Apakah susah sekali untuk mencerna, mengapa setiap pasien yang hendak dirawat di rumah sakit—termasuk Ibu melahirkan—harus menjalani tes rapid berbasis antibodi COVID-19? Sederhananya, untuk memperkecil kemungkinan penularan pandemi kepada tenaga kesehatan (nakes).
Bukan bermaksud egois dan cenderung mengutamakan keselamatan nakes. Sayangnya, kami adalah penjaga gawang dalam pertandingan melawan virus ini. Tidak usah muluk-muluk melabeli nakes sebagai pahlawan garda terdepan, cukup mengerti akan posisi kami saat ini.
Jika banyak nakes yang terinfeksi COVID-19, dengan berat hati, maka layanan kesehatan terpaksa akan berhenti beroperasi. Bisa saja layanan kesehatan yang tutup itu adalah cuci darah rutin bagi pasien gagal ginjal stadium akhir; atau pemeriksaan kehamilan dan persalinan untuk Ibu hamil; atau mungkin pelayanan gawat darurat yang idealnya tetap beroperasi dua-puluh-empat-jam tanpa henti.
Melakukan tes rapid bertujuan untuk mendeteksi secara dini kemungkinan seorang pasien terpapar COVID-19. Bila ternyata hasil tes rapid pasien adalah reaktif, maka perawatannya akan dipindahkan ke ruang isolasi, dirawat oleh tim nakes dengan APD lengkap, kemudian akan dilakukan tes usap rongga hidung (swab test) sebagai konfirmasi apakah sang pasien adalah penderita COVID-19 atau bukan.
Tidak usah bermanis-manis mengatakan bahwa tes rapid bertujuan untuk menekan kasus COVID-19 di masyarakat. Semua ini adalah prosedur untuk mencegah penularan COVID-19 pada nakes. Tagar #flatteningthecurve (datarkan kurva epidemi) juga sebenarnya memiliki tujuan agar kasus COVID-19 tidak membludak dalam kurun waktu yang singkat, sehingga memberikan waktu nakes untuk bernafas dan menghindari ditutupnya pelbagai layanan kesehatan.
Jika penjaga gawang cidera, apakah anda mau penyerang atau pemain tengah yang berdiri di bawah mistar? Berapa banyak gol yang akan diciptakan oleh tim lawan?
Berapa banyak korban jiwa yang harus berjatuhan jika layanan kesehatan ambruk bahkan kolaps?
Dengan memahami posisi nakes dan kegunaan tes rapid, lalu bagaimana bila ada sepercik aspirasi di masyarakat untuk menolak penggunaan tes rapid?
Satu hal yang tak akan lelah saya sampaikan, COVID-19 ini begitu unik. Ia memiliki gejala yang mirip dengan hampir seluruh penyakit infeksi pada saluran nafas: demam, batuk, atau sesak nafas. Di sisi lain, virus ini dapat menginfeksi pasien tanpa menimbulkan gejala klinis sebagai tanda keberadaannya.
Pasien yang mengeluh demam dan batuk mungkin saja tidak terpapar COVID-19, sebaliknya pasien yang merasa dirinya tidak ada gejala saluran nafas bisa saja mengidap virus ini.
Pasien pertama dengan demam dan batuk itu, tak ayal pasti sangat khawatir terinfeksi COVID-19. Stigma dan pikiran negatif lainnya boleh jadi sempat lalu-lalang di pikirannya. Sedangkan pasien kedua, bisa jadi ia jumawa dan terlalu yakin bahwa hasil tesnya akan negatif karena dirinya merasa sehat-sehat saja. Bukan tidak mungkin, ia akan menolak dan mencampakkan hasil tes yang menyatakan bahwa dirinya positif terinfeksi COVID-19.
Sayangnya, ilustrasi di atas adalah riil dan memang benar-benar terjadi pada kasus pandemi ini. Dalam situasi seperti sekarang, maka pemeriksaan penunjang benar-benar krusial untuk mendiagnosis si sakit dan si tidak sakit.
Sejujurnya, saya pribadi mempertanyakan keputusan pemerintah untuk menggunakan tes rapid sebagai deteksi dini kasus COVID-19, bahkan WHO pun sebenarnya tidak menyarankan penggunaan tes rapid berbasis antibodi—seperti yang beredar di Indonesia, untuk deteksi dini.
Seyogianya pemeriksaan konfirmasi COVID-19 menggunakan tes usap dengan metode RT-PCR. Namun karena terbatasnya kapasitas laboratorium RT-PCR di Indonesia, maka tes rapid menjadi pilihan satu-satunya yang tersisa.
Tes rapid memang memiliki akurasi yang rendah. Faktanya sampai saat ini belum ada penelitian atau rilis resmi tentang tingkat akurasi dari tes rapid di Indonesia. Sedangkan metode RT-PCR memiliki tingkat akurasi diatas 70%, bahkan beberapa reagen mampu menghasilkan akurasi hingga 95%.
Tetapi, tes rapid bisa mengisi kekurangan dari metode RT-PCR, yakni WAKTU. Butuh waktu berhari-hari bahkan mingguan untuk bisa mendapatkan hasil RT-PCR, sedangkan hasil tes rapid bisa diketahui hanya dalam hitungan jam.
