Pada suatu malam, di salah satu rumah warga, yang sedang memperingati tahlilan 7 hari orang meninggal. Sebut saja keluarga Badrun, yang baru saja kehilangan Sang Ayah bernama Roman karena sakit yang tak kunjung sembuh. Warga di kampung ini memang lazim melaksanakan tahlilan. Mereka lebih senang menyebutnya dengan ruwahan yaitu, mendoakan arwah jenazah yang baru saja dimakamkan. Tradisi mendoakan ahli kubur ini sudah digelar sejak ratusan tahun silam. Warga selalu hadir pada 1-7 hari, 15 hari, 40 hari, 100 hari, hingga 1.000 hari di rumah ahli musibah.
Saat itu walau masih suasana berduka. Riuh suara anak-anak yang turut hadir, namun senang bersenda gurau membuat suasana rumah duka tak lagi sunyi karena ditinggalkan Sang Mayit. Lantunan ayat-ayat terdengar nyaring hingga ke luar rumah. Wajar saja, karena hampir seisi kampung memadati seisi rumah untuk memanjatkan doa bersama.
Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Ayat-ayat penutup doa sudah dibacakan oleh orang yang dituakan di kampung. Suasana yang riuh, berangsur sunyi. Sesekali warga mengucapkan amin sesaat dipenghentian nafas sang pembaca doa. Saat-saat seperti ini, biasanya menjadi yang paling dinantikan. Tiba waktunya si pemilik rumah, mengeluarkan sajian makanan. Mulai dari makanan ringan seperti kue-kue tradisional, kopi, hingga rokok disajikan. Terakhir, akan dibekalkan nasi kotak untuk dibawa pulang.
Lampu rumah tiba-tiba saja redup. Sesekali mati dan hidup lagi. Sang pembaca doa, mulai tersendat memanjatkan doa. Terganggu konsentrasinya, karena suasana rumah mendadak berubah suram. Kekhawatiran si pemilik rumah bertambah saat mendengar suara anak-anak yang mulai ketakutan. Beberapa kali lampu-lampu rumah menunjukkan gelagat tak bersahabat, tiba-tiba terdengar letusan kencang oleh putusnya salah satu lampu di ruang tengah. Sontak seisi rumah berteriak. Suasana menjadi gelap gulita.
Anak-anak tak lagi bergurau. Mereka ketakutan, tapi tak berani keluar rumah. Mereka berkumpul saling berdekapan. Doa terhenti, mendadak hening yang terdengar hanya suara jangkrik dari kebun di belakang rumah. Si pemilik rumah yang sadar, lalu bergegas menyalakan beberapa batang lilin untuk membantu penerangan.
Satu persatu lilin ditaruh di lantai, bersanding dengan piring-piring kue yang sudah tersusun rapi. Saat itu suasana yang seharusnya mulai nyaman, tiba-tiba dikagetkan oleh teriakan si ibu pemilik rumah. “Astaga! Kemana larinya?”
Warga mendadak panik.
“Ada apa kak?” tanya seorang bapak yang duduk tak jauh dari si ibu.
“Kue-kuenya hilang!!”
Seorang anak mendadak berteriak, “Kepala datok berdarah?!!!”. Warga seketika panik. Si Anak masih kaku, telunjuknya tak lepas mengarah ke kepala seorang kakek di sebelahnya. Warga yang melihat kejadian itu mulai sedikit menjauh. Sang Kakek tampak pucat. Tetes demi tetes mulai jatuh ke pelipis mata, hingga ke pipi kakek yang sudah keriput.
Warga yang takut mengalami hal yang sama mulai merapat ke dinding. Sesekali mata menyapu ke setiap sudut ruangan. Mereka khawatir ada sosok lain, yang tiba-tiba menyerang dan melukai. Beberapa anak mulai menangis, minta pulang. Tapi tak satupun yang beranjak jauh dari tempat duduk. Semua seperti terpaku, dengan kejadian yang dialami sang kakek. Mereka khawatir ada setan lapar, yang beringas melukai siapa saja yang hendak kabur.
Sedikit gemetaran seperti orang kedinginan, perlahan kedua tangan kakek mulai meraba kopiah hitam yang terpasang di kepalanya. Tangannya masih gemetar. Pelan-pelan iya sentuh lalu dibuka perlahan. Cairan menggumpal mulai tampak. Semakin kopiah terbuka, gumpalan kental berwarna merah mulai berjatuhan. Rasa takut semakin berkecambuk. Warga yang tak ingin melihat luka dan darah yang keluar dari kepala kakek mengalihkan pandangan.
Saat kopiah dilepas kakek berucap pelan, bibirnya bergetar seperti menahan tangis. Seraya memperlihatkan isi kopiahnya ke semua orang, “Bukan darah, klepon pecah di kepala”.
Seisi rumah: @#_*@
“Kasihan klepon, kau teraniaya” – penulis.