Bagaimana panggung digital yang berkembang hari ini ditempatkan sebagai situs baru pertunjukan teater? Hal-hal apa saja yang hilang, hal-hal apa saja yang akan muncul kemudian, sebagai konsekuensi logis atas bergesernya orientasi kerja pertunjukan dari panggung nyata ke panggung digital? Saya buka tulisan terkait pertunjukan digital ini dengan komentar Gusbang Sada, seorang kawan seniman tari dan koreografer muda Indonesia yang kini aktif mengajar di ISI Denpasar.
“Halo sahabat Teater Kalangan, izinkan saya untuk memberikan sedikit komentar sekaligus masukan atas pertunjukan apik semalam. Yang menarik bagi saya dari pertunjukan virtual semalam, terutama karya Bro Suma ialah peran aktif penonton pada kolom komentar. Awalnya terus terang saja saya terganggu, namun beberapa saat kemudian saya mulai menyadari sesuatu sekaligus tertawa, setelah membayangkan hal serupa terjadi ketika menonton sebuah pertunjukan live. Dan sebenarnya peristiwa itu juga sering terjadi. Bagi saya, hal ini menunjukan betapa dekatnya sebuah karya dengan penontonnya, sehingga bisa direspon langsung on time pada saat pertunjukan sedang berlangsung.”
Kutipan percakapan itu disampaikan Gusbang setelah menonton pementasan ‘Waiting for Gering’ dalam acara Playing Kontraborasi Dini Ditu Teater Kalangan. Acara Dini Ditu Kalangan merupakan program tatap muka kami Teater Kalangan bersama publik via live instagram yang rencananya digelar dari bulan Juni sampai November. Saya bertugas menginisiasi sub-acara ‘Playing Kontraborsi’, sebuah pentas karya tumbuh dan diskusi bersama seniman lintas disiplin. ‘Playing Kontraborasi’ diniatkan untuk mengetahui lebih jauh bagaimana suatu tema direspon dalam panggung digital oleh dua seniman melalui kerangka kerja disiplin seninya masing-masing.
Pada acara yang digelar 10 Juni kemarin, saya ber-kontraborasi bersama Gusti Made Aryana dengan tema Lelintasan Gering pada Suatu Hari. Saya meresponnya melalui kacamata teater. Gusti meresponnya dalam bentuk wayang. Meski sama-sama berangkat dari satu tema, pada ruang digital sebagai situs pertunjukan, kedua pentas justru menyajikan penyikapan berbeda satu sama lain. Gusti menyikapi gering dengan mengangkat kisah kesaktian Prabu Salya menggunakan ajian candrabirawa dalam perang Barata Yudha. Ajian raksasa yang mampu membelah dirinya menjadi berlipat ganda ini, kemudian disejajarkan oleh Gusti dengan eksistensi virus corona.
Sementara dalam ‘Waiting for Gering’, saya meminjam teks-teks tentang gering yang berserak di media sosial sebagai modus penciptaan. Olahan teks-teks ini kemudian menjadi stimulus, dalam rangka memunculkan memori kolektif penonton akan situasi pandemi di tengah kehidupan masyarakat hari ini. Alhasil, tak ada aktor dalam pentas. Ada hanya gambar-gambar dan rangkaian video yang direspon oleh penonton mana suka. Jika ingin menyebut aktor, barangkali teks-teks yang dikirimkan oleh penonton itulah aktornya, sebagaimana yang kerap hadir pada aktivitas masyarakat dalam media sosial.
Agar tak terlalu masuk menjadi ulasan pentas, saya tak akan menguraikan lebih lanjut bagaimana proses dan eksekusi kedua pertunjukan ini berjalan. Yang ingin saya ulik kemudian adalah ketika penyikapan kedua pertunjukan ini ditautkan dengan komentar Gusbang, Bahwasanya, kehadiran tubuh aktor dalam panggung digital menjadi berbeda kualitasnya dengan yang biasa dihadirkan pada panggung nyata.
Meski telah diwarnai dengan ornamen audio visual yang memanjakan mata dan telinga, tampilan tubuh aktor dalam panggung digital tetap saja terkesan cacat. Berjarak dengan penonton. Tak ada aroma tubuh yang tercium, tak ada rasa, tak ada yang bisa dicecap. Lebih jauh lagi, energi tubuh para aktor seperti disekap dalam kotak layar kaca. Membuat penonton seperti kehilangan spirit pertunjukan.
