“Like Romeo and Juliet, ’twas written in the stars before they even met that love, and fate, and the touch of stupidity would rob them off their hope of living happily. The endings were often a little bit gory. I wonder why they didn’t just change their story. We’re told we have to do what we’re told but surely, sometimes you have to be a little bit naughty.”
Penggalan lirik lagu “Naughty” dari pertunjukkan “Matilda the Musical” itu mengantarkanku ke alam mimpi malam itu di musim panas bulan Februari 2016 di Selandia Baru. Perkuliahan belum dimulai, dan aku baru saja kembali dari solo travelling pertamaku ke negara sebelah, Australia.
Malam semakin larut tapi aku tak henti mengerjapkan mata meski badan teramat letih. Aku masih tidak percaya bahwa aku betul-betul melakukannya, bertamasya sendirian ke luar negeri. Permasalahan bukan terletak pada konsep ‘sendiri’. Aku justru menikmatinya. Namun, kata ‘wisata’ lah yang sepertinya sudah terhapus dari kamus hidupku sejak bertahun-tahun lalu. Jangankan keliling dunia, untuk membayar kuliah S1 saja aku harus mencari beasiswa. Kalau tidak mengajar les privat, kebutuhan sehari-hari sebagai mahasiswa tidak akan terpenuhi. Maka setelah lulus, aku tidak pernah jalan-jalan kalau bukan karena presentasi di konferensi atau urusan pekerjaan. Saking menjunjung tinggi produktivitas, aku merasa sayang untuk bepergian. Bagiku, liburan itu hanya buang-buang waktu dan uang.
Akan tetapi, semua stigma negatif tentang tamasya terpaksa kurobohkan begitu mendengar bahwa the Royal Shakespeare Company akan mengadakan tur pertunjukkan “Matilda the Musical” di Sydney. Selama dua bulan penuh, aku bergulat dengan diriku sendiri. Di satu sisi, meski studi magisterku di The University of Auckland didanai oleh pemerintah Indonesia, aku ingin menabung untuk keperluan yang lebih besar. Di sisi lain, aku begitu menyukai novel “Matilda” karangan Roald Dahl dan juga teater musikal. Sembari memperhitungkan jadwal dan keuangan, aku meminta pendapat beberapa kawan dekat. Mayoritas berkata kalau tidak terlalu penting, tidak usah saja. Sementara itu, seorang sahabat mengingatkan, “Pergilah. Kamu akan lebih menyesal kehilangan kesempatan daripada kehilangan uang.”
Ya, memang hati manusia terprogram untuk mendengar yang ingin ia dengar saja. Aku mencocokkan nasihat itu dengan penyesalanku di masa silam karena tidak menonton dua drama musikal di Jakarta dengan alasan ingin berhemat. Aku tidak berhenti menyalahkan diri sendiri sejak saat itu. Tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, berbekal Bismillah, aku memasukkan aplikasi untuk Australian Tourist Visa setelah tahun baru 2016. Kuserahkan keputusan pada Yang di Atas. Jika permohonan visaku dikabulkan, artinya aku boleh pergi. Jika tidak, mungkin belum rezeki. Dua minggu berselang, visa turisku terbit.
Aku segera mengecek kalender dan mencocokkan jadwal kerja part-time dan kuliah. Singkat cerita, pilihan tanggal keberangkatan jatuh pada 14 Februari 2016. Di kemudian hari, tanggal ini menjadi berkesan karena perjalanan ini menjadi kado Hari Kasih Sayang terbaik untuk diriku sendiri.
Setelah tanggal diputuskan, aku menyusun rencana perjalanan kasar, memesan tiket pesawat dan pertunjukkan, juga menghubungi teman-teman sesama pelajar Indonesia yang sedang studi di Australia dan hendak kutemui. Tidak tanggung-tanggung, aku ingin mengunjungi lima kota sekaligus dalam lima hari. Aku menutup mata soal biaya transportasi. Biarlah. Kalau hanya menetap di satu kota rasanya sayang sudah jauh-jauh. Tidak sebanding dengan perjuangan memperoleh visa turisnya.