Taruhlah akurasi tes rapid sebesar 30% seperti data dari lembaga Cochrane’s, Inggris. Artinya dalam satu-hingga-dua jam kita bisa mendapatkan hasil dengan akurasi 30% sembari menunggu konfirmasi yang lebih akurat dari RT-PCR. Sekecil apapun akurasi dari tes rapid, akan sangat berguna untuk melindungi para nakes jika dibandingkan tidak sama sekali.
Akurasi memang menjadi parameter utama untuk menilai kualitas suatu modalitas penunjang diagnosis. Praktik kesehatan mengenal banyak dilema, termasuk menimang apakah layak menggunakan pemeriksaan yang cepat namun tidak akurat; atau bergeming hanya menggunakan pemeriksaan yang akurat namun lama.
Tes usap berbasis RT-PCR sebenarnya hanya memakan waktu kurang dari 6 jam, dengan syarat tersedianya mesin, reagen, dan tenaga terlatih untuk mengerjakan pemeriksaan ini. Molornya hasil tes usap hingga berhari-hari dikarenakan karena kurangnya kuantitas dan kualitas laboratorium RT-PCR di Indonesia. Jadi, jalan keluar terbaik dari dilema di atas adalah memfasilitasi sebanyak mungkin laboratorium supaya mampu melakukan pemeriksaan RT-PCR.
Jika solusi ideal diatas belum bisa terpenuhi, maka keputusan menggunakan tes rapid atau hanya menunggu hasil RT-PCR adalah otoritas mutlak tenaga kesehatan. Dengan segala hormat, masyarakat awam tentang kesehatan, tidak memiliki kewenangan untuk menentukan apakah tes rapid layak atau patut ditolak.
Latahnya penolakan terhadap tes rapid saya khawatirkan juga akan merembet terhadap varian tes rapid yang sedang dikembangkan, yakni tes rapid berbasis antigen. Pokoknya, asal ada embel-embel kata tes rapid, maka hanya ada satu kata: TOLAK!. Padahal, tidak seperti tes rapid berbasis antibodi yang telah beredar di pasaran, tes rapid berbasis antigen secara teori memiliki tingkat akurasi yang lebih baik.
Mengapa? Antibodi dihasilkan oleh tubuh setelah terinfeksi kuman (termasuk virus korona), sedangkan antigen adalah fragmen atau potongan protein yang memang terdapat pada kuman tersebut. Artinya, antibodi perlu waktu untuk terbentuk dalam tubuh (bisa saja tidak terbentuk, namun terbatas pada kasus-kasus tertentu), sedangkan antigen bisa terdeteksi saat kuman menginfeksi tubuh. Prinsip antigen juga digunakan pada metode RT-PCR. Lebih cepat, lebih akurat.
Selain itu, serendah-rendahnya akurasi tes rapid berbasis antibodi, tetap saja memiliki kegunaan tertentu: yakni pada kasus survei serologi. Seiring dengan perkembangan teknologi yang dimotori oleh para ilmuwan di seluruh dunia, diharapakan tes rapid berbasis antibodi ini akan semakin baik tingkat akurasinya. Survei serologi menggunakan tes rapid antibodi utamanya berguna untuk skrining efektivitas vaksinasi, termasuk kemungkinan pembukaan kembali aktivitas sosial-ekonomi.
**
Demokrasi memang memberikan kebebasan tiap orang untuk berpendapat, termasuk kebebasan tiap orang untuk memilih menjadi praktisi kesehatan, musisi, atau pilihan karier lainnya. Lebih mengikuti pendapat musisi sebagai pedoman menghadapi pandemi COVID-19, dibandingkan ilmu dan pengalaman akademisi serta tenaga kesehatan adalah sebaik-baiknya tanda democrazy.
You demo, I crazy. Anda demonstrasi menolak tes rapid, kami sebagai nakes yang gila memikirkan kemungkinan penularan COVID-19 pada kerumunan yang tidak mengindahkan masker dan protokol kesehatan secara garis besar. Kami yang hilang pikir dan harapan jika kasus COVID-19 membludak—termasuk peningkatan angka infeksi pada nakes, sehingga harus menutup layanan kesehatan.
Kecuali anda mau operasi usus buntu anda dilakukan oleh seorang penabuh drum, atau prosedur cuci darah anda dilakukan oleh seorang pengacara dan aktivis lingkungan, ya silahkan saja melakukan apapun terkait pandemi ini.
Terima kasih atas kekhawatiran masyarakat dengan akurasi atau penyalahgunaan tes rapid di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya. Karena saya, dan hampir seluruh nakes lainnya juga memiliki dilema yang sama. Tetapi, jika boleh saya meminta: sampaikanlah aspirasi kepada pemerintah agar menyediakan pemeriksaan RT-PCR sebanyak-banyaknya. Atau percepat pengembangan tes rapid berbasis antigen.
Jangan lupa sertakan klausul agar kedua pemeriksaan itu bisa ditanggung sepenuhnya oleh negara. Saya amat sangat mendambakan pemeriksaan yang ideal, dan bisa diakses seluas-luasnya secara gratis. Dengan begitu, ketergantungan terhadap tes rapid antibodi bisa dikikis secara perlahan. [T]