2 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Musim Layangan di Negeri Para Mullah, Afganisthan

dr. Ketut Suantarabydr. Ketut Suantara
June 3, 2020
inEsai
Si Perantau Tanggung: Asal Tabanan, Lahir di Buleleng, Domisili Negaroa
53
SHARES

Banyak orang mengisi hari-harinya di tengah pandemi dengan kegiatan yang cenderung “malas”. Mereka yang tinggal di gunung seperti saya, menghabiskan waktu dengan memancing di sungai yang kebetulan deras sehabis hujan panjang. Sebagian yang bermukim di dataran rendah melewatkan sore di lsetiap tanah lapang dengan bermain layangan. Dan memang tak ada yang salah dengan itu, karena khitah kita sebagai manusia sebagai makhluk yang suka bermain, seperti orang Yunani bilang Homo Ludens.

Akhir pekan kemarin saya menyempatkan pulang menengok orang tua di kampung, di dataran selatan pulau Bali. Dan memang setiap sore langitnya dihiasi beraneka warna layang layang ditengah derasnya hembusan angin yang bersahabat. Iseng saya lewat bersama keponakan saya, yang tak ikut bermain bersama temannya.

“Putu, kenapa tak ikut bermain bersama teman temanmu ?” tanya saya menyelidik.

”Males, Paktut, saya tak suka permainan ini, lebih baik di rumah saja main HP lebih seru”. Jawaban pendek namun cukup mengusik ingatan saya.

Tak salah kalau dia tak suka permainan ini, karena kami sebagai pendahulunya pun begitu. Dia karena godaan teknologi, kami dulu karena didikan orang tua. Sebagai kaum perantau di daerah yang agak jauh dari tempat asal, orang tua menganggap kegiatan seperti ini hanya membuang buang waktu tanpa faedah yang jelas. Saya masih ingat jelas saat suatu sore bapak memarahi kakak saya yang datang dari memancing sambil mencincang habis kail bambu yang dibawanya.

Begitupun dengan bermain layang layang, kami mesti kucing kucingan dengan bapak biar tak diketahui sedang merakit sebuah layangan. Tapi beliau juga cukup sportif, kalau urusan permainan yang lain, kami dibebaskan. Jadi setiap sore kami bisa pergi ke lapangan untuk bermain sepak bola ataupun bulu tangkis. Jadi beliau menarik batas yang tegas, antara olahraga, dengan aktifitas yang dianggap main main tanpa tujuan.

Tapi hari itu saya tak ingin mengulangi kesalahan bapak yang lalu. Sesampainya di rumah saya memberi nasehat pada keponakan saya. “Putu, sekali waktu ikutlah temanmu bermain layangan, atau pergi memancing bersama pakyan mu, jangan sampai nanti setelajh besar kau menyesalinya, karena melewatkan hari hari indah itu, seperti kami, kedua pamanmu ini.“

Tak bisa dipungkiri banyak hal positif yang kita dapatkan dari berolahraga. Semangat, kerja keras, kerjasama dan jiwa sportif adalah sebagian diantaranya. Tapi kenyataan hidup membuktikan kita juga butuh kesabaran dan keberuntungan yang diajarkan oleh hobby memancing. Dan khusus untuk main layangan, imajinasi dan keberanian meletakkan impian di langit, saya rasa adalah poin utama yang bisa kita pelajari dari sana. Sambil mengenang bulan kelahiran bapak bangsa kita Bung Karno, tak ada salahnya kita mengingat petuah beliau, ”Gantungkan cita citamu setinggi langit, andaipun kau terjatuh, kau akan terdampar di hamparan awan biru”.

                Dan memang layang layang bukanlah permainan yang hanya dimainkan disini, dia bersifat universal. Hampir di seluruh dunia permainan ini dilakukan. Salah satunya di Afganisthan, negeri para mullah. Negara yang tak lekang dilanda perang, baik karena serbuan pihak  asing maupun diantara sesama anak bangsa mereka sendiri. Sebuah negeri dengan kaum fundamentalis yang tega menghancurkan warisan budaya maha agung, patung Budha terbesar di wilayah Bamiyan. Yang seharusnya masih bisa dinikmati anak cucu kita nanti. Hari ini hanya tinggal cerita, pengantar tidur kita.

