Untuk menciptakan sebuah karya sastra yang berisi pesan-pesan moral kuat kepada pembacanya, pengarang memang wajib menghidupkan figur antagonis. Figur itu biasanya lekat dengan citra negatif, hitam, dan gelap sehingga jarang ada pembaca yang melirik, mendalami, apalagi menjadikannya sebagai ‘guru’ hidup. Padahal, untuk bisa memahami hidup ini dengan seimbang, figur yang penuh sandungan dan sanjungan mesti sama-sama diberikan nilai yang tidak berbeda. Dengan cara itulah sari-sari ajaran dapat direnungkan dan dihayati oleh pembaca sastra.
Surpanaka adalah salah satu figur dalam Kakawin Ramayana yang terlupakan salampah lakunya. Kisah hidupnya tak banyak menarik perhatian pembaca dan peneliti untuk menulis bahkan membelanya. Pengarang sukses menjadikan orientasi utama pembaca pada Rama, seorang reinkarnasi Wisnu yang menang melawan Rawana bukan atas usahanya sendiri, tetapi panah guhya wijaya pemberian Indra. Surpanaka memang tidak diceritakan kalah dalam perang seperti seluruh keluarga laki-laki Rawana, namun ia gugur dihadapan sesuatu abstrak yang sulit diceritakan tetapi bisa dirasakan. Ya. Ia dikalahkan oleh sesuatu bernama cinta.
Perasaan cinta ternyata bukan otonomi manusia dan dewa, melainkan juga raksasa. Entah kenapa, Kama berkenan berstana pada sosok raksasa bertaring, rambut kusut, mata mendelik, dengan kuku runcing yang siap menyayat manusia salah menempati ruang dan waktu.
Di titik ini, kita perlu merenungkan kembali kisah Kakawin Smaradahana. Benarkah kisah Kama berakhir ketika dibakar oleh api Siwa menggunakan mata ketiganya? Atau pembakaran itu sebuah awal anugerah? Karena tanpa dibakar menjadi abu oleh Siwa dengan mata ketiganya, Kama tentu tidak akan bisa menyusupi Siwa sehingga melakukan sanggama kosmis dengan Parwati. Semasih menjadi dewa bawahan Indra, mana mungkin Ia bisa memasuki dwara batin Siwa, dewa tertinggi. Tanpa dibakar oleh Siwa pula, suami Ratih itu tidak akan masuk ke dalam ceruk hati seorang perempuan raksasa bernama Surpanaka.
Raksasa perempuan yang konon beringas itu, tak berdaya di hadapan satu kata yaitu ‘cinta’. Sejak ia bertemu dengan Laksmana di hutan, ia tak pernah sedetikpun bisa melupakan putra dewi Sumitra. Lima indra persepsinya berhasil merekam kesempurnaan Laksamana, tanpa cela. Oleh sebab itu, Ia yang tidak pintar berkilah seperti manusia-pujangga mengibarkan bendera di dalam hatinya dengan tulisan “cinta harus diperjuangkan sebelum diikhlaskan hasilnya”! Dengan dasar itu, Ia mengerahkan seluruh kemampuan keraksasaannya.
Ia tahu betul bahwa dengan wujud raksasa, Surpanaka tak akan mampu memikat hati saudara Satrughna yang berwujud manusia itu. Dengan seluruh bakat alaminya, Ia lalu berubah menjadi manusia berparas cantik. Wujud manusianya itu tentu membuatnya menjadi semakin percaya bahwa Laksmana akan tersungkur di ujung ibu jari kakinya.
Setelah sekian lama mengawasi Laksmana di hutan, ia menunggu waktu yang paling tepat untuk bertemu dengan pujaan hatinya. Surpanaka berusaha sekuat tenaga mengendalikan diri, sebab kuku yang sebelumnya panjang, runcing, dan tajam kini berubah menjadi lentik. Langkah kaki yang sebelumnya cepat, kuat, dan beringas kala menangkap manusia yang tersesat di hutan, kini dipaksa menjadi lambat seperti manusia pada umumnya. Mata yang biasa mendelik diatur agar kelihatan kuyu dan bersahaja. Lidah yang terbiasa menjuntai dengan air liur yang berbisa dilipat pendek di dalam mulutnya. Sungguh, perjuangan cinta yang tidak mudah!
Gerak tubuh raksasanya berhasil dikendalikan dengan sempurna oleh Surpanaka. Penyamaran sukses besar! Laksmana tidak sedikitpun menaruh rasa curiga. Ia percaya sepenuhnya bahwa di samping dirinya dengan Rama dan Sita, ada seorang gadis yang tengah tersesat di hutan. Dialog demi dialog telah dilakukan oleh Laksmana dengan Surpanaka jadi-jadian. Surpanaka berhasil menunjukkan kelemahannya sehingga Laksmana tidak bisa mengontrol jiwa kelelakiannya untuk menolong Ia yang tengah ada di hutan rimba. Setelah berdialog tentang berbagai hal, hasrat cinta yang membuncah di hatinya menyebabkan Surpanaka menawarkan dirinya kepada Laksmana.
Adik Rama itu tentu dengan tegas menolak permintaannya. Sebab Ia telah berikhtiar untuk membujang sampai akhir hayat untuk bisa mengabdi kepada Rama. Ditolak cintanya, Surpanaka masih tetap berjuang dengan melakukan berbagai penawaran kepada Laksmana. Tawaran yang semakin kuat dilakukan oleh Surpanaka ternyata justru berbalik menjadi kelemahannya. Perlahan-lahan melalui cara bertuturnya yang besar, kuat, kencang, dan tekanan tinggi, Ia membuka lapisan-lapisan jati dirinya sebagai seorang raksasa. Tubuhnya memang masih berwujud manusia berparas cantik, tapi watak keraksasaannya telah jelas diketahui oleh Laksmana.
Surpanaka tidak seberuntung raksasa Hidimbi yang akhirnya dinikahi oleh Bima dalam Bharata Yuddha. Ia tidak hanya mengalami kegagalan cinta, tetapi juga harus menerima kenyataan bahwa Laksmana bersikap kasar dengan melepaskan anak panah yang tepat mengenai ujung hidungnya. Sebagai raksasa perempuan, ia cacat sepanjang hayat.
Luka fisik dan batin inilah yang menyebabkan Surpanaka memprovokasi raja raksasa Rawana untuk mencuri istri Rama. Tidak hanya berhasil melarikan Sita selama bertahun-tahun, kata-kata hasutan Surpanaka juga menyebabkan terjadinya perang besar yang melibatkan manusia, raksasa, dewa, yaksa, asura, daitya di berbagai lapisan dunia. Entah berapa korban jiwa yang mesti ditanggung oleh pihak Rawana atau Rama pasca perang besar itu terjadi. Kata-kata yang mengandung wisya ‘bisa’ Surpanakalah pangkal dari segala perang besar dalam Ramayana.
Itu sebabnya, jangan mainkan hati wanita. Apalagi sampai melukai fisik dan psikisnya, jika tidak ingin memindahkan perang dalam Ramayana ke dalam kehidupan nyata! [T]