Untuk mengimbangi pos pengeluaran transportasi, aku merancang sedemikian rupa agar bisa bermalam di tempat teman atau dalam perjalanan antarkota. Selain untuk menghemat biaya, memang inilah gaya bepergianku, yakni mengunjungi teman-teman di kota atau negara yang kutuju untuk bertukar kabar. Maka, seperti Dorothy yang menemukan sahabat baru di tengah perjalanannya ke Oz (yang kebetulan adalah sebutan informal untuk Aussie), petualanganku di Negeri Kanguru, yang kunamai sebagai “Oz Musical Trip”, pun dimulai.
Patung Dwarf dari The Lord of the Rings di bandara internasional Auckland
Brisbane
Aku terbang di pagi hari dengan maskapai Virgin Australia. Begitu tiba di Brisbane dan mendapat koneksi Internet di AirTrain menuju stasiun South Bank, aku langsung menghubungi Mbak Luluk, mahasiswi S3 di The University of Queensland. Titik pertemuan kami adalah South Bank Park Lands yang terletak di tengah kota dan dibatasi oleh sungai Brisbane yang berwarna coklat akibat tercampur lumpur.
Saat sedang menunggu di depan Queensland Performing Arts Center dan memandangi the Wheel of Brisbane, seorang nenek menghampiri dan meminta izin untuk duduk di sebelahku. Ia mengajak bicara tentang banyak hal, mulai dari cuaca di Brisbane hingga perilaku remaja masa kini yang gaya berpakaiannya, menurut beliau, aneh dan selalu membawa tongkat selfie.
The Wheel of Brisbane
Beliau juga berkisah tentang orang tuanya yang menganggap sekolah itu hanya buang-buang uang dan menyuruhnya membantu pekerjaan rumah tangga setelah lulus SMA, sampai akhirnya beliau menikah. Ada raut kesedihan yang kutangkap saat kenangan itu digulirkan, tapi aku yakin beliau sudah berdamai dengan garis hidupnya. Pengalaman ini menggugahku bahwa mereka yang terlahir di negara maju tidak selalu berpikiran maju, misalnya tidak mendukung pendidikan, dan mereka yang berasal dari negara berkembang sepertiku bisa saja malah punya lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan diri.
Mbak Luluk datang dan menemaniku makan kebab di pinggir sungai. Setelahnya, kami naik CityCat, kapal kecil untuk menyeberang ke belakang kampus The University of Queensland. Tur kampus menjadi agenda wajib sebelum kami beranjak ke tempat tinggal Mbak Luluk di 70 Mitre Street untuk beristirahat dan menutup hari pertama yang panjang.
Kampus The University of Queensland
Canberra
Aku terbangun dengan perasaan panik. Pertama, aku baru sadar bahwa semalam aku ketiduran di kamar Mbak Luluk, sementara yang punya rumah mengalah dan tidur di ruang tamu. Kedua, pagi ini aku akan terbang ke Sydney pukul 7 pagi waktu setempat dan saat aku membuka mata, jam menunjukkan hampir pukul 5!
Setelah mandi kilat dan berpamitan, aku menerobos kegelapan dan berjalan sendirian ke stasiun Toowong. Untungnya, walau jalanan cukup remang, tidak banyak orang. Hanya warga lokal yang sedang lari pagi atau naik sepeda. Jujur, aku sempat takut jika bertemu penguntit setiap jalan sendirian di pagi buta atau larut malam.
Aku beruntung segera mendapatkan kereta menuju stasiun Roma Street. Entah kenapa, semesta selalu punya cara untuk membuat manusia bahagia. Kepanikanku pagi itu diredam oleh sepasang burung yang bersenandung bersahutan. Kuabadikan momen itu sampai aku tiba di terminal domestik bandara Brisbane, lima belas menit sebelum pesawat Jetstar lepas landas.
Satu setengah jam berikutnya, kakiku menjejak Sydney. Dari parkiran bawah tanah, aku mengendarai bus Murrays yang sudah kupesan sebelumnya dengan tujuan akhir Canberra. Interior bus sangat nyaman sehingga perjalanan selama 3 jam tidak terlalu melelahkan. Di Jollimont Centre, aku turun dan menghabiskan satu jam hanya untuk mencari Muslim Prayer Room yang katanya ada di Multicultural Center di London Circuit. Aku sedikit menyesal tidak riset maksimal. Ujung-ujungnya, mushola tidak ditemukan dan aku salat sambil duduk di sebuah taman.