Ada sebuah novel yang ditulis oleh seorang diaspora Afganisthan di Amerika yang sangat memikat berjudul Kite Runner. Disana diceritakan dengan indah tentang permainan ini, tradisi tahunan di musim berangin.Terlukiskan kegembiraan seorang anak saat bisa mendapatkan layangan yang putus sehabis pertarungan, dengan perjuangan keras dan penuh pengorbanan. Juga kebanggan orang tua saat layangan anaknya dapat menjadi pemenang dalam kompetisi antar layangan.

Sebuah penggambaran yang utuh dan memikat tentang sebuah permainan, yang sayangnya tak saya temukan tulisan serupa yang menggambarkan kemeriahan  pestival ataupun lomba layang yang tak kalah megah di lapangan Padang galak Sanur misalnya. Dimana rombongan pengantar layang-layang biasanya cukup panjang dan memacetkan jalan yang dilewati.

Akhirnya memang sesuatu akan terasa lebih indah dan layak dikenang saat itu dituliskan, karena memang menulis sendiri adalah jalan keindahan, menuju keabadian.

                Selain tentang layang layang, buku ini menurut saya juga sebuah penggambaran yang utuh tentang bangsa Afganisthan. Bangsa yang tak bisa dikalahkan oleh kekuatan adikuasa manapun. Uni Soviet dulu, dan Amerika beberapa tahun yang lau, meninggalkan negeri  ini dengan muka tertunduk karena tak bisa menakklukkan rakyat Afganisthan. Sebuah negeri yang pluralis, dengan suku Pasthun sebagai mayoritas.

Ada kutipan menarik tentang puak ini ditulis, “saat kau dalam kesulitan, berbahagialah kau terlahir sebagai orang Pasthun, Semua temanmu pasti tak sampai hati untuk meninggalkanmu”. Bangsa yang setia kawan, mempunyai kesetiaan tinggi pada nilai nilai yang mereka yakini. Saat ada kematian seorang yang dihormati, mereka mengikat kepalanya dengan kain hitam selama beberapa hari sebagai tanda berduka cita. Tapi tetap ada pihak yang mesti dijadikan sasaran ketidak adilan .

Kaum minoritas Hazara menjadi pihak yang didiskriminasi dalam kehidupan sehari hari mereka, meskipun mereka satu keyakinan. Dan dari literatur lain yang saya baca, suku ini merupakan keturunan orang Mongol, ratusan tahun yang lalu menginvasi wilayah Asia ten gah termasuk Afganisthan. Jadi ada dendam turun temurun di alam bawah sadar suku lainnya bahwa orang Hazara adalah orang lain. Hampir sama dengan nasib sebuah suku di tanah air kita sendiri, yang kehadirannya dianggap belum sejajar dengan anak bangsa dari puak lainnya.

                Apa yang perlu kita ambil hikmah dari cerita dari novel ini dan bisa kita jadikan cermin untuk kita bersatu sebagai suatu bangsa cukup banyak. Penyesalan dari tokoh yang terpaksa melarikan diri ke luar negeri karena situasi bangsanya yang dilanda perang tak berkesudahan. Kota Kabul yang indah dengan tradisinya yang menarik, seperti festival layangan tadi. Saat ini sudah kehilangan segalanya, sudah menjadi kota yang ditinggalkan.

Dan itu semua berawal dari perpecahan diantara anak bangsanya sendiri, yang sampai mengundang pihak asing untuk datang membantu.Yang ujungnya pasti mencari keuntungan atas situasi buruk yang dialami pemilik asli negeri itu. Situasi terakhir di perumit dengan hadirnya kelompok fundamentalis yang membawa kebenarannya sendiri, dan menafikan keberadaan orang lain yang dianggap tak sepaham dengan mereka. Lengkap sudah status Afganisthan, sebagai the sick man of middle Asia.

Kita bangsa Indonesia perlu bersyukur dan tetap bersyukur mempunyai elemen perekat sebagai sebuah bangsa. Meski terdengar klise, Pancasila tak terbantahkan adalah tali kuat yang menyatukan kita. Terlepas dari beberapa penyelewengan yang dilakukan beberapa pihak dengan mengatasnamakannnya.

Di bulan Juni ini  bulan kelahiran Pancasila, kita semua bukan hanya pemerintah mesti mengejewantahkan kembali nilai nilai luhur Pancasila dalam kehidupan nyata sehari hari. Bukan hanya sebagai pemanis di bibir saja. Di tengah pandemi penyakit yang belum berkesudahan, para pemimpin muda yang tak amanah, dan wakil kita yang seperti tak punya nurani. Mari bersama kita simak sebait lagu dari iwan fals, terima sebagai sebuah kritik membangun, agar Pancasila bisa kembali Jaya.

                Dan coba kau dengarkan

                Pancasila itu bukanlah rumus kode buntut

                Yang hanya berisi harapan

                Yang hanya berisi khayalan

Tags: Afganistanlayang-layangnovelpermainan
Previous Post

I Segnol dan I Dangin dari Kalianget

Next Post

Jangan Menyerah pada Usia, Lakukanlah Segala Hal Semasih Bisa | Kabar dari Jepang

dr. Ketut Suantara

dr. Ketut Suantara

Dokter. Lahir di Tista, Busungbiu, Buleleng. Kini bertugas di Puskesmas Busungbiu 2 dan buka praktek di Desa Dapdaputih, Busungbiu

Next Post
Jangan Menyerah pada Usia, Lakukanlah Segala Hal Semasih Bisa | Kabar dari Jepang

Jangan Menyerah pada Usia, Lakukanlah Segala Hal Semasih Bisa | Kabar dari Jepang

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Seberapa Pantas Seseorang Disebut Cendekiawan?

by Ahmad Sihabudin
June 2, 2025
0
Syair Pilu Berbalut Nada, Dari Ernest Hemingway Hingga Bob Dylan

SIAPAKAH yang pantas kita sebut sebagai cendekiawan?. Kita tidak bisa mengaku-ngaku sebagai ilmuwan, cendekiawan, ilmuwan, apalagi mengatakan di depan publik...

Read more

Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

by dr. Putu Sukedana, S.Ked.
June 1, 2025
0
Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

LELAH dan keringat di badan terasa hilang setelah mendengar suaranya memanggilku sepulang kerja. Itu suara anakku yang pertama dan kedua....

Read more

Google Launching Veo: Antropologi Trust Issue Manusia dalam Postmodernitas dan Sunyi dalam Jaringan

by Dr. Geofakta Razali
June 1, 2025
0
Tat Twam Asi: Pelajaran Empati untuk Memahami Fenomenologi Depresi Manusia

“Mungkin, yang paling menyakitkan dari kemajuan bukanlah kecepatan dunia yang berubah—tapi kesadaran bahwa kita mulai kehilangan kemampuan untuk saling percaya...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Pindang Ayam Gunung: Aroma Rumah dari Pangandaran yang Menguar di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Pindang Ayam Gunung: Aroma Rumah dari Pangandaran yang Menguar di Ubud Food Festival 2025

UBUD Food Festival (UFF) 2025 kala itu tengah diselimuti mendung tipis saat aroma rempah perlahan menguar dari panggung Teater Kuliner,...

by Dede Putra Wiguna
June 2, 2025
GEMO FEST #5 : Mahasiswa Wujudkan Aksi, Bukan Sekadar Teori
Panggung

GEMO FEST #5 : Mahasiswa Wujudkan Aksi, Bukan Sekadar Teori

MALAM Itu, ombak kecil bergulir pelan, mengusap kaki Pantai Lovina dengan ritme yang tenang, seolah menyambut satu per satu langkah...

by Komang Puja Savitri
June 2, 2025
Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu
Panggung

Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu

HUJAN itu mulai reda. Meski ada gerimis kecil, acara tetap dimulai. Anak-anak muda lalu memainkan Gamelan Semar Pagulingan menyajikan Gending...

by Nyoman Budarsana
June 1, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co