10 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Tubuh Ulang Alik Jong Menuju Puisi

Wayan SumahardikabyWayan Sumahardika
June 19, 2020
inUlasan
Tubuh Ulang Alik Jong Menuju Puisi
49
SHARES

Datanglah ke warung makan Men Brayut, Denpasar pukul 10.00 wita. Masuklah. Cari lelaki tambun, baju kaos, celana pendek, dengan rambut klimis disisir rapi. Ia biasa nyempil di sudut utara ruang menghadap selatan, mengetik depan komputer, dengan wajah dingin seolah tak boleh ada mengganggu. Maka bisa dipastikan ialah Jong.

Di Canasta Creative Space, cermati lelaki yang kerap lalu lalang tergesa. Sesekali ia jalan sumbringah sembari menembang kidung Bali, kadang nyelonong lesu begitu saja seperti angin. Atau saat pentas Teater Kalangan, ada aktor dengan warna vokal nyaring, bicaranya tertata, sekali waktu meletup seperti gelak penari bondres membuat gerr para penonton, maka tak usah diragukan lagi, aktor itu tak lain tak bukan adalah Jong.

Jong Santiasa Putra. Bila dikorek muasalnya, ia anak Bali tulen dari keluarga menak (berkasta). Namun suka sekali ia tempatkan dirinya pada dua sisi realitas yang saling bertolak belakang. Di Bali, pada lingkungan masa kecilnya tentu kental akan adat tradisi, sor singgih, dan segala tetek bengek perihal tata titi ala puri. Beda dengan Surabaya, tempat ia mengenyam kuliah kemudian. Keras, kasar, macet, dan panas.

Di Bali pada masa remaja, ia aktif dalam kegiatan sastra dan teater, di Surabaya Universitas Airlangga ia sibuk bergelut dengan masa lalu, dalam kerja-kerja antropologi forensik yang lebih banyak mengidentifikasi profil biologis dan kerangka manusia. Maka dapat dibayangkan bagaimana sulit ia mengoreksi tubuh sehari-harinya. Dari Bali pindah ke Surabaya, lalu balik lagi ke Bali. Mengoreksi tubuh sastra dan teaternya menjadi tubuh antropolog, kemudian kembali pada tubuh sastra dan teater.

Sebab Jong bukan tipe orang yang manut-manut saja di suatu tempat. Saya mengenalnya pertama kali pada tahun 2007 di Teater Angin SMA N 1 Denpasar. Saya kelas 1, ia kelas 2. Sebagai senior, ia adalah salah satu yang paling ‘nyeniman’ kala itu. Tubuhnya selalu gelisah. Pada setiap pertemuan, selalu dibawakannya kami cerita, mulai dari pentas yang ditonton, sosok yang ditemui lengkap dengan kutipan, hingga kata-kata puitis yang diucapkan berkali-kali.

Berkali-kali ia datang membawa cerita, berkali-kali pula kami dibuat gelisah. Ada jarak lebar antara kami yang baru mengenal sastra dan teater dengan Jong yang berproses sejak di Teater Lingkar SMP N 2 Denpasar. Apalagi dengan segala kegiatannya di Komunitas Sahaja yang kala itu sedang giat menggembleng anak muda menulis sastra. Oleh karena itu, Jong bukanlah nama yang baru nyempil dalam lingkungan sastra dan teater di Bali. Di bawah ini saya kutipkan puisi berjudul ‘Penyair, Halaman Belakang’ yang ditulisnya tahun 2008, masa-masa awal ia menulis puisi.


Beginilah rasanya jadi penyair

saat kata-kata menjemukan

saat kata-kata tak memberi makna

andai kata bisa memilih

            aku akan bersembunyi

            dilubang cacing paling dalam

bertapa, menikmati kesendirian


Selain puisi, Jong juga menulis esai, cerpen, dan naskah drama. Di belakang panggung, ia jadi sutradara, pimpinan produksi.dan manajer program, sedang di panggung ia adalah aktor. Pada bidang musik, ia kerap diminta pertimbangan oleh kawan-kawan musisi sepantarannya dalam mengolah materi musik yang dimiliki. Sedang pada bidang rupa, diam-diam Jong suka membuat seni kolase. Kolase pada buku inipun ia garap sendiri di waktu senggang, yang biasa ia pajang sebagai pemanis warung tempat kerjanya.

Karena banyaknya kerja yang dilakukan Jong, dalam pergaulan sekitar kami ada istilah, ‘Jong lagi, Jong lagi’ atau ‘Lagi-lagi Jong’ atau ‘Happy dulu Jong’. Usai kegiatan ia biasa menghilang tanpa jejak. Kalau tak hilang, ya mengurung diri di Canasta kamar kerjanya. Setengah telanjang, mengaduh keenakan dipijit oleh siapapun yang bersedia memijatnya. Berselang tiga hari, jika ada dering HP berkali-kali memanggil, bisa dipastikan itu ‘Jong lagi, Jong lagi’. Sebab hanya Jonglah yang rajin menata jadwal kegiatan. Salah seorang kawan bernama Pepi sampai menulis kontak whatsapp Jong dengan nama, ‘Astaga Jong’. Karena apabila Jong menelponnya, pastilah itu soal pekerjaan.

Ketegangan semacam ini tertaut pula pada kesehariannya bekerja. Tubuh Jong seakan tak henti mencari mana ruang, mana situasi, mana kondisi paling nyaman dan pas atas dirinya. Pernah ia jadi wartawan di salah satu koran ternama di Bali. Keseharian menulis berita, rute yang itu-itu saja, membuatnya banting stir jadi pedagang nasi betutu. Ketika nasi betutunya mulai ramai, eh malah ditutup, lalu jadi manajer kreatif di Men Brayut. Alasannya, lagi-lagi soal kerja yang monoton.