Tujuanku di Canberra hanya satu, yaitu Australian War Memorial Museum. Aku beruntung masih sempat mengikuti Last Post Ceremony, upacara mengenang pahlawan perang yang begitu menyentuh dan syahdu. Walau aku bukan bagian dari sejarah negara tersebut, cerita-cerita kemanusiaan selalu mampu menembus batas etnis dan waktu.
Kerumunan pengunjung menjelang Last Post Ceremony
Untuk kembali ke Jollimont Centre, lagi-lagi aku mengandalkan kedua kakiku. Sepertinya ini adalah rute terjauh seumur hidup yang kutempuh dengan berjalan kaki. Untungnya Canberra ini petanya sama persis dengan kondisi aslinya. Seharusnya aku tidak kaget karena kota ini memang dirancang rapi sebelum dibangun menjadi pusat pemerintahan. Namun, karena hari itu aku sedang berpuasa, badanku menyerah juga. Dari London Circuit, aku menaiki bus ke New Parliament House dan Old Parliament House. Aku mengambil banyak foto yang bisa menjadi bukti bahwa setidaknya, aku pernah berdiri di depan gedung DPR-MPR versi Australia. Malamnya, aku kembali menumpang bus Murrays dengan keberangkatan dini hari. Karena kursinya wangi dan empuk, aku pun mengistirahatkan tubuh dan terbuai mimpi…
Gedung Parlemen Baru di Canberra
Wollongong
Sekitar pukul 3 pagi, bus tiba di Central Station, Sydney. Untuk alasan keamanan, aku memilih untuk menunggu di Grand Consorse hingga matahari terbit. Udara sangat dingin. Apalagi tidak ada sofa atau ruang tunggu. Kulihat beberapa orang memanfaatkan sudut-sudut untuk merebahkan badan. Aku tidak yakin apakah mereka turis kikir sepertiku atau gelandangan. Seorang bapak yang duduk di depanku terkantuk-kantuk. Kubagi shortbread Selandia Baru padanya, dan ia tidak menolak.
Hari ini perjalananku relatif mudah dan dekat, yakni ke Wollongong, hanya 2 jam menggunakan kereta jalur South Coast. Dari stasiun Wollongong, aku naik bus gratis ke The University of Wollongong dan bertemu Mas Riza, mahasiswa S3 di sana. Setelah sarapan sebentar di rumahnya bersama istri beliau, pasangan tersebut mengantarku bekeliling ke Mount Keira Lookout, Nan Tien Temple, Botanic Garden, dan bahkan makan jagung rebus di Lake Illawara.
Nan Tien Temple
Meski kota ini kecil dan sepi, aku tidak bisa melupakan debur ombak sepanjang North Wollongong Beach yang dipadu dengan langit mendung sehabis gerimis sore itu. Sebegitu terkenangnya, beberapa bulan setelah trip ke Australia berlalu, aku memimpikan berdiri di pinggir pantai yang sama. Begitulah. Yang sering luput oleh mata orang kebanyakan boleh jadi yang paling menawan hati.
North Wollongong Beach
Sydney
Jika diibaratkan fiksi, hari ini ialah klimaks dari tamasyaku. Aku mengucapkan salam perpisahan pada Mas Riza sekeluarga dan juga Wollongong dan naik kereta ke Town Hall Station, Sydney. Entah kenapa aku agak linglung sampai dua kali salah membaca peta. Kabar buruknya, Sydney adalah kota besar yang penuh dengan manusia sibuk dan tidak seramah warga di kota-kota lain. Pilihanku hanyalah tidak bertanya dan tetap tersesat di jalan.
Mendekati Pyrmont Bridge, kuputuskan untuk langsung saja ke Sydney Lyric Theatre, gedung pertunjukkan “Matilda the Musical”. Aku tidak perlu menceritakan detil tentang pertunjukkannya. Semua sesuai, atau mungkin melebihi, ekspektasiku. Yang jelas perjalanan musikal ini adalah salah satu keputusan terbaikku dalam hidup.