Pandangan Gusbang boleh jadi juga mewakili apa yang dirasakan oleh penonton lain dalam menyaksikan pertunjukan digital yang marak digelar belakangan ini. Tak hanya mengisolasi panggung nyata pertunjukan, pembatasan fisik yang dialami masyarakat di tengah pandemi corona ini rupanya juga merangsek hingga ke panggung-panggung digital. Dalam konteks ini, panggung digital yang diniatkan sebagai ruang alternatif pertunjukan, justru kian meneguhkan pentingnya interaksi fisik yang mesti terjalin antara aktor dengan penontonnya, seperti yang senantiasa kita saksikan dalam panggung nyata pertunjukan.
Melihat eksekusi kebanyakan pertunjukan digital tergelar, paling tidak ada dua siasat yang umum digunakan. Yang pertama adalah melalui pengambilan gambar dengan kacamata kamera seperti kerja perfilman. Yang kedua adalah merekam pertunjukan yang sedang berlangsung secara utuh dengan satu sudut pengambilan gambar secara menyeluruh.
Pada siasat pertama, saat pertunjukan direkam menggunakan cara pandang kamera, pentas cenderung terjebak menjadi karya film. Meski sama-sama menampilkan tokoh, menyuguhkan tubuh para aktor, kerja teater dan film sesungguhnya mempunyai perbedaan yang cukup siginifikan. Film lebih banyak bekerja dalam proses pengambilan gambar cut to cut. Seni film adalah seni memotong gambar. Intensi akting tertuju pada mata kamera. Disertai kerja memilih gambar yang terbaik, menggabungkan lalu mengedit menjadikannya bentuk utuh.
Hal ini juga yang membuat film dikategorikan sebagai sebuah karya reproduktif, yang bisa diproduksi masal, dinikmati di manapun, dalam waktu kapanpun dengan kualitas yang sama. Berbanding terbalik dengan teater sebagai seni peristiwa yang harus terjadi kini, di sini, antara pemain dan penonton. Tak seperti film yang bisa memilih potongan gambar terbaik, kerja teater justru terbuka dengan kemungkinan improvisasi pemain atas situasi panggung dan penonton yang menyertai.
Sementara pada siasat kedua, meski digelar secara live pada media sosial, interaksi antara pemain dengan penonton juga sulit dialami satu sama lain. Alih-alih menjadikan pertunjukan teater sebagai peristiwa bersama, penyajian pentas dengan satu sudut gambar secara menyuluruh menjadikan kualitasnya mirip seperti menonton dokumentasi video usai pentas. Sebab yang paling penting dalam pertunjukan teater, dalam segala keterbatasan produksi dan distribusinya ialah mesti mampu membangkitkan hasrat purba manusia sebagai makhluk sosial. Menjalin aksi-reaksi yang terjadi dan dialami secara kolektif antara pemain, penonton, tim produksi, serta semua yang hadir dalam pentas disaat yang sama, pada ruang yang itu juga.
Adakah kemudian kualitas teater sebagai seni peristiwa mampu dihadirkan dalam panggung digital? Bagaimana agar pertunjukan tak dibaca sebagai usaha memindahkan panggung nyata ke panggung digital begitu saja? Bagaimana agar teater tak terperosok menjadi karya film atau tak hanya menjadi dokumentasi pentas semata? Atau jangan-jangan, pada panggung digital inilah kita jadi kian diyakinkan bahwa sudah tidak penting lagi membahas sekat-sekat antar seni teater, film, atau seni lainnya?
Jika diumpamakan, panggung digital serupa belantara liar yang begitu menantang untuk dijamah. Di sisi lain, boleh jadi suatu entitas yang mesti dikoreksi kehadirannya. Sejauh manakah kemungkinan panggung digital bisa dimanfaatkan dan dikembangkan kemudian? Terutama jika wabah pandemi berhasil diatasi atau sebaliknya, kita benar-benar harus bernegosiasi dengan kehadiran wabah selamanya.
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini menjadi penting untuk digulirkan lebih lanjut dalam rangka menemukan siasat kerja ketiga. Mengembangkan modus, format, dan visi penciptaan pertunjukan digital agar sama nilainya dengan yang dihadirkan pada panggung nyata. Agar panggung digital tak sekadar jadi ruang evakuasi, semacam media pelarian bagi pentas teater yang kehilangan eksistensinya di panggung nyata. [T]
Denpasar, 2020