Rumah makan yang vakum tersebut ia rombak sedemikian rupa, hingga jadi ramai seperti sekarang, plus dengan nasi betutu racikannya yang kini nyempil di daftar menu. Ia menang banyak. Betutu jalan, kerjaan lancar, dan yang paling penting, punya waktu luang untuk jadi seniman, katanya. Maka simak bagaimana ia meluangkan rutinias seharinya ke pasar badung membeli bahan betutu lewat puisi ‘Pasar Badung Sore itu’.


Penjagal daging berkulit merah

siaga mengayunkan belati

pada siapa yang  berpasrah

sebab penuh kerja sore ini


Demikianlah Jong menata rutinitas hari-harinya. Begitu gelisah. Begitu tegang. Begitu sembrawut. Hal ini menjadi penting untuk dicermati dalam rangka membaca puisi Jong. yang justru berkebalikan dengan apa yang dikerjakan biasanya.  Jika di panggung, Jong sangat eksploratif, di belakang panggung idenya menggebrak, di tatkala.co tulisannya begitu kritis, namun pada puisi ia begitu sunyi dan penyendiri. Dalam konteks ini, kumpulan puisinya dapat dimasuki lewat jalur depan ataupun jalur belakang. Lewat pandangan Jong sebagai penulis atau pandangan Jong sebagai seorang kawan.

Lewat pandangan sebagai penulis, tema-tema pada puisi Jong lebih banyak mengangkat tentang tempat-tempat yang ia singgahi, seperti puisi ‘Tersesat  Denpasar’, ‘Mola Mola di salah satu pemberhentian’, ‘Bayang di Kelir, Menuju Singaraja’ dan ‘Perjalanan Satu Menuju Rompyok Kopi  Jembrana’. Kita seolah  diajak menyelami perjalanan seorang antropolog menyusuri jalan satu ke jalan lainnya. Bedanya, jika antropolog merekam lewat catatan perjalanan, Jong justru mengantonginya jadi puisi. Meminjam laku petani, sampai penjaga villa. Meraciknya dalam diri kemudian dibentangkan jadi puisi. Sebagaimana puisi ‘Seandainya Kata-kata Pecah di Keningmu’, yang sekaligus menjadi judul buku kumpulan puisi ini.


Lihatlah di sana kawan,

tiga botol bir mengapung di permukaan

dua botol adalah doa petani garam

meminta kemarau lebih panjang

sebab jika panen gagal kali ini

ia hanya bertaruh pada ibu kota

atau mencoba nasib baik 

menjadi penjaga villa  


Sementara sebagai seorang kawan, membaca puisi Jong adalah membaca ruang pribadi yang jarang ditunjukan ke hadap publik. Jika dicari lebih dalam lagi, ternyata tak satupun ada nama Canasta, Men Brayut, atau  tempat semacamnya yang biasa ia datangi untuk menggelar pertunjukan. Jong seakan memberi jarak pada kerja panggung dan puisinya. Ia menjelma sebagai pribadi lain yang hanya dengan membaca puisinyalah kami bisa menemuinya. Seolah pada puisilah, tempatnya menundukan kepala, istirahat sejenak akan segala macam kerja yang melindas tubuhnya. Apakah ini yang dinamakan puisi sebagai ruang sunyi penyairnya? Yang tak ada satupun orang bisa memasuki?

Puisi-puisi Jong dalam buku ini ditulis pada rentang tahun 2008 sampai 2019, dari semasa Jong SMA sampai sekarang. Sayang, puisi-puisi yang ia tulis semasa SMP tak dapat ditemukan jejaknya. Namun, hal ini tentu tak mengurangi nilai pembaca untuk menikmati proses tumbuh dirinya dalam meracik puisi. Dalam jarak 11 tahun ini, kita dapat melihat usaha Jong menerjemahkan sejarah tubuhnya sendiri ke dalam tubuh puisi. Bagaimana tubuh ulang alik Bali-Surabaya, seniman-pedagang, sastra-antro saling tarik menarik sekaligus baur membaur jadi satu.

Tubuh Jong adalah satu dari sekian banyak tubuh pemuda Bali yang tengah berusaha merancang nasibnya sendiri, atas ketegangan anasir-anasir luar yang senantiasa melintasinya. Manakah sesungguhnya yang paling autentik dalam sejarah tubuh kita ini? Terkalah! Via kata paling jujur bernama puisi.


Petualang datang selalu sangsi

memilih nasib tangan

atau menyendiri jadi jalan puisi.

Selamat, Jong! Happy dulu, Jong!


Denpasar, 2019

Tags: Bukukumpulan puisiPuisiresensi buku
Previous Post

Kapan Nikah, Kapan Punya Momongan, dan Pertanyaan Tiada Akhir

Next Post

Nyanyi Menggunakan Basa Nosa, Dapat Apa?

Wayan Sumahardika

Wayan Sumahardika

Sutradara Teater Kalangan (dulu bernama Teater Tebu Tuh). Bergaul dan mengikuti proses menulis di Komunitas Mahima dan kini tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Pasca Sarjana Undiksha, Singaraja.

Next Post
Nyanyi Menggunakan Basa Nosa, Dapat Apa?

Nyanyi Menggunakan Basa Nosa, Dapat Apa?

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more

Deepfake Porno, Pemerkosaan Simbolik, dan Kejatuhan Etika Digital Kita

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 9, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

BEBERAPA hari ini, jagat digital Indonesia kembali gaduh. Bukan karena debat capres, bukan pula karena teori bumi datar kambuhan. Tapi...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
Pameran

Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

by Nyoman Budarsana
May 10, 2025
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co