Photo booth “Matilda the Musical” di Sydney Lyric Theatre
Seusai menonton, aku berjalan santai menuju Circular Quay dan bertemu Norma, mahasiswi S2 The University of Sydney yang menemaniku mengunjungi Sydney Opera House, Harbour Bridge, dan Royal Botanic Garden. Kami beranjak ke dekat Central Station untuk menyantap laksa halal sebagai makan malam.
Sydney Opera House
Setelah berpisah dengan Norma, aku berjalan ke Gate 1 dan menunggu kereta yang akan membawaku ke Melbourne. Sudah menjadi bagian dalam rencanaku untuk mencoba berbagai moda transportasi publik di Australia. Setelah kapal kecil di Brisbane dan bus malam ke Canberra, kali ini aku mengendarai kereta jarak jauh selama hampir 12 jam. Aku hanya berharap kereta lintas kota ini akan memberikan perjalanan senyaman kereta Argo Anggrek atau setidaknya Menoreh yang selalu kutumpangi setiap pulang ke Semarang dari Jakarta.
Melbourne
Naasnya, harapanku tidak terpenuhi. Kursi kereta terasa keras, dan sandarannya tidak bisa disesuaikan dengan postur tubuh. Penumpang lelaki di sebelahku juga sedikit berisik, membuatku kurang beristirahat. Alhasil, semalaman kaki dan tanganku pegal-pegal. Namun, semua terbayar begitu kereta memasuki Melbourne pagi itu. Sayangnya, kota pelajar tersebut justru menyambutku dengan hujan deras setelah 4 hari sebelumnya langit selalu cerah di kota-kota lain. Maka, targetku berkelana tidak muluk-muluk.
Berpedoman peta dari Tourist Information Center diSouthern Cross Station, aku menyusuri Flinders Street, melewati Migration Museum dan Flinders Station, lalu berteduh di Visitors Center di Federation Square. Kupandangi trem demi trem yang berlalu lalang. Rintik hujan membuatku terbawa arus melankolis dan berpikir, “Ya, seperti itulah kehidupan ini. Orang datang dan pergi.”
Flinders Street Railway Station
Satu-satunya alasanku ke Melbourne sebetulnya adalah untuk menemui Meity, kawanku yang sedang menempuh S2 di The University of Melbourne. Saat jam makan siang, aku menunggu di depan Freshwater Place, gedung di mana temanku sedang magang, di dekat Yarra River. Meity mengajakku naik trem gratis dan berjalan sedikit menuju Laksa Bar. Lagi-lagi laksa. Tetapi tak apalah. Ia berbaik hati mentraktir. Obrolan kami tidak panjang karena aku harus meluncur ke Melbourne International Airport untuk mengejar pesawat pulang ke Auckland.
Auckland
Pada hari yang sama malamnya, aku telah kembali ke kota tempatku studi. Saat menumpang SkyBus ke tengah kota, aku diajak bicara oleh sang supir. Ternyata beliau adalah orang Indonesia yang berasal dari Surabaya. Dunia rupanya sesempit itu. Akan tetapi, sepanjang jalan, hal apapun terkait Indonesia yang beliau bicarakan selalu berupa kritik. Untung saja beliau masih cukup ramah.
Perjalananku resmi berakhir ketika aku kembali ke kamar kosan. Di atas kasurku yang familiar dan menenangkan, datanglah momen tatkala lirik lagu “Naughty” terngiang di benak, seperti yang kugambarkan di awal, dan seluruh kenangan akan kunjunganku ke Australia berputar tanpa aba-aba. Tidak seperti wisata yang menggunakan agen atau bersama keluarga dan teman, solo travelling itu merepotkan dan bisa sangat mahal jika tidak direncanakan dengan baik. Tetapi aku belajar sesuatu dari perjalananku.
Kebanyakan manusia menghabiskan bertahun-tahun tenggelam dalam kesibukan untuk membangun masa depan, tanpa sempat berhenti beberapa saat untuk rehat dan menikmati hari ini. Betul kata Matilda. Terkadang kita harus sedikit ‘nakal’ dengan melakukan hal-hal di luar kebiasaan untuk mengubah nasib sendiri. [T]