Udara yang segar, pemandangan berlembah nan indah, sejauh mata memandang saya melihat hamparan kebun kopi, perjalanan melintasi jalanan berkelok-kelok akhirnya terbayarkan sudah, lelah mata akibat asap dan debu jalanan kini digantikan dengan pemandangan maha sempurna, “nikmat apa yang engkau dustakan” celoteh saya di dalam hati.
Mobil melaju melintasi jalanan Wanagiri, sesekali kami bertanya kepada orang yang kami temui di jalan, mereka menuntun kami kepada titik, dimana saat itu kami berjanji untuk melihat-lihat perkebunan di daerah puncak, yang oleh masyarakat sekitar ditanami berbagai macam jenis tanaman bunga dan kopi antara lainnya.
Mobil menuju ke gang kecil, dekat balai pertemuan warga, saya putuskan untuk memarkir kendaraan disana dan kami semua turun, kami disapa oleh seorang pemuda, dengan rendah hati, dia mengantarkan kami untuk bertemu guru kami Sugi Lanus yang sudah duluan menunggu kami disana, olehnya kami diajak berkeliling kebun sembari mendengarkan cerita tentang kopi.
Menurut beliau Wanagiri memiliki potensi perkebunan kopi yang bagus, ada dua jenis kopi yang dibudidayakan oleh masyarakat, jenis robusta untuk daerah bagian bawah dan arabica untuk daerah atas. Hampir sama dengan komoditas perkebunan lainnya, disaat kondisi pariwisata sedang berada di titik nol, komoditas kopi juga mengalami tekanan tersendiri, apalagi jenis kopi arabica yang harganya relatif tinggi dipasaran, mengingat jenis kopi ini dipasarkan untuk segmen wisatawan, dampakya lebih terasa lagi.
Ngos-ngosan, badan ini terasa agak berat lagi, sebab sudah lama tidak dipanaskan, lama tidak berolahraga. Saya melihat Pak Wan dan Guru Sugi sangat lincah naik turun bukit, sementara kami yang lebih muda nampak pelan, menikmati langkah demi langkah hingga pada akhirnya sampai pada jalanan beraspal, darisana lantas kami sepakat bahwa pertemuan ini mesti dilanjutkan lagi, kami memutuskan untuk ngopi dan menikmati “jaja godoh” di Puncak Wanagiri, dimana kami bisa melihat pemandangan Danau Buyan dan Tamblingan.
Untuk sekadar diketahui oleh kita, khususnya anak muda yang sering menyebutkan diri sebagai generasi milenial, agar jangan terlalu abai dengan kenyataan, danau memiliki fungsi yang amat vital untuk kehidupan, tiada mungkin ada kehidupan tanpa air, sebab dari itu sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk menjaga kelestariannya, bersyukurlah Bali pulau yang kecil, memiliki empat danau yang mampu menghidupi seluruh penghuninya, jika danau diabaikan, sudah pasti bencana di tangan.
Sugi begitu panggilan akrabnya, tentu untuk mereka yang sudah akrab dengan beliau, akan bisa merasakan gambaran suasana yang sarat akan makna, tak terhitung berapa kali kopi di cangkir itu sudah saya seruput, berpindah dari satu posisi ke posisi lain, alur cerita beliau yang sangat rapi, jika dituliskan bukan tidak mungkin pembicaraan beliau menjadi sebuah artikel.
Waktu berlalu begitu cepat, Pak Wan sedari awal berjanji kepada saya, jika semesta mengijinkan, beliau ingin mengajak saya berkunjung ke rumah sahabatnya di Desa Munduk, Guru Sugi yang mendengar rencana itu akhirnya ikut juga bersama kami. Munduk adalah Desa yang terlatak tidak jauh dari Kawasan Danau Tamblingan, dan Desa ini merupakan bagian dari Catur Desa Adat Dalem Tamblingan yang mana sangat memiliki andil yang amat besar dalam upaya konservasi Kawasan Danau Tamblingan.
Putu Ardana, dalam kehidupan nyata saya belum pernah bertemu dengan beliau, walau sebenarnya melaui kanal sosial media, saya sering mengamati aktivitas beliau yang amat substansi dan menginspirasi, salah satunya adalah dengan memperkenalkan potensi kopi yang dikembangkannya dengan nama The Blue Tamblingan. Usut punya usut, ternyata varian ini amat sangat terbatas, hal ini karena jenis kopi yang digunakan memiliki karakteristik, salah satu faktor penyebabnya karena pohon kopi yang ditanam di Areal Kebun The Blue Tamblingan tidak terpapar sinar mentari di pagi hari, oleh karena terhalang perbukitan.
Menurut beliau, produk kopi yang dihasilkan memiliki cita rasa yang unik, sehingga ketika produk ini diperkenalkan langsung mengundang animo yang sangat tinggi dari penikmat kopi di Nusantara. Kualitas kopi terbaik adalah merupakan penggabungan antara budidaya sampai kopi itu menjadi green bean, jika diprosesntase proses ini memengaruhi hampir lima puluh persen kualitas, sementara pembakaran itu mempengaruhi dua puluh persen serta penyeduhan sekitar dua puluh persennya.
Pak Putu, begitu saya memanggilnya, beliau mengatakan kepada kami bahwa kopi yang dikembangkannya pernah dibandrol dengan harga sekitar sebelas juta rupiah perkilo dalam acara lelang amal oleh Keluarga Alumni Gadjah Mada (KAGAMA) yang diselenggarakan saat terjadi bencana banjir di SUMSEL. Dan sangat beruntung, saya bersama teman-teman lainnya mendapatkan kesempatan menyeruput nikmatnya “The Blue Tamblingan”, “jangan bilang penikmat kopi, kalau belum sempat menikmati kopi seharga seekor sapi ini” celoteh saya.
Menurut Pak Putu, kopi masuk ke Munduk sekitaran tahun 1920, hal ini juga diperkuat oleh research Guru Sugi yang menyatakan bahwa sekitar tahun 1930 wisatawan mancanegara mulai berkunjung ke Bali melalui Pelabuhan Buleleng, dan kuliner yang disajikan saat itu sesampainya mereka di Bali adalah dengan suguhan kopi. Di eropa, Belanda mempromosikan Bali di era itu, dengan menyebutkan bahwa Kopi Buleleng adalah jenis kopi paling pahit di Dunia, ini bukti bahwa salah satu cara untuk berdiplomasi adalah dengan menguasai teknik pemrosesan kopi, dan lagi-lagi rujukan kita adalah sejarah masa itu dan hal ini masih relevan sampai saat ini.
Ngobrol santai ini berlangsung sampai larut malam, berbagai macam topik sudah tercatat rapi dalam buku harian yang saya bawa, suatu saat nanti saya akan tuliskan lagi, misalkan tentang peradaban desa misalnya. Sebagai pengantar sahaja, peradaban desa ini merupakan saripati pemikiran dari Putu Ardana dalam kontek mengharmoniskan cara hidup masyakakat dengan nilai-nilai kearifan lokal yang merupakan karakter dan ciri khas Desa tersebut. Berharap suatu saat nanti, saya berkesempatan juga mengundang beliau, dalam acara Wawancara Ekslusif di Bawah Pohon Intaran yang saya pandu, semoga beliau membaca tulisan ini dan berkenan menerima undangan ini. [T]