari Sakti. Konsep batun sendi tampaknya menyerupai konsep banua yang selama ini dikenal luas di desa-desa Bali pegunungan. Konsep batun sendi kemungkinan diambil dari konsep sendi dalam bangunan Bali yang berfungsi sebagai penyokong bangunan. Konsep ini sejalan dengan praktik di lapangan, dimana desa-desa yang tergolong Batun Sendi Ida Bhatari Saktimemiliki kewajiban sebagai penunjang eksistensi Pura Batur. Selain kelima desa tersebut, desa batun sendi Batur lainnya adalah Bayung Gede, Buahan, Sebatu, dan Sekardadi.
Raja Purana Pura Ulun Danu Batur menyebut hak dan tanggungjawab kelima desa itu tatkala pemujaan Pura Puseh tiba. Masyarakat Bonyoh menghaturkan babi seberat 500, beras 30 catu, tuak 2 takeh, kelapa 10 butir, gula 5 buah. Kepada I Ratu Puseh Blancang, masyarakat Blancang dikenai beras satu pikul, tuak satu pikul, serta seekor bebek yang diolah seraten.
Ketika tiba pemujaan kepada I Ratu Puseh Petak Cemeng, masyarakat Selulung menghaturkan seekor kijang dan segala sarana pujawali. Penghormatannya menggunakan sarana bebek seraten. Sementara, penghormatan pada I Ratu Puseh Sangkaduan berupa bebek maserotutu.
Merawat Jejak
Pembacaan terhadap narasi-narasi di atas tentu tak bisa dilakukan secara kasar di permukaan saja. Sebuah wacana yang disusun oleh bahasa tak lain merupakan simbol. Bahasa adalah tanda-tanda yang harus dikuliti terus menerus, hingga kedalaman makna maksimal yang dapat dijangkau para pembacanya.
Artinya, pembacaan terhadap fenomena-fenomena budaya seperti di atas harus dilakukan secara perlahan. Dalam kasus keterhubungan komunitas-komunitas masyarakat melalui Pura Puseh Panjingan dan Pura Puseh Batur, pesan yang ingin disampaikan agaknya bukan sekadar ritus dan berhenti di papeson atau persembahan. Ritus tampaknya hanya penanda untuk menunjukkan keterhubugan masa silam yang barangkali pernah dijalin oleh para leluhur. Ritus dan situs sangat mungkin menunjukkan titik keasalmulaan atau kawitan.
Kata pusêh memiliki kedekatan bentuk dengan pusêr. Bunyi [h] dan [r] memang sering menggantikkan dalam sejumlah kata yang mengcu pada arti yang sama, misalnya pada kata pasih dan pasir terkait arti kata laut, campuh dan campur terkait arti kata campur, dan seterusnya. Kata pusêr dapat diartikan ‘pusat’, ‘bagian tengah’, dan ‘puncak’. Oleh karenanya, keberadaan Pura Puseh pada masanya bukan tidak mungkin merupakan simbol kekuatan “koalisi antar desa-desa”. Di wilayah pura itu kekuatan terhimpun dan dipusatkan. Mungkin semacam markas komando di era kekinian.
Lebih jauh, menurut konsep banua, Reuter (2005)1, menyatakan pola hubungan sosial di Bali pegunungan ditentukan oleh jaringan regional aliansi ritual antara kelompok-kelompok di desa-desa bersangkutan. Banua sendiri diartikannya sebagai kawasan ritual, yang membangun perasaan identitas bersama di kalangan masyarakat pegunungan.
Jika Pura Puseh—dan pura lainnya—merupakan simbol-simbol keterjalinan identitas, pusat kekuatan, atau pusat keasalmulaan, lalu apakah pembangunan sejumlah pura baru sebagai pemenuhan atas pemekaran desa-desa adat adalah tindakan kemajuan peradaban Bali? Di dalam benak saya, ini justru semacam antitesis terhadap pesan-pesan masa silam yang telah dititipkan leluhur. Ketersediaan sumber daya saat ini sebagai alasan pendirian dan pemekaran pura-pura baru itu tidak dapat diterima, sebab saya pikir leluhur masa silam tidak lebih melarat dibanding manusia Bali saat ini.
Di luar itu, kita memang perlu memikirkan secara lebih jernih tentang konsep-konsep dasar untuk membangun Bali. Selama ini, saya melihat paradigma generalisasi budaya masih mendominasi dalam formulasi peradaban kita. Misalnya, desa adat harus diukur oleh keberadaan pura kahyangan tiga desa, pimpinan desa adat harus disebut bendesa, ngaben diukur dengan bade dan pembakaran, pemangku dianggap legal jika hidupnya sejahtera dan renta, puja astawa diukur dengan persentase penggunaan bahasa Sanskerta, bahkan banten seringkali diukur menurut tatanan suatu wilayah dan “dibawa secara paksa” ke wilayah lainnya.
Jika pola ini terus berlanjut tanpa sedikit direm, saya takut kita hanya akan beragama dan berbudaya umum. Tidak ada lagi kebinekaan. Tidak akan ada lagi ciri khas antar daerah. Pada titik ini, keragaman Bali akan melebur menjadi kesatuan budaya yang bukan tak mungkin kemudian dikuasi oleh elit-elit tertentu. Jika demikian, komersialisasi budaya pasti terjadi.
Kita tampaknya perlu menghentikan langkah sejenak dan bercermin pada jejak kearifan Pura Puseh. Jika puseh merupakan pemuliaan pada Bhatara Ganapati, maka menjadi penting kita melihat simbol yang dimiliki putra Siwa itu. Bukankah Bhatara Gana adalah simbol kecerdasan dan kebijaksanaan? Bukankah telinganya besar dan hidungnya panjang, yang memberi pesan kepada kita untuk lebih banyak mendengar dan mencium kondisi kekinian? Perut kita hendaknya juga diperbesar layaknya Bhatara Gana, agar dapat lebih toleran menerima keberagaman. Kebetulan, dalam bahasa Bali ada istilah “basang bawak” yang merujuk pada sifat-sifat emosional dan antikritik. [JPDB]
Batur, Agusus 2020
______
1Reuter, Thomas A. 2005. Custodians of the Sacred Mountains: Budaya dan Masyarakat di Pegunungan Bali (penyunting I Nyoman Dharma Pura, alih bahasa A. Rahman Zainuddin). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia