“Anjing dan manusia adalah sahabat.” Begitulah kira-kira kalimat yang saya ucapkan saat saya masih berada di bangku sekolah dasar. Saat itu, salah seorang guru meminta kesimpulan yang saya buat setelah selesai membaca “I Gringsing teken Ni Renjani”, sebuah cerita rakyat berbahasa Bali. Kisahnya tentang Ni Renjani yang hendak ditangkap dan disantap oleh Dadong Raksasa dan akhirnya diselamatkan oleh seekor anjing peliharaannya bernama I Gringsing Wayang.
Jujur, waktu itu spontan saja saya menjawab, tanpa menimbang benar tidaknya jawaban saya tadi. Baru sekarang saya sadari bahwa kesimpulan yang saya berikan sebenarnya agak kurang tepat. Iya, kurang mashook. Setelah dipikir-pikir, tersimpan pesan moral yang lebih dalam lagi di balik cerita rakyat tersebut. Tapi tak apalah, toh semua sudah berlalu. Ditambah lagi, jawaban yang saya berikan rasanya sudah lumayan bagus bagi anak SD seusia saya saat itu, meski saya lupa pastinya saya di kelas berapa. Hehe, maklum, sudah lama sekali.
Secara tidak sengaja, saya kembali mengingat kenangan tersebut karena belakangan ini saya membaca berita-berita di media sosial yang selalu berkaitan dengan anjing. Di Facebook, beredar kabar tentang seorang wanita yang diminta pindah kontrakan karena tetangga-tetangga sekitarnya merasa tidak nyaman dengan 50 lebih ekor anjing yang ia rawat dan pelihara. Ada juga cerita tentang seorang gadis muda dari Desa Mas, Ubud, Gianyar, yang memelihara puluhan ekor anjing liar yang ditemukan di jalan. Alasannya, karena ia pernah berhutang nyawa kepada seekor anjing.
Belum lama ini, saat Tumpek Kandang, lebih banyak lagi kiriman tentang anjing yang saya temukan. Di Instagram dan Twitter, warganet berbagi kiriman berupa foto dan video yang menggambarkan ritual pemberkatan bagi anjing-anjing peliharaan mereka. Ada yang diperciki air suci dan diberikan bija, ada yang dipakaikan udeng, kamen, dan selendang sebagaimana orang Bali berpakaian saat beribadah ke Pura, ada juga yang duduk manis mengikuti ritual selayaknya orang Bali merayakan otonan. Pantas tidaknya silakan ditentukan sendiri. Namun yang pasti, anjing memiliki tempat yang istimewa di hati masyarakat Bali. Valid. No debat.
Orang Bali sangat menyukai anjing. Mereka menganggap anjing sebagai sahabat terbaik Pulau Dewata (setelah turis). Kenapa? Karena hampir semua masyarakat Bali memiliki anjing di kediaman mereka. Satu keluarga bisa memiliki 2 sampai 3 ekor anjing, bahkan lebih. Saya salah satunya. Sejak tahun 2000 sampai saat ini, saya memelihara anjing dan menjadikan mereka bagian dari keluarga saya. Ada dua ekor anjing yang saya pelihara, satu anjing bali yang benar-benar saya dan keluarga ingin pelihara untuk menjaga, satu lagi anjing ras pemberian sepupu.
Anjing Bali dalam kehidupan Masyarakat Bali
Banyak orang menganggap anjing bali sebagai anjing yang galak, ganas, rengas nan bringas, suka mengonggong dengan sangat keras sembari memamerkan taring-taringnya yang kokoh dan menakutkan. Tak heran jika anjing bali tidak disukai orang-orang. Padahal, jika dipikir lebih dalam lagi, ada alasan tertentu di balik sifat-sifat anjing bali. Anjing bali suka mengonggong karena ia ingin melindungi tuannya. Anjing memiliki taring yang kokoh karena tentu ia harus mengigit makanan dengan baik.
Berbicara tentang anjing, ingatan saya kembali lagi ke masa-masa sekolah dasar saya, tepatnya saat pelajaran agama. Meski sejatinya saya beragama Buddha, saya memilih untuk mengikuti pelajaran Agama Hindu di sekolah. Alasannya sangat sederhana, karena saat itu saya adalah satu-satunya murid yang beragama Buddha. Saya ogah kalau harus belajar agama sendiri. Pihak sekolah juga akan repot mencarikan guru Agama Buddha untuk saya. Maka dari itu, saya memutuskan untuk ikut di mata pelajaran Agama Hindu. Saya kira tidak akan menjadi masalah, mengingat saya juga berstatus orang Bali.
Nah, saat itu, saya ingat betul guru memberikan cerita tentang kesetiaan anjing yang tercatat dalam epos Mahabarata. Dikisahkan Yudistira memiliki seekor anjing putih yang sangat setia sejak ia meninggalkan istana Dewa Indra menuju puncak Mahameru bersama Dewa Brahma. Yudistira pun menolak masuk surga jika para dewa tidak mengizinkan anjingnya masuk bersama.
Barangkali, kisah Yudistira itu menjadi cikal bakal realita masyarakat Bali saat ini yang sangat menyukai anjing. Sampai-sampai anjing sudah menjadi bagian dari anggota keluarga. Kata Wulan Dewi Saraswati, salah seorang teman saya, di Bali, keluarga pada umumnya terdiri atas bape, meme, putu, kadek, komang, ketut, dan I Bleki (nama anjing hitam). Dulu, anjing juga sering menjadi teman berburu masyarakat Bali, saat hutan masih sangat lebat, saat perburuan semal (tupai) memang sedang menjadi hal yang trending. Dari sanalah kemudian muncul istilah cicing borosan atau anjing pemburu. Sayangnya, hutan saat ini sudah semakin menyempit, sehingga sangat sedikit orang yang masih berburu ke hutan. Anjing kini lebih banyak difungsikan sebagai penjaga rumah. Saya sendiri memfungsikan anjing saya sebagai penjaga penginapan, di samping juga sebagai anggota keluarga saya.
Dalam kultur masyarakat Bali pun, terutama yang bersangkutan dengan ritual dan tradisi, anjing juga berperan sangat penting. Masyarakat menganggap anjing sebagai penyeimbang antara niskala dan sekala. The Seen and Unseen. Seperti misalnya Anjing Bang Bungkem, yang menjadi kurban dalam upacara pecaruan atau pembersihan lingkungan dari roh-roh atau aura-aura jahat setiap sepuluh tahun sekali.
Dalam hal kesetiaan, anjing bali juga tidak dapat diragukan loyalitasnya. Anjing bali bisa dikatakan sebagai salah satu anjing yang sangat setia kepada tuannya. Sampai-sampai ada pepatah mengatakan “Jika ingin belajar setia, belajarlah pada anjing bali”. Contoh nyata kesetiaan anjing bali dapat dilihat di akun Instagram jurnalisrakyat. Ada sebuah kiriman video tertanggal 7 Mei 2020 yang memperlihatkan Sempol, seekor anjing bali berwarna putih, yang sangat tidak rela ditinggal oleh tuannya. Di tengah jalan yang basah sehabis diguyur hujan, Sempol berlari sangat jauh hingga ke ujung desa untuk mengawal tuannya yang berangkat mengendarai mobil.
Keterangan video tersebut juga mengatakan Sempol selalu setia menunggu tuannya dan pasti akan sangat heboh menjemput tuannya saat tuannya balik kampung. Contoh lain dari kesetian anjing bali dapat dilihat dari tulisan Wulan Dewi Saraswati berjudul “Belajar Kesetiaan dari Anjing Bali” yang juga dimuat di tatkala.co. Dalam tulisannya, Wulan mengatakan bahwa anjing bali sejatinya sungguh-sungguh ingin dipelihara, dirawat, disayang, dan mereka berjanji memberi setia. Iya, setia sampai mati. Ia juga sangat membenci orang yang gemar memakan sate anjing. Baginya, anjing lebih enak dijadikan teman makan sate ketimbang dijadikan sate.
Kesetiaan dan kasih sayang anjing bali juga dipercaya dapat membawa hoki baik dan pengaruh positif untuk tuan dan keluarganya. Dalam buku Prembon Bali Agung, disebutkan salah satu tutur kepercayaan umat Hindu tentang anjing berbulu hitam denagn ciri fisik tertentu yang konon bisa memberikan vibrasi kasih sayang kepada pemiliknya dan mampu mengatasi percecokan yang kerap menjadi momok dalam rumah tangga. Lain lagi dengan anjing bali berbulu hitam keseluruhan, dari hidung sampai ekor, hingga tubuh dan kuku-kukunya juga berwarna hitam. Anjing ini dipercaya sebagai penangkal segala kekuatan magis dan ilmu hitam yang bermaksud jahat terhadap pemiliknya. Anjing ini dapat menjadi penangkis dari serangan-serangan gaib tersebut.
Anjing Bali vs Anjing Ras
Sayang sekali, saat ini kebanyakan orang bali merasa ogah melibatkan anjing bali ke dalam halaman rumahnya, apalagi dalam urusan keluarga atau rumah tangga mereka. Mereka lebih memilih memelihara anjing ras dari aneka jenis, seperti pitbull, siberian husky, golden, rottweiller, bulldog, poog, pomeranian, dan masih banyak lagi. Alasannya tentu bukan karena makna, akan tetapi karena tren dan gengsi. Anjing ras memiliki penampilan yang lebih menarik ketimbang anjing bali, sehingga anjing ras dirasa lebih elok diajak jalan-jalan dan dipamerkan saat Car Free Day. Bisa dikatakan anjing ras telah naik tahta tidak lagi menjadi sekadar hewan peliharaan, namun menjadi pilihan yang menarik untuk aksesoris, sampai-sampai menjadi parameter yang mampu menaikan derajat ekonomi tuannya.
Dari waktu ke waktu, penggemar anjing ras sepertinya terus meningkat. Tak sedikit transaksi jual beli anjing ras terjadi di berbagai media sosial. Banyak yang menjual, banyak juga yang membeli, bahkan dengan harga yang tidak sedikit. Anjing ras menjadi penghasil uang yang memberi keuntungan yang lumayan sehingga orang-orang semakin gencar mengembangbiakannya untuk dijual lagi di kemudian hari. Akibatnya, anjing bali pun tidak lagi digemari. Anjing bali, seperti anjing kacang, atau jenis anjing lokal bali lainnya seakan-akan menjadi anjing dengan kasta terendah. Karir mereka sebagai anjing peliharaan khas keluarga telah tersingkirkan.
Anjing bali saat ini kebanyakan menjadi anjing liar. Di pasar, di pantai, di pinggir-pinggir jalan, dan di tempat umum lainnya, anjing bali sering terlihat dalam kondisi yang tidak baik. Mereka kurus, kotor, tidak terurus, terkadang terlihat dengan beberapa luka di bagian tubuh mereka. Terkadang mereka mencoba meangkrabkan diri kepada orang-orang yag ditemui, sambil memelas dan memohon belas kasihan agar diberikan sedikit makanan, atau mungkin lebih dari sekadar makanan. Ada juga yang langsung lari, mengonggong membela diri karena merasa terancam. Mereka mungkin membawa trauma masa lalu akibat pernah mendapat kekerasan dari sesama anjing, atau juga dari orang-orang. Nasib baik sedang bersama mereka jika mereka berhasil mendapat makanan dan mampu bertahan hidup. Namun, mereka akan dikatakan bernasib sial jika mereka ditembak mati karena ditakutkan dapat menyebarkan penyakit.
Iya, tak sedikit yang menganggap anjing liar sebagai biang kerok menyebarnya penyakit rabies yang dapat menelan korban jiwa. Nasib sial mereka tidak cukup sampai di sana. Masih ada pedagang sate anjing yang kerap mengancam keberadaan mereka. Jika tertangkap, mereka akan dibunuh dan diolah menjadi santapan yang digemari oleh beberapa orang. Enak? Entahlah. Bagi saya hal tesebut sangat menjijikan.
Tidak sedikit juga orang bali yang membuang anjing mereka di tempat umum. Seperti kiriman Trias Handayani di akun Instagram @punapitabanan. Saat hari Tumpek Kandang kemarin, ditemukan beberapa ekor anak anjing bali yang dibuang di sekitar tempat sampah di Banjar Pasekan Belodan, Desa Dajan Peken, Tabanan. Temuan tersebut tentu sangat menyedihkan. Mereka masih terlalu kecil untuk bertahan hidup. Di mana lagi mereka harus berteduh dari panas matahri? Di mana lagi mereka harus berlindung dari hujan?
Syukurlah, pada akhirnya, di hari yang sama, anak-anak anjing tersebut diselamatkan oleh Kak Tio Russ (@tio_russ), salah seorang pecinta anjing (atau bisa juga disebut seorang aktivis hewan) yang kerap menyelamatkan anjing-anjing liar yang terlantar dan terluka di jalanan. Mengetahui informasi tersebut, tak sedikit warganet yang kemudian memberi apresiasi. Mereka mendoakan agar selalu diberi kesehatan dan kemudahan dalam merawat anak-anak anjing yang lucu tersebut. Bagi mereka yang juga ingin menyalurkan bantuan, dapat menghubungi Kak Tio Russ lewat akun instagramnya.
Harapan untuk Anjing Bali
Tidak ada angka pasti terkait populasi anjing di Bali. Namun, dapat diperkirakan jumlah anjing di Bali tidaklah sedikit. Sayangnya isu rabies menjadi masalah baru bagi mereka. Sejak 2008, masyarakat Bali dibuat geger dengan kehadiran penyakit tersebut. Salah satu cara yang ditempuh pemerintah adalah dengan mengadakan vaksinasi terhadap ribuan anjing liar di Bali namun tidak berhasil. Gubernur Bali sebelumnya, I Made Mangku Pastika, akhirnya memutuskan untuk mengeliminasi anjing-anjing liar yang diduga dan berpotensi mengidap rabies. Kenyataan yang sangat menyedihkan.
Berangkat dari sana, muncul sebuah harapan untuk anjing bali yang sebenarnya boleh dikatakan sangat sederhana, yaitu karir mereka sebagai anjing peliharaan, anjing penjaga rumah, dan bahkan anggota keluarga tidak tamat begitu saja. Mereka kembali berada di halaman rumah orang-orang bali, meberikan kesetian dan menjadi sahabat manusia, tidak lagi terlantar, dibuang, atau dibiarkan liar tak terurus. Tidak lagi terulang kasus seperti Di Banjar Pasekan Delonan, Desa Dajan Peken, Tabanan. Tidak lagi keberadaan mereka dianggap membahayakan nyawa manusia sehingga perlu ditembak mati, menjadi sate apalagi.
Sejatinya, mereka tidaklah membahayakan jika dipelihara dan dirawat dengan baik. Perawatannya tidak semahal merawat anjing ras. Populasinya pun bisa dikontrol lewat strerilisasi untuk anjing betina, dan katrasi (teres) untuk anjing jantan. Hal stersebut pernah dilakukan oleh Komunitas Saving Buleleng Dog yang beraksi menyelamatkan anjing bali pada tahun 2018. Mereka mengadakan sterilisasi dan katrasi secara gratis terhadap anjing bali yang dilaksanakan di kantor penerintah Desa Bondalem. Tercatat 87 ekor anjing bali yang divaksinasi, 8 ekor anjing betina distrerilisasi, dan 22 ekor anjing jantan dikatrasi. Kepedulian untuk menyelamatkan populasi anjing lokal pun akan terus mereka lakukan.
Bagi mereka, itulah salah satu cara yang tepat dilakukan selain eliminasi. Sterilisasi dan katrasi bisa menjadi solusi jangka panjang agar tidak ada lagi anjing yang dibuang dan diliarkan sehingga dapat mengancam nyawa manusia. Perubahan perilaku masyarakat juga menjadi pendukung yang sangat penting. Diharapkan masyarakat tidak lagi sembarangan membuang anjing yang tidak dinginkan di sungai, di jalanan, di pasar-pasar, atau di tempat sampah. [T]